Jika malam itu Ibnu tidak menelpon mungkin hari ini Ibnu dan Galuh tidak ada di rumah sakit. Sudah hampir lima belas hari setelah tindak medis yang menyatakan bahwa, Fariz harus melakukan operasi usus buntu yang telah didiagnosis sebelumnya. Mulai dari pemeriksaan yang awalnya hanya infeksi lambung, ternyata lelaki itu mengalami penyakit lambung yang cukup serius. Setelah melakukan beberapa tahapan pemeriksaan, barulah dokter meminta persetujuan untuk melakukan bedah.
Elga pikir suaminya hanya mual dan muntah karena masuk angin. Karena Fariz sangat jarang mengeluh tentang kondisinya yang ternyata sudah ditahannya cukup lama. Ia hanya mengira kalau Fariz hanya sakit maag biasa, diberi obat pun cukup, nyatanya lelaki itu benar-benar tumbang. Terlebih tepat saat kecelakaan itu terjadi.
Kini lelaki itu terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya. Bahkan terlihat jauh lebih segar dari sebelumnya. Fariz hanya butuh istirahat yang cukup untuk masa pemulihannya.
Satu yang Fariz ingat sebelum dirinya masuk ke dalam ruang operasi. Ucapan Elga yang sampai detik ini masih menjadi penguat dikala semuanya hampir runtuh kembali.
"Bunda, udah. Nanti aku gendut, nggak like," kata Galuh. Anak itu tengah asyik bersandar di sebelah Fariz sambil menikmati potongan buah yang diberikan oleh Elga.
"Oh, iya, katanya kemarin ulangannya dapat nilai bagus, bener nggak tuh?" tanya Elga, wanita itu sengaja mengalihkan pertanyaan putranya dengan hal lain, agar buah-buahan yang ia berikan tidak ditolak begitu saja. Elga bisa melihat bagaimana Galuh bercerita sambil menikmati buah yang Elga berikan. Bahkan Fariz saja terdiam saat melihat putranya begitu bersemangat.
"Terus Bu guru bilang apa?" tanya Elga lagi, tepat saat buah terakhir yang ia berikan pada Galuh.
"Bu guru bilang aku hebat. Aku hebat, kan, Pa? Papa diam aja, nih. Papa sakit, lagi?"
Fariz tahu dirinya sangat jarang berada di rumah, kalau pun ada, tentu saja akan ia habiskan untuk beristirahat atau mengerjakan beberapa berkas yang belum tuntas.Namun, kali ini ia bisa melihat dengan begitu jelas raut wajah khawatir yang tampak dari wajah putranya. Bahkan anak itu hampir saja menangis karena tak ada sahutan yang terdengar dari bibir Fariz.
"Hebat. Nggak, Papa nggak sakit."
Galuh tak yakin dengan ucapan Fariz, anak itu itu pun perlahan merubah posisinya agar bisa melihat wajah Fariz dengan jelas, tak lupa dengan tangan mungilnya yang sudah memeluk tubuh Fariz begitu hati-hati.
"Papa nggak boong, kan? Kata Om Nu, kalau boong hidungnya panjang."
Fariz tersenyum, kemudian sebelah tangannya ia bawa untuk mengusap wajah Galuh yang begitu polos. Ia benar-benar seperti seorang kakak, padahal yang ada di hadapannya adalah putranya sendiri.
"Pa, Papa cepet sembuh, ya. Semalam aku berdoa sama Tuhan," katanya. Fariz benar-benar terhibur mendengar Galuh yang bercerita, belum lagi dengan ekspresinya yang tampak meyakinkan kalau apa yang diceritakannya sangatlah serius.
"Oh, ya?" sahut Elga usai membereskan beberapa tempat makan dan sampah yang cukup berantakan di dekatnya. Mendengar suara Elga yang tak yakin, Galuh dengan mantabnya mengangguk. Seolah apa yang diceritakannya benar-benar sungguhan.
"Iya, Bunda. Tanya aja, Om. Iya, kan, Om?" Ibnu yang baru saja masuk ke ruangan tersebut cukup terkejut dan sedikit bingung dengan apa yang ditanyakan oleh Galuh.
"Apa?" tanya Ibnu.
"Katanya dia habis berdoa sama Tuhan, biar Fariz cepat sembuh," balas Elga. Ibnu terkekeh, kemudian menutup kembali pintu kamar rawat Fariz lalu mengambil posisi nyaman dengan duduk di sofa yang berukuran sedang di sudut ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
JEJAK ASA (Selesai)✅
RomanceSetiap insan pernah berbuat kesalahan, pernah menyelem sampai ke dasar hanya untuk mengukir kenangan lama, lalu mengakhirinya dengan senyum bahagia. Dulu memang terluka, cerita lama telah usai, begitu katanya. Namun, badai baru datang kembali menyi...