BATAS

6.7K 912 50
                                    

"Quinsha itu dulu anaknya ceria dan manja. Pokoknya enggak jauh beda sama mama waktu muda. Tapi, ada satu hal yang banyak merubah dia jadi ambisius. Jujur, saya rindu Quinsha yang dulu."

Perkataan Salman tadi masih terngiang di benak Adrian yang masih bersandar di dipan itu.

Pria itu sudah merubah penampilannya dengan t-shirt santai berwarna hitam. Jaket kulit berwarna hitamnya digantung saja di balik pintu.

Malam itu mereka mendapatkan kesempatan menginap di rumah mertuanya. Tepat di kamar Quinsha.

"Tapi, apa yang membuat Quinsha berubah?" batin Adrian bertanya-tanya.

Tak lama manik coklatnya berkelana ke seisi kamar dengan nuansa serba merah muda itu. Dia merasa seperti di kamar anak TK.

Tiga lemari yang berjejer di hadapannya cukup menarik perhatian. Lemari kaca berisi banyak piala dari atas sampai bawah yang rata-rata bertuliskan, "Juara 1". Baik tingkat Provinsi, Nasional bahkan Internasional.

Di sebelah lemari piala itu terdapat dua lemari besar yang terdapat bermacam-macam buku dengan berbagai tema. Belum lagi tempelan di dinding-dinding kamarnya yang bertuliskan materi-materi singkat yang harus diingat. Adrian sampai sakit kepala melihatnya.

Serajin-rajinnya dia belajar saat masih menjadi Taruna, Quinsha mungkin lebih rajin dari itu, pikirnya.

Tak sengaja pandangannya teralih ke samping, mendapati sebuah mading dari styrofoam besar berwarna biru yang berisi banyak impian-impian Quinsha. Targetnya setiap tahun yang harus diwujudkan. Beberapa sudah diberi tanda centang tapi beberapa belum. Seperti impian melanjutkan S3 di Universitas idaman.

"Well, penuh perencanaan. Tapi, apa S3 itu terlalu penting sampai kamu begitu membenci semua yang menghalangi S3?" Kali ini dia miris.

Tak sadar Quinsha sudah muncul di sampingnya dan naik ke atas ranjang sambil membawa lakban berwarna hitam lengkap dengan gunting.

Gadis itu mulai menarik batas membagi ranjang itu menjadi dua sisi membuat Adrian menaikkan satu alis.

"Batas," ucap gadis itu dengan nada dingin.

Adrian malah menatap gadis berhijab navy yang duduk di sisi ranjang itu dengan bingung. "Batas?" tanya Adrian seolah tak paham.

Telunjuk Quinsha menunjuk batas itu lagi. "Jangan dilanggar batas ini! Ini kesepakatan kita, Pak."

"Okay." Adrian tampak santai saja.

Tak lama Quinsha mulai mengeluarkan banyak bantal dari lemarinya dan menaruhnya di tengah untuk membatasi mereka.

Tangan kanannya menyodorkan sebuah selimut berwarna putih dengan ogah-ogahan. "Dan, Anda pakai selimut yang ini."

Adrian menerimanya dengan malas. "Oh, jadi kita tidak satu selimut?"

"Tidak!" potong Quinsha dengan tegas minta ampun membuat Adrian menahan tawa misteriusnya.

"Okay."

Quinsha akan berbaring tapi masih sempat menoleh lagi untuk mewanti-wanti. "Ingat, jangan dilanggar, Pak!"

Adrian sampai menghela napas kasar seolah jengah. "Tenang! Aturan itu harga mati untuk saya. Kalaupun ada yang melanggar, itu pasti kamu."

Quinsha menatapnya dengan wajah kesal. "Tck. Tidak akan!"

Gadis itu langsung berbaring membelakangi Adrian yang masih bersandar dengan sebuah buku di genggamannya.

Pria itu masih sempat-sempatnya melirik punggung gadis yang masih memakai gamis dengan jilbab lengkap dengan kaos kaki itu sebelum geleng-geleng kepala.

"Kamu memang terbiasa tidur pakai jilbab dan gamis lengkap, ya?"

Sontak Quinsha langsung bangkit menatap pria yang masih santai membaca bukunya itu. Adrian juga angkat kepala membalas menatap tatapan dingin itu sebelum kembali ke bukunya.

"Maksud saya pakai yang lebih nyaman untuk kamu saat tidur. Ya, tapi terserah kamu."

Quinsha tetap tak menghiraukan dan memilih tidur dengan posisi sebelumnya.

Dan, malamnya kejadian spektakuler terjadi.

Tangan Quinsha sudah naik asal di jidat Adrian. Pria itu sampai terbangun karena merasa terganggu. Tak lama kaki Quinsha sudah bebas saja melayang menendang punggungnya sampai bunyi besar terdengar.

BRUK!

Adrian ngesot di lantai.

Alhasil semalaman suntuk dia tidak tidur dengan damai, karena harus waspada menangkis seluruh gerakan Quinsha. Sudah seperti tidur seranjang dengan musuh bebuyutan.

"Praktek bela diri salah waktu," batin Adrian dongkol sekali.

Ini akibatnya kalau bertahun-tahun tidur sendirian dan tiba-tiba harus tidur berdua. Semua batas yang dibuat Quinsha dilanggarnya sendiri. Seluruh bantal yang tersusun membatasi mereka saja sampai diterjang.

Adrian tak habis pikir, ada tidur gerakan kuda macam begini, pikirnya.

03.00 WIB

Penderitaan Adrian berakhir karena pria itu beralih bersiap-siap untuk shalat tahajud sekaligus meredam emosinya setelah dianiyaya.

Tak lama Quinsha terbangun dan sayup-sayup menangkap pemandangan seorang pria bersarung hitam, berbaju koko putih yang senada dengan pecinya yang sedang melakukan gerakan shalat dengan posisi membelakanginya.

Gadis itu bangun dengan wajah mengantuk sambil membaca doa bangun tidur dan membersihkan bekas tidur di wajahnya.

Begitu menoleh ke samping, Quinsha sontak melotot dan wajahnya memerah seketika. Melihatnya sudah melanggar batas yang dibuatnya.

Kepalanya tertunduk dalam sambil memukul dahinya menahan malu sampai ubun-ubun. "Aish ...."

***

Setelah menggelar sajadah di belakang Adrian, dia baru akan bersiap-siap shalat ketika Adrian yang sudah selesai berdoa itu menoleh ke arahnya dengan senyum-senyum penuh arti.

Quinsha mulai heran sendiri. "Kenapa Anda senyum-senyum begitu, Pak?" tanyanya dengan nada tak suka.

"Ekhem. Kayaknya kamu sangat ingin menjadi makmum saya, ya?"

"Jangan mimpi!"

Secepat kilat Quinsha langsung mengambil sajadahnya dan keluar kamar mencari ruangan lain. Mengabaikan Adrian yang menahan tawanya.

Hello Bu Dosen (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang