Dua pekan terasa begitu lama untuk Elga yang terus memandang lekat wajah pucat putra tunggalnya. Sejak kejadian beberapa waktu lalu, keadaan Galuh sempat menurun. Kabar terakhir yang dokter sampainya hampir membuat mereka putus asa. Beruntung tidak ada hal fatal yang bisa menggoyahkan keyakinan mereka yang benar-benar begitu khawatir.
Entah bagaimana anak itu bisa pergi tanpa sepengetahuan Genta dan Irgi yang jelas-jelas ada di sana. Yang Irgi ingat terakhir kali Galuh meminta izin untuk keluar membeli cilok yang berhenti di depan pagar rumah. Sebenarnya bukan itu yang ingin Irgi sampaikan, ia sempat mendengar Galuh berteriak memanggil nama sahabatnya dengan sebutan 'Om Nanda', Irgi pikir Galuh hanya bergurau. Tak lama setelahnya anak itu menghilang.
Situasi panas berubah panik saat Irgi tiba-tiba masuk ke dalam dan membiarkan Genta pergi mencari. Rasanya masih tidak percaya, tapi Irgi sangat mengenal Ibnu dan Fariz saat keduanya sedang marah atau berdebat. Ia tidak peduli lagi jika harus menerima kata-kata pedas Fariz atau jejak yang Ibnu tinggalkan di wajahnya nanti. Yang Irgi pikirkan hanya Galuh, anak kecil yang menghilang karena sedih.
"Kamu di sini?" Ibnu menoleh saat melihat Nirmala datang dengan stelan formal yang biasa gadis itu kenakan saat mengajar.
Belum ada tanda kalau Ibnu akan menjawab, setelah Nirmala memegang tangan Ibnu untuk mengusap punggung tangannya, barulah Ibnu mendongak memandang wajah cantik Nirmala dengan senyum manis di sana.
"Maaf, waktu itu aku nggak bisa antar kamu pulang, situasinya lagi nggak baik," ucap Ibnu membuat Nirmala menunduk sebentar kemudian menggeleng. Gadis itu tampak biasa saja, padahal ia ingin membantu, tapi Ibnu melarang dan meminta Reka untuk mengajaknya pulang bersama.
"Gala, gimana? Dia baik-baik aja, kan?" Ibnu menggeleng, ia tidak pernah bisa mengatakan baik-baik saja, padahal sebenarnya sangat berbanding terbalik.
"Ada apa? Gala, dia baik-baik aja, kan?"
Ibnu tidak bisa menyembunyikan sedihnya untuk kali pertama pada seorang gadis yang belum lama ia kenal. Jujur, Ibnu malu, tapi kali ini berbeda. Ibnu merasa begitu nyaman, tidak hanya dipedulikan, Nirmala memberi sebuah perasaan yang jauh lebih hangat daripada Titan, mantan kekasihnya dulu.
"Lumayan, tadi pagi dia siuman," ucap Ibnu pelan. Dalam benaknya ia ingin sekali berteriak, memaki orang yang dengan tega mencelakai keponakannya. Ibnu tidak ingin berburuk sangka, tapi pikirannya selalu mengarah pada Miko. Pemuda kurang ajar yang sengaja telah menyabotase pabrik coklat miliknya.
Kasus yang baru terungkap sekitar sebulan yang lalu, beruntung tidak ada korban jiwa. Kalau saja Fariz tahu, mungkin lelaki itu sudah datang ke rumah pemuda itu sambil mengacau di sana. Entah sudah berapa kali Ibnu pernah memergoki keberadaan Miko dan Fatur yang tiba-tiba melintas di depan rumah mereka.
Awalnya hanya angin lalu, mungkin hanya kebetulan lewat, tapi lama-krlamaan semua yang terlihat tampak mencurigakan, Ibnu masih abai. Ia tidak ingin membuat keributan di saat semua orang tengah bersenang-senang. Kali ini Ibnu hanya bisa membuang napas beratnya karena ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Nirmala saat dirinya tiba-tiba datang ke rumah gadis itu.
"Duduk, aku buatkan minuman, nanti kita bicara lagi," ucap Nirmala. Ibnu tidak menolak, ia pun duduk di kursi depan teras rumah gadis itu. Sesekali ia mengecek ponselnya, melihat berapa banyak pesan masuk dan tak lama, matanya tertuju pada dua pesan terakhir di nomor yang tidak dikenal.
"Ada apa? Kamu khawatir baget?" Ibnu menggeleng. Ia tidak bisa menceritakan hal yang belum bisa ia bagi dengan Nirmala. Walau ia ingin, tetap saja rasanya akan aneh. Apa kata orang, jika Ibnu tiba-tiba berbagi kisah.
"Bukan apa-apa. Kamu mau berangkat?" Nirmala tersenyum setelah meletakan secangkir teh buatannya di atas meja berukuran sedang di sebelah Ibnu. Gadis itu pun ikut duduk di kursi kosong yang ada di sebelah meja tersebut.
"Iya, tapi bukan ke sekolah." Ibnu menaikkan sebelah alisnya, kemudian Nirmala kembali melanjutkan ucapannya. "Ke rumah sakit. Aku mau jenguk Gala, tadi aku sempat nanya ke teman kamu, Genta."
"Boleh minta waktu sebentar?" Ibnu tiba-tiba memotong pembicaraannya sampai membuat Nirmala tersentak. Beruntung gadis itu tidak mudah marah. Ibnu tahu caranya tidak romantis, tapi ia tidak ingin membuat waktu berharganya terlalu lama.
"Jadi pendamping hidupku, apa kamu mau?" Melihat wajah serius Ibnu membuat Nirmala bingung. Belum lagi saat cowok itu menunduk sambil menautkan jemarinya satu sama lain.
"Aku tahu ini terlalu cepat, tapi bolehkah untuk mengutarakan sedikit keresahan ini? Jangan marah, ini bukan lelucon, aku serius."
Hela napas Nirmala terdengar sedikit meragukan. Tidak lama setelahnya Nirmala pun menoleh, seakan ada angin ribut yang membawa pesan tanpa permisi. Ia pun mengusap lengan Ibnu sampai si pemilik menoleh sambil menatap wajah cantik Nirmala dengan senyum yang tak pernah lepas di sana.
"Aku pikir kamu cuma bisa gombal, aku salut, tapi maaf—"
Ucapan Nirmala terjeda, ketika dering ponsel Ibnu mengalihkan semua pandang pada benda pipih yang ada digenggamannya.
"Hallo."
Tidak ada jawaban dari sebrang, Ibnu pun kembali mengecek, tapi sambungan teleponnya masih terhubung. Ibnu terkejut saat mendengar suara lirih yang selalu ia tunggu beberapa hari belakangan. Sudut bibirnya sedikit terangkat, begitu juga dengan binar mata yang terlihat berkaca-kata. Ibnu hanya mangut-mangut sambil mengusap keningnya.
"Iya, Om ke situ." Nirmala hanya terkekeh ketika Ibnu mengakhiri percakapannya lewat telepon yang cukup lama. Nirmala bisa melihat dengan jelas kalau Ibnu begitu menyayangi Galuh, bahkan saat anak itu menangis pun, Ibnu dengan tenang membuat Galuh agar berhenti menangis. Lucu, itulah yang Nirmala lihat saat Galuh bersama Ibnu.
💫💫
Sejak kedatangan Ibnu dan Nirmala ke rumah sakit, ruangan putih itu terasa lebih hidup. Bahkan suara samar-samar sedikit membuat Elga mampu mengulas senyum setelah beberapa waktu lalu tampak sangat murung.
Elga tidak pernah ingin melihat Fariz murung dalam waktu yang lama. Ia sadar sikapnya telah membuat lelaki itu terluka. Bahkan sudah berkali-kali meminta maaf padanya pun, selalu diabaikan. Baru hari ini Elga melihat Fariz sedikit lebih cerah dari kemarin.
"Aku rasa, aku yang salah di sini," ucap Elga tiba-tiba. Fariz mendongak saat Elga sudah berdiri di hadapannya. Fariz tidak bergumam apa pun saat Elga berbicara, menjawab saja tidak. Lelaki itu justru bingung. Ia pun kembali menunduk membiarkan angin lalu membawa rasa kecewa dan sesal yang berhasil membuatnya seperti orang gila dalam waktu singkat.
"Maaf." Fariz mendengarnya, ia tidak tuli, tapi apa yang ingin Elga kataka? Ia tidak pernah membayangkan kalau situasinya akan sekacau saat ini. Untung saja Fariz keluar ruang rawat Galuh saat Ibnu fatang. Jika tidak, mungkin mereka akan beradu argumen untuk yang kesekian.
"Duduk." Elga menggeleng, perlahan tangan Fariz pun meraih tangan Elga yang terlihat gemetar. Wanita itu pun terdiam, kemudian melihat tangannya yang dicium oleh Fariz.
"Kita masih bersama. Untuk apa minta maaf. Soal kemarin, aku yang ceroboh. Jangan sedih lagi," ucap Fariz pelan. Ia memilih bangkit kemudian memeluk tubuh Elga dengan sambil mengusap punggung mungil istrinya Fariz bersik. Fariz bisa merasakan kalau Elga menumpahkan semua bebannya dalam dekap hangat yang Fariz berikan.
"Maaf, kalau aku udah kasar sama kamu dan anak kita. Tolong ingatkan aku, jika aku salah."
. . .
Hai, masih keburu, kan? Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa jaga kesehatan, ya 🥰 salam manis Manggala 😘
Foto masa muda Papa Fariz 🤭
Publish, 22 Februari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
JEJAK ASA (Selesai)✅
Roman d'amourSetiap insan pernah berbuat kesalahan, pernah menyelem sampai ke dasar hanya untuk mengukir kenangan lama, lalu mengakhirinya dengan senyum bahagia. Dulu memang terluka, cerita lama telah usai, begitu katanya. Namun, badai baru datang kembali menyi...