04 | Istirahat

32 5 7
                                    

Now Playing: In The End - Linkin Park.

-o0o-

[BAGIAN NOL EMPAT]
"Mari saya antarkan kamu ke peristirahatan abadi."

-o0o-

   Pukul 23.00 WIB, Senja mengayunkan kaki keluar dari rumah Kafka. Tadi selepas menonton film di bioskop, Senja ingin mampir ke rumah Kafka terlebih dahulu, karena ada barangnya yang tertinggal di sana. Senyuman manis merekah dengan sempurna di sana kala bibirnya bergerak mengucapkan selamat tinggal, Senja berjalan menjauh dari rumah Kafka, menuju ke rumahnya yang berada lumayan dekat dari sana. Sebenarnya tadi Kafka menawari untuk mengantarkannya, namun ia menolak, pikirnya tidak masalah ia pulang jalan kaki, toh jalanan masih ramai oleh pejalan kaki lainnya.

  Sembari bersenandung pelan, ia terus mengayunkan kakinya, dari jalanan yang ramai, lambat laun, semakin dekat dengan rumahnya, maka semakin sepi pula jalanan yang ia lewati.

   Dan mulai dari situ senyumannya luntur, pendengarannya menangkap suara senandung lain, dengan lagu yang sama, berada agak jauh di belakangnya. Mencoba untuk tetap tenang, Senja tidak berbalik atau pun sekedar menoleh, ia hanya mempercepat ayunan kakinya sedikit demi sedikit, berdoa agar perubahannya tidak terlihat mencolok.

   Yah, kerap kali realita itu jauh berbeda dengan ekspektasi. Begitu pula dengan yang Senja rasakan, kali ini karena hanya dirinya dan penguntit tersebut yang ada di situ, menyebabkan perubahan pada tingkah laku Senja tertangkap oleh netra hitam legamnya. Penguntit itu pun nampak sudah mulai agresif dengan balik mengejar Senja.

   Tanpa menoleh Senja terus memacu kecepatan larinya, namun semua itu terpaksa berhenti ketika tangannya digenggam dari arah belakang oleh sang penguntit. Dan berikutnya ia merasakan perih yang tiba-tiba bersarang di perut, bola matanya bergulir, melirik ke kanan sebelah bawah, didapatinya ada sebuah pisau dapur yang menancap di perutnya.

   Pekikan lolos begitu saja dari bibir mungilnya kala pisau tersebut bergerak mendatar mendekati bawah pusar. Kedua tangan senja sedari aksi itu dilancarkan masih bebas, hanya bagian perutnya yang dipeluk erat agar tidak banyak bergerak atau lari. Sayangnya kedua tangan itu akan ia gunakan untuk melarikan diri, hatinya berkata agar tangannya menarik pisau saja, namun otaknya melarang, akhirnya Senja memukul tangan besar itu berulang kali hingga genggamannya lepas dari pisau, dan dengan segera Senja berlari menjauh. Tapi baru berlari sejauh 200 meter, ia merasakan jika ada pisau lain yang menancap di punggungnya.

   Ia berhenti, membalikkan badan, dengan bermodalkan penerangan yang temaram, ia dapat melihat senyuman miring tercetak jelas di ujung sana, orang itu tersenyum melihat penderitaan yang ia rasa. Rasanya memang sangat sakit dan perih, namun Senja terus mencoba untuk berlari, walau di tiap langkah dan guncangan yang menimpanya, makin memperparah sakit yang ia derita.

   Tak cukup sampai di situ, ia mendengar derap langkah kaki mengejarnya dengan cepat, dan tak perlu waktu lama hingga ia sudah berada di belakang orang tersebut. Kini ia dihadang, ingin berbalik, namun orang itu menarik tangan senja dengan cepat.

   "Ingin ke mana nona? Saya tengah kesepian malam ini, temanilah saya sebentar saja untuk membuat karya seni." Suara berat pria misterius itu membelai gendang telinga Senja, menguarkan aura menyeramkan yang membuat pasokan oksigen di sekitarnya menipis seketika.

  "A - akuㅡ" Belum juga Senja merampungkan jawabannya, sang pria kembali menggerakkan pisau yang berada di bawah pusar Senja mendatar, hingga tembus melewati pinggangnya. Kini darah dari perut Senja tak hanya menetes sedikit demi sedikit, tapi keluar dengan deras bak air bah di tengah guyuran nabastala.

CrimesonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang