1/1

14.4K 1.4K 45
                                    

I Love You're Doing That

Semua bermula dari pekerjaan. Juita yang hobinya bekerja tanpa tekanan jam kantor, memilih untuk masuk dalam dunia produksi film yang justru membuatnya berkecimpung dalam jam kerja yang lebih tak waras. Iya, tak waras. Mana ada kantor yang bekerja hampir 24 jam perhari ketika produksi berjalan? Jangankan saat produksi, sebelum semua proses terjadi ada rapat dan pekerjaan penting untuk mempersiapkan produksi yang akan berjalan. Bagi Juita itu lebih memusingkan ketimbang saat produksi saja. Ketika dua tahap itu selesai, masih ada tugas mempercantik film atau series yang dibuat. Yaitu, editing. Ah, sudahlah. Juita lelah dengan bayangan pekerjaan.

Dengan segala rambu yang berjalan di kantornya, Juita dibebaskan untuk melampiaskan rasa lelahnya. Ingin ke kelab malam? Terserah. Justru ada kelompok di kantor yang hobinya 'molor' di kelab tiap malamnya. Ada pula yang memilih hidup dengan banyak sangkar, entah sudah terikat maupun belum. Juita tidak ribut memikirkan hal semacam itu. Ya, semua itu tentu saja dalam batas wajar. Dalam artian tidak merugikan perusahaan.

"Uwiuwiwww!" seru salah seorang rekan kerjanya dengan sengaja memplesetkan nama panggilan Juita dengan suara ambulan.

"Kenapa, Mas Tito?"

Jika sudah dipanggil dengan nada begitu, pastilah Tito memiliki niatan untuk disampaikan pada Juita.

"Malem nanti sibuk nggak?"

Pertanyaan basa basi memang selalu digunakan rekan Juita. Itu karena hampir setiap saat, ketika ditanya dalam momen semacam ini, Juita selalu mengatakan tidak bisa pada teman yang lain. Awal-awal, Juita masih tidak enak hati menolak. Lama-lama, Juita terbiasa berkata tidak dan teman yang lain mengerti. Juita adalah perempuan yang anti dengan asap rokok, rokoknya, dan minuman alkohol. Sekalipun itu bir yang kadar alkoholnya 0%, Juita tidak mau. Dia sadar diri, berangkat dari panti, dia tak mau menciptakan masalah dalam hidupnya. Apalagi tak memiliki siapa-siapa, itu menyulitkan Juita untuk bertahan dan memudahkan masalah datang.

"Mau ngapain emangnya, Mas?" balas Juita pelan. Dia harus tahu dulu kemana ajakan ini berakhir.

Tito terlihat hati-hati ketika menyampaikan maksudnya. "Em, jadi gini, Wi. Ada kenalan gue yang pengen ketemu sama lo. Dia pengen kenalan."

"Siapa namanya, Mas? Kok, dia bisa tahu aku sampe pengen kenalan?"

"Pranayoga. Dia pernah sekali ngeliat lo di lokasi syuting Mahameru," balas Tito jelas.

Juita mencoba mengingatnya. Kapan terakhir kali dia mendatangi lokasi syuting Mahameru. Itu sudah berapa lama?

"Duh, kayaknya itu udah setahun yang lalu. Lama banget, Mas Tito."

Tito meringis. "Ya, emang. Dia masih inget lo. Berulang kali dia ikut acara kantor, dia nggak bisa ketemu."

"Gitu, ya?"

Juita diam-diam melirik ke bilik ruangan atasannya. Di sana, seorang pria yang terlihat tak berminat mengetahui persoalan kru-nya, sedang berkutat dengan agendanya sendiri.

"Terus malam ini buat acara kumpul biasa atau ada agenda khusus kantor?"

"Sebenernya kalo dibilang acara kantor nggak juga, sih. Ini berkaitan sama Pranayoga, dia mau bikin sesuatu gitu. Dan, ya ... Pak Bos bakalan ikut karena ini menyangkut kerjaan juga."

Pak Bos, itu adalah panggilan yang selalu disematkan untuk pria itu. Jika Juita ikut, dia justru merasa tak nyaman kalau nantinya Pranayoga itu malah mendekatinya terang-terangan di depan Gerka. Kalau menolak, Juita tak akan tahu apa saja yang akan dilakukan Gerka ketika minum bersama anak buahnya.

"Gimana, Wi? Ikut, nggak?"

Come on, Wi! Ini bisa jadi kesempatan buat lepas dari hubungan kacau lo sama Gerka.

"Boleh, deh, Mas. Atur aja buat saya bisa ketemu sama Pranayoga itu, ya."

Tito terlihat lega sekali. "Thank you, Wi. Thank you!"

*

Ahmad Gerka Daud [Besok mama ada acara pengajian.]

Juita menatap pria yang duduk agak jauh darinya itu. Gerka terlihat sibuk sendiri dengan tawa serta obrolannya dengan pegawainya yang lain. Ia memutuskan untuk tak langsung membalas, membiarkan pria itu bersenang-senang.

"Jadi, nggak tertarik jadi akuntan atau sekretaris gitu?" tanya Pranayoga pada Juita. Mengusik diamnya perempuan itu.

"Sebenernya bukannya nggak butuh, ya. Tapi kalo nggak tertarik, kan, susah. Nanti terpaksa gitu kerjanya. Kalo butuh ... ya, tetap kalo gajinya besar pasti butuh."

Prana tertawa mendengarnya. Sedang Juita hanya tersenyum manis.

"Tetap butuh uang lebih, ya. Tapi itu memang realitanya, sih. Semua orang pasti butuh uang," kata Prana.

Juita mengangguk. Diam-diam Prana menatap dari samping wajah perempuan itu.

"Kamu blasteran apa, sih?" tanya Prana kembali.

"Aku?"

"Iya, kamu, Juita."

Jujur saja Juita tak tahu dia ini keturunan darah campuran mana. Karena dia sudah dibesarkan di panti asuhan sejak bayi.

"Memangnya kelihatan banget?"

"Banget! Kamu terlalu cantik kalo cuma darah indo. Bentuk hidung," Juita agak terkejut dengan sentuhan sekilas Prana pada hidungnya. "mancung begini. Terus warna mata kamu, aku nggak tahu apa sebutan warnanya, tapi agak hijau, abu, biru ... entahlah. Cantik sekali."

Juita berterima kasih dengan pujian yang Prana berikan. Mereka melanjutkan obrolan sendiri meski ponsel perempuan itu kembali bergetar menandakan pesan masuk.

Juita berusaha mengabaikannya, pesan itu tetap terbaca olehnya ketika bertukar nomor dengan Prana.

Ahmad Gerka Daud [sengaja, ya? Nanti, aku adakan pengajian di kamar kita sebelum besok kamu ikut ke pengajian mama.]

Itu menakutkan.

[Bab berikutnya agak nganu, ya.🤭]

I Love You're Doing That [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang