9. Nostalgia

61 8 0
                                    

Sudah lama Fariz ingin menceritakan semua keluh dan keasahnya pada Elga. Baru sekarang Fariz benar-benar letih dengan semua hal yang telah ia lalui. Baru pertama Fariz menangis tersendu dalam dekap hangat Elga. Usai memberi izin pada Galuh yang ingin tidur bersama Ibnu.

Ingatannya selalu melintas pada masa di mana mereka masih begitu muda untuk bisa mengenal apa itu beban. Ketika mereka masih harus banyak belajar, dan ketika mereka  masih sering bertengkar.

Fariz seorang diri kala itu, mencoba untuk tidak bertindak dengan brutal ketika melihat Ibnu tersiksa dalam sebuah gudang tua dengan beberapa siswa yang menyerangnya. Selepas pulang sekolah, tepat ketika jarum jam menunjukkan pukul tiga sore. Fariz bergegas menyusuri setiap kelas tapi tak ada satu pun. Hingga getar ponsel memberinya petunjuk.

Fariz tidak bodoh, ia tahu apa yang harus dilakukannya, meski ia harus melihat Ibnu tergeletak lemah dengan dikelilingi  siswa tidak tahu diri baginya. Langkahnya tertahan, saat tahu  ada seseorang yang menahan bahunya. Tubuh mungil dengan senyum manis, menghias di sana. Tatapnya seolah memberitahu untuk tidak bertindak dengan cara yang salah.

"Abang... Jangan buat kesalahan yang nantinya bisa jad masalah besar. Lo nggak tahu masalah apa  nanti yang datang ke depannya."

Dia begitu lugu, saat di mana mereka benar-benar masih sangat muda. Tangan besar Fariz saat itu terulur mencoba untuk menjelaskan dengan sangat hati-hati agar tidak menyinggung perasaannya. Tapi sekali lagi, dia berbeda, apa pun yang dikatakannya adalah mutlak tidak bisa diganti atau dibantah.

"Lo tenang aja. Dia akan pulang dengan selamat. Sekarang lo balik duluan, tunggu gue di rumah jangan ke mana-mana, karena  Bunda sama Papa nggak ada di rumah."

Dia menggeleng, tak pernah bisa dilupakan bagaimana wajahnya saat itu. Menggemaskan, kedua mata yang berkaca-kaca membuat Fariz tak tega jika harus membiarkannya pergi sendirian. Sementara saat itu Irgi dilarang olehnya untuk tidak ikut.  Hela napas berat selalu menjadi satu-satu cara agar  bisa membiarkannya tetap bersama. 

"Tunggu di sini, diem jangan ke mana-mana. Lo jagain tas gue. Pokoknya diem aja, ngerti?!" Perintahnya selalu dituruti. Dia pun diam sambil memegang erat tas milik Fariz, sementara si pemilik meninggalkannya untuk menolong Ibnu.

"Ingat Riz, itu masa lalu, kamu nggak bisa hidup  terus-menerus dengan rasa bersalah. Kamu sudah melakukan yang terbaik yang kamu bisa." Pelan suara Elga mengambil alih semua lamunannya, lelaki itu mendongak tepat saat Elga tersenyum padanya. 

"Dia selalu bilang kalau kita adalah satu. Ribuan nikmat yang pernah diraih tapi hanya satu yang bisa dipetik." Elga mengerutkan keningnya. Apa yang Fariz katakan  seperti tak asing baginya. Dulu jejak yang sama pernah melekat manis dalam benaknya, bahkan memberi warna yang begitu indah. Seolah menyentuh padahal tidak sama sekali, hanya kata yang mampu Elga ingat sampai detik ini. Pertemuan singkat tapi sudah menyimpan banyak kenangan.

Katanya sebagai seorang yang diingat adalah mereka yang selalu memberi warna, selalu bergerak tanpa pamrih, dan tidak pernah mau mengakui kalau mereka sebenarnya berarti. Sama halnya seperti mengagumi sesuatu, jika mereka tak ada lagi, apakah yang akan diingat? Bukan wajahnya, tapi bagaimana mereka bisa memberi sesuatu yang paling berharga.  Walau mereka bukan idola sekalipun.

Elga sangat mengingat bagaimana napas berat itu mengucapkan kata perkata saat mereka bersama. Perih dan sakit selalu menghampiri jika Elga mengingatnya.  Anak laki-laki dengan sejuta kejutan. Ada banyak rahasia yang yang perlahan mulai  terbuka.

"Kamu selalu bilang, kalau luka juga memiliki rasa. Jadi rasakan luka itu bukan dengan menangisinya. Kamu adalah orang yang paling hebat yang pernah aku temui. Bukan cuma kamu, tapi Ibnu juga. Dia sosok kakak yang luar biasa, menjalani masa sulitnya dengan tawa, walau semua tawanya pernah menjadi dukanya sendiri. Riz... Kamu pernah bilang ke aku, kalau berjalan dengan satu kaki akan sulit, tapi kamu juga selalu bilang ke aku, kita bisa melewatinya bersama. Bukan cuma aku, kamu pernah melakukannya untuk Galuh dan Ibnu. Sekarang, kamu akan melakukannya lagi, tapi kamu nggak sendiri, ada aku, kita melangkah bersama. Seberat apa pun itu."

JEJAK ASA (Selesai)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang