Aira menatap sebuah undangan pernikahannya dengan Malik yang tergeletak di atas meja, dengan ragu ia memasukkan ke dalam tas. Tak sanggup membayangkan betapa hancur hati pria yang telah memiliki sepenuh hatinya itu, jika ia memberikan undangan ini. Raka mengirimkan sebuah pesan pada Aira, bahwa ia sudah berada di taman. Aira berjalan dengan ragu keluar rumah, menaiki sepeda motornya menuju taman. Dari arah belakang, Aira menatap punggung Raka yang tengah duduk menunggunya di salah-satu gazebo yang rindang, punggung yang akan selalu ia rindukan, pelan Aira melangkah dengan penuh ragu, bahkan Raka belum menyadari kedatangannya. Tanpa basa-basi, Aira memberikan sebuah undangan dari arah belakang Raka.
Raka menoleh, mendapati Aira sudah berdiri di sampingnya, dan menjulurkan tangan, memberikan sebuah undangan padanya.
“Apa ini, Ai?” ujar Raka sembari mengambil undangan dengan penuh ragu.
“Ambillah!”
Raka melihat tulisan undangan pernikahan di bagian depan. Tertulis inisial nama A & M di lembar bagian depan.
“Apa maksud semua ini, Ai? Kamu akan menikah?” Sontak Raka terkejut saat mengetahui Aira akan menikah, ia berdiri dari duduknya, menatap tajam ke arah Aira dengan dada penuh amarah.
“Maafkan, aku!” Aira hanya tertunduk, tak berani menatap Raka.
“Siapa pria itu?”
“Pria pilihan ibu,” ujar Aira dengan nada pelan, penuh ketegangan.
“Apakah dia kaya? Atau punya segalanya melebihi aku?” Raka menatap tajam ke arah Aira yang hanya menunduk, tubuhnya bergetar hebat di penuhi dengan amarah.
“Bukan seperti itu.”
“Lantas mengapa, Ai? Aku yang selama ini telah berjuang, bertahan melewati semuanya berdua, berbagi banyak hal, lalu tanpa kabar kau pulang ke Indonesia, mengajakku bertemu hanya untuk memberikan sebuah undangan, dan sekarang tanpa alasan kau menikah dengan pria lain?” Gejolak di hati Raka semakin membara, melihat Aira hanya diam bergeming sedangkan hatinya penuh dengan luka batin. Tak menyangka wanita yang selama ini memenuhi hatinya, telah mengkhianati cinta yang telah lama ia bangun.
“Aku terpaksa menikah, aku tak punya pilihan lain.” Air mata perlahan jatuh dari pelupuk mata Aira, pertama kalinya ia melihat raut wajah Raka penuh dengan amarah.
“Terpaksa? Menikah itu ibadah terpanjang, Ai. Bukan persoalan main-main, dan sekarang kau bilang terpaksa? Apa kau pikir menikah hanya seremeh itu?” Raka berusaha menahan dadanya yang semakin bergemuruh.
“Semua aku lakukan demi kebahagiaan ibuku. Aku tak bisa memaksakan keadaan.”
“Apakah setelah menikah, semua urusan rumah tanggamu juga akan menjadi tanggung jawab ibumu, Ai?
Aira hanya mematung, isak tangis adalah salah-satu cara ia mengungkapkan betapa hancur hatinya dengan keputusan yang ia pilih sendiri. Terpaan udara yang mengibarkan khimarnya pun, tak mampu meredam luka hati yang mengangga di hati Aira.
“Jawab, Ai!” Raka semakin meninggikan suara, emosinya tak dapat di kontrol. Untuk pertama kalinya, Raka membentak Aira dengan nada keras.
“Ayah dan ibuku bercerai, ibuku sakit kanker, lantas apakah aku harus menolak permintaan ibu di detik-detik terakhirnya? Bahkan aku tak tahu sampai kapan bisa merasakan hangat peluknya,” teriak Aira, mengeluarkan segala beban yang mengganjal di hatinya, luruh sudah pertahanan Aira, air mata tak dapat di bendung, mengalir deras hingga membuat dadanya sesak.
Raka yang mendengar pernyataan Aira, hanya terpatung. Perih menjalar ke seluruh hatinya, sakit bagai tersayat ribuan pisau berkarat, saat melihat wanita yang selama ini ia kenal sebagai seorang yang kuat, bahkan tak pernah menangis selemah ini, kini terlihat duduk bersimpuh tak berdaya, membuat hatinya semakin teriris.
“Kenapa kau tak pernah menceritakan semuanya padaku, Ai? Kau tega membiarkan aku di penuhi rasa bersalah karena membiarkanmu menanggung beban seberat itu sendiri?” Raka berjalan mendekati Aira, memberikan sebuah tisu untuk mengelap air matanya.
“Cukup! Aku tak ingin menambah luka hatimu. Maafkan, aku!”
“Apa kamu yakin dengan keputusanmu, Ai? Apa kamu mencintai pria itu?”
“Bahkan aku sendiri tak bisa pastikan, sampai kapan rasa ini masih bersarang di hatiku, sekalipun nanti aku sudah menjadi milik pria lain.”
“Melepaskan seseorang yang kita cinta rasanya seperti menghunjam belati dengan hebat hingga ke dasar hati, Ai. Perih, bahkan membekas begitu dalam.”
“Maafkan, aku!”
“Hatiku sakit, Ai. Kita pernah bermimpi hidup bersama, melewati suka duka kehidupan yang akan terus datang, tapi kini semua itu hannyalah angan, aku tak tahu harus bahagia atau sedih.”
“Tolong! Jangan membebani aku dengan sakit hatimu,” ujar Aira memelas. Kata-kata yang keluar dari mulut Raka bagaikan belati bagi hati Aira.
“Mengapa takdir begitu kejam, Ai? Menyatukan mereka yang tak saling mencintai, namun memisahkan mereka yang telah lama mencintai. Memang benar ya, kata orang. Titik tertinggi dalam mencintai adalah saat dimana, kita tak lagi berdoa dan meminta untuk bisa memilikinya, melainkan berdoa untuk kebahagiaannya, dan berusaha tegar mengikhlaskannya. Terima kasih, Ai untuk semuanya, aku mengikhlaskanmu bahagia dengan pria pilihan hatimu,” ujar Raka pasrah, hatinya terasa sakit, tapi ia mencoba setegar mungkin. Ia berjalan meninggalkan Aira dengan luka batin yang mengangga. Mengikhlaskan kepergian Aira menjadi pilihan terakhirnya.
Mendengar ucapan Raka, membuat hati Aira semakin perih, ia menangis bersimpuh di taman. Menangisi takdir kehidupannya, ia menyadari hari ini mungkin hari terakhir pertemuannya dengan Raka. Sebelum akhirnya ia sah menjadi istri dari pria yang sama sekali tidak dicintainya. Aira duduk termenung, menghabiskan hari itu dengan air mata, mengingat pertemuan awal dengan Raka, hingga akhir perpisahannya di tempat ini. Memori tentang Raka terus memenuhi kepala Aira. Di saat hatinya rapuh karena perpisahan orang tua, Aira membutuhkan bahu untuk menenangkannya, dan membalut lukanya. Namun kenyataan benar-benar menghancurkannya. Perpisahan dengan Raka membuat hidup Aira menjadi lebih hancur. Ia termenung hingga senja mulai menyapa.
“Aku sendiri tak tahu, Ka. Mengapa semesta tega memisahkan kita, bukankah kau pernah mengatakan jodoh itu adalah ketetapan Allah sesuai dengan ikhtiar makhluknya, tapi mengapa pria yang sama sekali tak pernah aku sebut namanya dalam doa, kini akan segera menjadi temanku meniti rumah tangga,” gumam Aira, dengan pasrah. Ia meremas-remas undangan pernikahannya dengan Malik. Rasa perih dan gejolak amarah di hatinya, membuat pikiran Aira kacau, marah pada takdir yang merenggut kebahagiaannya.
Langit sore kala itu terlihat sedikit gelap, seolah mengerti dengan luka hati Aira. Tetesan demi tetesan air hujan jatuh membasahi dedaunan. Aira tersadar dari lamunan, lalu beranjak untuk pulang, dengan penuh kecamuk di dada.
***
Seluruh rumah Aira dipenuhi dengan dekorasi pernikahan yang megah, lorong-lorong kecil di hiasi dengan berbagai bunga-bunga yang fresh, lengkap dengan dedaunan hijau, kupu-kupu dan berbagai pita. Karpet merah tergelar hingga ke pelaminan. Nampak sebuah pelaminan megah dengan nuansa hijau. Bagian plafon di penuhi dengan daun anggur, di tambah beberapa bunga asteria di sela-sela daun. Terdapat hiasan beberapa pot dan bunga berwarna putih yang tertata di atas pelaminan, memberikan kesan hidup bagi setiap mata yang memandang. Kursi-kursi para tamu sudah tertata rapi, terbungkus dengan kain berwarna putih dengan pita berwarna pink di bagian atas. Suara tabuhan gendang dan alunan musik memenuhi seisi ruang. Semua orang sibuk mempersiapkan hidangan, hingga suvenir untuk para tamu yang datang. Sedangkan Aira, ia tengah termenung di kamarnya, dengan dada yang semakin bergemuruh. Ia termenung di depan cermin, menatap wajahnya yang penuh dengan polesan make-up dengan look simple, tapi membuat aura kecantikannya memancar. Ia mengenakan gaun putih yang menjadi pilihannya untuk melaksanakan akad. Jantungnya berdetak semakin kuat, keringat dingin membasahi seluruh telapak tangan Aira, entah apa yang harus Aira rasakan, sedih atau bahagia atas pernikahannya yang hanya tinggal menunggu hitungan detik.
“Ai, bersiaplah! 5 menit lagi rombongan pengantin pria akan datang,” ujar Ibu dari arah luar, mendekati Aira yang tengah duduk di depan cermin.
“Baik, Bu.” Suara Aira terdengar serak.
“Nak, sebentar lagi kamu akan menjadi seorang istri. Surgamu ada pada ridho suamimu, berbaktilah padanya! Taat pada ucapannya! Selalu merasa cukup dengan apa yang dimilikinya! Karena sesungguhnya dalam sikap merasa cukup ada ketenteraman hati, sedangkan dalam mendengar dan taat maka terdapat keridhaan dari Allah!”
Ibu memeluk putri kesayangannya yang akan segera melepas masa lajang, air mata perlahan luruh, tak terasa putri yang dulu ia timang-timang, kini telah besar dan akan segera memulai hidup baru dengan pria yang ia pilih untuk menjadi suaminya. Beberapa nasehat ibu berikan untuk Aira, tak ingin rumah tangga putrinya gagal sama seperti dirinya. Aira hanya mengangguk mendengarkan dengan patuh.
“Jadilah istri yang lembut dan santun, jangan sekali-kali melawan suamimu! Ibu doakan yang terbaik untuk pernikahan kalian.” Ibu mengelus puncak kepala Aira, lalu mencium pelan keningnya.
“Terima kasih, Bu. Aira akan berusaha menjadi istri yang baik.”
“Ibu tahu, kamu tidak mencintai Malik, tapi setelah menikah, kamu berhak melayaninya, memuliakannya, bahkan menghormatinya. Ibu harap, kamu tidak lagi mengingat tentang Raka.”
Aira mengangguk pelan, meskipun kini hatinya masih sangat mencintai Raka, bahkan seluruh hati dan pikirannya masih di penuhi dengan Raka.
Ibu menuntun Aira turun dengan pelan, rombongan para pengantin pria telah datang. Aira berjalan tertatih dengan wajah yang menunduk. Suara alunan musik membuat suasana semakin mencekam bagi Aira. Sedari tadi dadanya berdegup kencang. Sejenak ia menatap pria yang duduk di ruang akad, dengan balutan jas hitam, dasi berwarna abu-abu, dan peci yang terpasang di kepalanya. Sosok itu yang sebentar lagi akan mengucap janji suci pernikahannya. Aira di tuntun dengan ibunya berjalan duduk di sebelah pengantin pria. Seluruh saksi dan penghulu sudah datang, hanya menunggu hitungan detik, Aira akan segera melepas masa lajangnya. Aira melirik ke seluruh tamu undangan, ia tak melihat keberadaan Raka. Bahkan di detik-detik dirinya sah menjadi istri, ia masih mengharapkan kehadiran Raka.
Suasana sakral pernikahan kini Aira rasakan, hanya degup jantung yang terdengar memenuhi telinga Aira. Rasa takut dan cemas bercampur menjadi satu, ia menunduk tak berani menatap, sembari merapalkan beberapa zikir demi kelancaran acarnya.
“Saya terima nikah dan kawinnya, Sayyidah Humaira binti Hasan Abdillah dengan mahar seperangkat alat salat dan emas sebanyak 5 gram di bayar tunai!”
“Bagaimana para saksi? Sah?”
“Sah ...!”
“Sah ...!”
“Alhamdulillah. Barakallahu lakuma wa baraka alaika wa jama’a bainakumaa fii khoir.”
Riuh suara orang berteriak sah, dan memberikan untaian doa kepada Aira. Sesak mengimpit rongga dada. Kini ia telah sah menjadi istri dari pria yang sama sekali tidak di cintainya. Ia menahan bulir air mata, tak ingin terlihat rapuh di hari bahagianya. Seluruh tamu undangan yang datang semakin riuh saat Malik memasangkan cincin di jari Aira, lalu mencium keningnya dengan penuh ketulusan. Jantung Aira kembali di pompa dengan cepat, seluruh tubuhnya gemetar, seperti merasakan sengatan listrik menjalar ke tubuhnya. Pertama kalinya ia merasakan ciuman dari pria lain selain ayahnya. Dengan tangan gemetar dan hati yang di penuhi keraguan, Aira memasangkan cincin di jari manis suaminya, dengan pelan ia mengangkat tangan suaminya lalu mencium dengan penuh takzim. Kini seluruh hidupnya akan menjadi tanggung jawab pria yang saat ini ada di hadapannya. Pengabdian seluruh hidup dengan tulus bersama pria asing yang kini menjadi suaminya. Malik memegang puncak kepala Aira, sembari merapalkan doa pernikahan untuk keduanya.
Aira melihat ibunya tersenyum manis pada dirinya. Ia memeluk lalu bersujud meminta restu pada ibunya. Air mata tak dapat lagi di bendung. Tangis haru memenuhi suasana pernikahan Aira, bahkan tak sedikit dari tamu undangan yang ikut menitikkan air mata. Setelah melewati berbagai rentetan acara, kini saatnya sesi foto bersama. Para tamu undangan yang datang berfoto bersama kedua mempelai, memberikan ucapan selamat dan doa kepada mereka. Sepanjang acara Aira hanya diam, hanya sesekali tersenyum sebagai pemanis bahwa dirinya bahagia, namun di hatinya sangatlah terluka. Acara resepsi digelar pada malam hari. Tamu datang sedari tadi tak henti-henti, membuat Aira dan Malik kewalahan, karena harus berdiri dan menyalami satu persatu tamu yang datang. Pukul 21.00 seluruh acara telah selesai. Para kerabat dan tetangga mulai pulang. Aira yang merasa sangat lelah, langsung menuju kamar untuk istirahat. Sedangkan Malik masih sibuk bercerita bersama beberapa kerabat yang belum pulang.
Aira berjalan tertatih, harum semerbak bunga mawar dan melati menyeruak ke hidung saat Aira membuka pintu. Berbagai taburan bunga mawar tersebar di sekeliling kamar, suasana indah dan tenang bunga melati serta lilin yang menerangi di setiap sudut ruang, membuat Aira merasa tenang. Ia membersihkan diri, lalu mengambil air wudu dan menyiapkan pakaian salat untuknya dan Malik-suaminya. Tak lama kemudian terdengar seseorang mengetuk pintu.
“Assalamualaikum, Ai! Boleh saya masuk?”
Terdengar suara pria dari balik pintu. Aira bergegas mengambil khimar.
“Masuklah! Pintunya tidak terkunci,” sahut Aira.
Malik masuk perlahan ke kamar, mendapati Aira tengah duduk menghadap ke arah belakang, seolah tak ingin melihat wajahnya.
“Kamu sudah salat isya?” tanya Malik pada Aira.
“Belum, aku menunggumu. Mandilah dulu! Aku sudah menyiapkan air hangat,” ujar Aira tanpa menapak Malik.
“Terima kasih!” Malik tersenyum manis, lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengambil air wudu.
Malik dan Aira melaksanakan salat isya berjamaah untuk pertama kalinya. Dengan khusyuk Malik berdoa lalu Aira mengaminkan. Selepas salat Aira langsung membereskan mukena, lalu duduk di kursi dan meraih sebuah buku untuk di baca. Aira bingung apa yang harus di lakukan, hatinya gelisah menunggu pagi datang.
“Apa kau tak ingin membuka khimarmu?” tanya Malik, ia menatap ke arah Aira yang membelakanginya.
Aira hanya diam, tak tahu mesti menjawab apa. Bahkan untuk membuka khimar di depan pria yang kini telah sah menjadi suaminya ia masih sangat malu, apalagi tidur berdua dengannya.
“Aku paham dengan keadaanmu, dan aku tidak akan memaksamu.”
“Maaf, Mas!”
“Aku tidak akan menyentuhmu, sampai kamu mengizinkanku. Tidurlah! Kamu pasti lelah.”
Mendengar ucapan Malik membuat Aira merasa bersalah, ia sudah sangat berdosa mengabaikan kewajiban untuk menikmati malam pertama dengan suaminya. Namun hatinya benar-benar belum siap. Bayang-bayang Raka terus terekam jelas di ingatan Aira.
“Terima kasih sudah memahami kondisiku, Mas.”
“Tidurlah di atas, aku akan tidur di sofa.”
Malik berjalan ke sofa yang ada di kamar. Aira menunduk, lalu berbaring di atas kasur. Tak ada percakapan lagi antara Malik dan Aira. Keduanya kalut dengan perasaan masing-masing. Malam itu, malam yang kata semua orang adalah malam yang paling di tunggu-tunggu, justru menjadi malam yang penuh dengan sembilu bagi Aira.
Aira mencoba memejamkan mata, berharap malam cepat berlalu. Rasa bersalah membuat Aira sangat sulit untuk tertidur, ia menarik selimut dan menutup seluruh wajahnya. Berusaha tertidur, tapi sangat sulit baginya. Hingga rasa lelah semakin menghampiri Aira, ia terlelap setelah berjam-jam mencoba menutup mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilema Hati Aira
Teen FictionHallo Readers, apa kabar?? Tetap jaga kesehatan ya jangan cuman rebahan, eh tapi gak-papa rebahan sambil baca cerita dari Author😁😁 Hari ini Author bawa cerita baru nih, banyak mengandung bawang😁. Ikuti terus kisahnya Aira ya , seorang gadis cant...