Dingin udara menyapa pagi, sepi kini selalu menghiasi pagi hari Aira. Langit nampak selalu mendung, tak secerah biasanya. Hari-hari Aira lalui dengan banyak air mata, setiap sudut ruangan dalam rumahnya memiliki kenangan yang indah bersama kedua orang tuanya. Meja makan yang setiap pagi menjadi awal pertemuan dan perbincangan mereka, kini hanyalah kosong. Semenjak saat itu, ibunya tak lagi semangat untuk menjalani hari.
Aira terbangun, dan mendapati ibunya tengah duduk termenung di taman belakang. Melihat kondisi ibunya yang semakin terpuruk, membuat hati Aira semakin sakit, lebih sakit dari pada kehilangan ayahnya. Aira berjalan pelan menghampiri, sembari membawakan sepiring bubur ayam yang tadi pagi sempat ia pesan.
“Makan, Bu! Ini Aira bawakan bubur ayam, dari kemarin Ibu belum makan,” ucap Aira, tangannya menyodorkan sesendok bubur ke mulut ibunya.
Ibunya hanya menggeleng, menolak suapan Aira. Membuat hati Aira semakin perih.
“Ibu harus makan, Aira gak mau Ibu sakit karena terus-terusan begini.”
“Dengan Ibu makan, apakah semua keadaan akan kembali seperti dulu?” tanya Ibu yang membuat dada Aira sesak.
“Bu, apa yang sudah terjadi biarlah berlalu! Ibu jangan terlalu larut dalam kesedihan. Bu! Aira hanya punya Ibu sekarang, Aira sudah kehilangan ayah, Aira gak mau jika harus kehilangan Ibu juga.”
Aira tertunduk lemah, sebisa mungkin menahan bulir yang siap mengalir di pelupuk matanya. Ia tak boleh lemah, di saat-saat seperti ini, ibunya sangat membutuhkan kasih sayang darinya, ia harus terlihat kuat, meskipun hatinya teramat sakit.
“Maafkah Ibu, Nak! Ibu terlalu larut dalam kesedihan, sampai Ibu lupa, Ibu masih memiliki kamu yang sekarang menjadi tanggung jawab Ibu sepenuhnya.” Ibu membalikkan badan, memeluk Aira hangat.
“Bu, satu-satunya alasan Aira tersenyum saat ini adalah Ibu, tolong jangan buat Aira semakin terpuruk hanya karena merindukan senyum manis Ibu!” Aira menarik senyum di wajah ibunya.
“Ai, apakah kamu mau menuruti semua keinginan Ibu?” tanya Ibu pada Aira.
“Aira akan turuti semua keinginan Ibu, asalkan Ibu janji untuk selalu tersenyum!” Aira mengarahkan jari kelingkingnya.
“Benarkah? Ibu akan berjanji jika kamu bersedia.” Ibu memberikan sebuah senyuman pada Aira.
“Ibu mau apa dari Aira?
“Nanti Ibu kasi tahu, Ibu lapar mau makan dulu, kayaknya bubur ayamnya enak,” ucap Ibu sembari mengambil semangkok bubur dari tangan Aira.
Aira yang melihat Ibunya kembali tersenyum, membuat hatinya lega. Ia melihat Ibunya makan dengan lahap, sesaat membuat Aira lupa dengan rasa sakitnya.
“Bu, Aira pergi ke apotek dulu beli obat buat Ibu.” Aira berpamitan pada ibunya. Beberapa hari belakangan ini, ibunya lupa menjaga kesehatan sehingga membuat tubuhnya lemah dan sering kali sakit.
Ibunya mengangguk, memberi izin kepada Aira untuk pergi.
Tak lama Aira sudah kembali ke rumah, karena jarak dari apotek dan rumahnya hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit. Saat setibanya di depan rumah, ia melihat sebuah mobil berwarna merah terparkir di halaman rumahnya. Ia menatap heran, lalu berjalan mendekat ke pintu. Ia terkejut saat melihat seorang pria yang tak asing baginya, tengah duduk membicarakan suatu hal yang serius pada ibunya.
“Eh Aira sudah pulang, Nak. Sini masuk ada yang mau Ibu bicarakan!” pinta Ibu saat melihat Aira terpatung di depan pintu.
“Mas Malik?”
Refleks Aira mengucap nama pria yang saat ini tengah duduk di hadapannya.
“Kamu sudah mengenalnya, Ai?” tanya Ibu yang merasa heran.
“Enggak, Bu. Aira hanya kebetulan pernah bertemu di toko buku,” jelas Aira.
Pria tersebut tersenyum ke arah Aira, seperti sudah tahu bahwa pemilik rumah ini adalah Aira, ia sama sekali tak terkejut dengan kedatangannya.
“Ai, duduklah! Ini adalah Malik, anak dari Bu Siti, teman arisan Ibu dulu.” Ibu memperkenalkan pria tersebut pada Aira.
“Apa kabar, Mbak Aira lama kita tidak bertemu?”
Pria itu mencoba membuka pembicaraan pada Aira.
“Baik, gak usah panggil saya Mbak,” jawab Aira sedikit ketus.
“Aira, Ibu mau bicara sesuatu sama kamu, ini terkait dengan permintaan Ibu tadi.”
Aira mengalihkan pandangannya ke arah Ibu.
“Menikahlah dengan Malik!”
“Deg!”
Aira sangat terkejut, emosinya tiba-tiba mulai meluap hingga ke ubun-ubun, hatinya memberontak, menolak keras permintaan ibunya untuk menikah.
“Menikah, Bu? Tidak, aku belum mau menikah, dan aku tidak akan pernah mau menikah dengan pria yang aku tidak kenal.” Aira sangat marah mendengar permintaan ibunya untuk menikah dengan Malik, ia berdiri dari duduknya dan langsung mengusir pria tersebut.
“Dan kamu, apa tujuanmu di sini. Pulanglah! Jangan berharap aku mau menikah denganmu.” Aira menunjuk pintu keluar, dengan suara yang meninggi.
“Aira! Duduklah! Jangan berbuat melampaui batas, Malik datang ke rumah dengan niat baik, tidak sepantasnya kamu mengusir dia seperti itu.” Ibu yang menyesali perbuatan Aira, mulai meninggikan suara.
“Tidak, Bu. Aku tidak akan pernah mau menikah dengannya, pergilah!” Kecamuk di dada mulai menjalar dalam diri Aira. Emosinya tak dapat terkontrol.
“Aira, tenanglah! Aku akan pergi,” ujar Malik di tengah-tengah emosi yang menyulut hati Aira dan ibunya.
“Bu, saya pamit pulang dulu!” Malik mencium tangan Ibu Aisyah dengan penuh takzim, ia sama sekali tidak marah atas perlakuan Aira padanya.
“Maafkan Aira, Nak! Ibu akan bicara dengannya. Hati-hati di jalan!” Ibu mengelus punggung Malik, sebagai isyarat semuanya akan baik-baik saja. Malik hanya menganggukkan kepalanya. Lalu berlalu meninggalkan Aira dan ibunya.
“Aira! Ibu tidak pernah mengajarkan kamu berbuat tidak sopan pada orang lain!” ucap Ibu dengan emosi yang meledak-ledak, baru kali ini ia merasa sangat marah dengan perbuatan putri kesayangannya.
“Aira gak mau menikah, Bu.” Aira menangis sesenggukan.
“Duduklah dengan tenang!” Ibu meredam amarahnya, perlahan mengajak Aira untuk berbicara.
“Ai, Ibu ini sudah sepuh, Ibu gak tahu sampai kapan bisa menemani kamu. Ibu tak mampu lagi membiayai semua kebutuhan kamu, terutama kuliahmu di Turki. Selama ini, ayahmu yang memenuhi kebutuhan kita, Ibu tak bisa berbuat banyak.” Ibu menggenggam tangan Aira, berharap ia bisa mengerti dengan keadaan yang saat ini ia alami.
“Aira bisa berhenti kuliah di Turki, lalu bekerja untuk memenuhi semua kebutuhan kita,” tawar Aira dengan penuh keraguan.
“Tidak, Ai. Ibu gak mau kamu kehilangan seluruh mimpimu, itu adalah cita-citamu sedari kecil, Ibu mohon menikahlah dengan Malik, kamu akan tetap bisa melanjutkan kuliahmu di Turki, ia yang akan membantu untuk membiayai semuanya.”
“Jadi Ibu menyuruhku menikah dengan Mas Malik, hanya karena harta? Hanya karena Mas Malik kaya dan bisa memenuhi semua kebutuhan kita?” Emosi Aira kembali memuncak. Pertama kalinya ia membentak ibunya, membuat hati ibunya tersayat, perih karena putri Kesayangannya kini telah berani membentaknya.
“Hanya itu pilihan yang terbaik, Ai. Malik adalah anak yang baik, santun, dan paham agama. Ibu yakin kamu akan bahagia bersamanya.” Ibu meyakinkan Aira.
“Apa Ibu mau nasib Aira sama seperti Ibu? Aira masih trauma dengan kegagalan rumah tangga Ibu dan ayah, lalu sekarang dengan mudah Ibu menyuruhku untuk menikah dengan pria kaya seperti Mas Malik?” Sikap santun dan lembut yang di miliki Aira kini telah berubah menjadi emosi yang menguasai seluruh hati dan pikirannya.
“Bukan seperti itu maksud Ibu, Ai. Kamu tidak bisa menyamakan akhir kehidupan rumah tanggamu kelak, dengan rumah tangga Ibu dan ayahmu yang kini telah hancur, semua berjalan atas kehendak-Nya, tidak semestinya kamu berpikir buruk seperti itu.”
Ibu memegang pundak Aira, menenangkan emosi yang menyulut hatinya.
“Aku tidak mau menikah dengan Mas Malik.”
“Karena Raka?”
Aira terdiam menunduk, menyadari alasannya menolak keras perjodohan ibunya dengan Malik adalah karena Raka. Seluruh hatinya sudah berlabuh pada pria yang selama 8 tahun ini telah menemani harinya, begitu jahatnya ia jika harus menikah dengan pria pilihan ibunya dan meninggalkan Raka yang telah menjadi pilihan hatinya selama ini.
“Aira mencintai Raka, Bu. Tidak mudah untuk Aira meninggalkan Raka dan menikah dengan pria lain.”
Sesak mengimpit rongga dada Aira, menjadi seorang jurnalis handal, adalah mimpinya sedari kecil, seluruh usaha ia lakukan agar bisa mewujudkan mimpinya, sedangkan Raka adalah pria yang selama ini banyak berkorban untuk Aira, dan salah-satu orang yang menjadi semangat Aira mengejar mimpinya. Namun saat ini, ia di hadapkan dengan pilihan yang menyayat hatinya, memilih menolak perjodohan Ibunya, akan membuat Aira kehilangan cita-cita yang hanya tinggal beberapa langkah lagi ia capai.
“Tapi Raka belum melamarmu, sampai kapan kamu harus menunggu. Ai, kalau ada pria baik yang datang melamarmu, tak ada alasan untuk kamu menolak, apalagi hanya karena menunggu pria yang tak pasti.”
Aira hanya bergeming, sangat sulit memutuskan pilihan yang saat ini ia hadapi.
“Aira ingin tetap melanjutkan kuliah, dan menikah dengan Raka.”
“Kapan Raka akan melamarmu?”
“Setelah ia menyelesaikan kuliahnya.”
“Tak ada waktu lama, Ai. Kamu harus segera menikah.”
“Tak cukupkah perpisahan Ibu dan ayah menghancurkan hati Aira? Kenapa sekarang seluruh hidupku juga harus hancur karena perjodohan konyol yang Ibu lakukan. Cukup, Bu. Aira sudah dewasa, Aira bisa menentukan pilihan Aira sendiri.”
Aira beranjak dari duduknya, berjalan menaiki tangga, dan masuk ke kamar, karena merasa lelah dengan perdebatan dengan ibunya. Baru selangkah kakinya sampai di tangga, kalimat Ibu membuatnya kembali terpatung.
“Ibu sudah lama sakit kanker rahim, Ibu gak tahu sampai kapan bisa menemani kamu, Ai. Ibu mau ada pria baik yang bisa menjagamu, membahagiakan kamu-putri kesayangan Ibu. Bukankah kamu berjanji untuk melakukan apa pun demi kebahagiaan Ibu? Menikahlah, Ai!” Suara ibunya terdengar parau, menahan isak yang sedari tadi membuat sesak dadanya.
Aira terduduk, kakinya terasa kelu, tak kuat menahan tubuhnya. Ia terduduk lemah di lantai, isak tangis tak dapat lagi ia bendung. Rasa sakit akibat kehilangan ayahnya belum sepenuhnya pulih, lalu perjodohan ia dengan pria pilihan ibunya menambah luka dalam di hati Aira, dan kini, ia mengetahui kenyataan pahit, bahwa ibunya mengidap penyakit parah. Membuat hidupnya benar- benar hancur, tubuhnya tak kuat lagi menopang beban yang ia rasa.
Ibu memeluk tubuh Aira untuk menguatkannya, hatinya tersayat melihat putri kesayangannya tersimpuh tak berdaya, seluruh hidupnya hancur hanya karena dirinya.
“Maafkan, Ibu! Semua ini salah Ibu.”
“Kenapa Ibu memilih memendam semuanya sendiri, Aira bisa membantu Ibu menghadapi sakit yang Ibu derita.” Aira menangis di pelukan ibunya. Air mata kini membanjiri seluruh wajahnya. Kepalanya terasa begitu berat, tubuhnya lemah, pandangannya mulai kabur, ia terjatuh tak sadarkan diri.
❤️❤️❤️

KAMU SEDANG MEMBACA
Dilema Hati Aira
Teen FictionHallo Readers, apa kabar?? Tetap jaga kesehatan ya jangan cuman rebahan, eh tapi gak-papa rebahan sambil baca cerita dari Author😁😁 Hari ini Author bawa cerita baru nih, banyak mengandung bawang😁. Ikuti terus kisahnya Aira ya , seorang gadis cant...