4. Penculik Hati

126 16 8
                                    

Mulmed di atas sebagai pemanis chapter ini, selamat menikmati 🤗🤗

💫💫💫

Sekian lama Ibnu berusaha melupakan, tetap saja rasa sakit itu akan tetap datang beriringan dengan luka yang mulai mengering. Ingin sekali Ibnu melawan waktu, tapi sekali lagi Ibnu hanya bisa menunduk dalam diam setelahnya.

Malamnya begitu panjang, rasanya begitu lelah. Fariz benar-benar membuat moodnya rusak dalam hitungan waktu. Walau ia tahu kalau Fariz begitu benci kata baik-baik saja. Dan kali ini, Ibnu mengatakannya hampir lima kali saat Fariz bertanya tentang sudut bibirnya yang sedikit sobek.

Lama memang, di sahut pun tidak. Sementara Fariz sudah sangat lelah bertanya, belum lagi melihat putranya yang sudah sangat lelah dan ingin di temani tidur olehnya.

"Kamu kenapa lagi, Riz?" Lembut suara Elga selalu bisa mengalihkan amarahnya, apa yang di katakan Galuh kala itu selalu ia ingat, bahkan sampai saat ini pun pesan yang sama selalu melekat dalam benaknya.

"Manggala udah tidur?"

"Belum, lagi di kamar Ibnu, ada apa? Kamu nggak lagi mau marahin Ibnu soal pulang telat, kan?"

Fariz menggeleng, bukan itu yang ingin ia ceritakan pada Elga. Ada hal lain yang begitu sesak bila dipendam sendiri. Fariz pun menoleh, menatap hangat ke arah Elga yang masih duduk di sebelahnya dengan senyum yang begitu manis.

Perlahan sebelah tangan Fariz pun menggenggam lembut jemari Elga yang begitu lentik dan mungil sampai wanita itu tersipu malu, setelahnya ia pun membalas tatap hangat yang jarang sekali dilihatnya.

"Aku mau Ibnu jalanin pabrik cokelat Galuh. Aku mau Ibnu yang terjun langsung di sana," ucapnya pelan. Elga hanya mendengarkan Fariz sampai lelaki itu benar-benar menyelesaikan ucapannya. Ia hanya mendekatkan dirinya agar bisa mengusap lengan Fariz agar suaminya merasa lebih tenang.

"Kamu yakin? Kamu tahu, 'kan Ibnu kayak gimana kalau dia di paksa? Pikirin lagi, aku nggak mau kalian ribut dan akhirnya kalian saling diam," jelas Elga. Fariz pun terdiam sejenak. Ia membiarkan semilir angin yang masuk melewati jendela kamar menerpa wajah mereka.

"Aku cuma nggak mau kalau dengan kamu memaksa Ibnu, kamu malah kepikiran. Dia bukan kamu, dia punya pilihannya sendiri, sebagai pendaki. Jiwa kepemimpinannya berbeda sama kamu, kalau kamu mau dia terjun langsung, biarin dia yang minta sendiri kamu cukup ajak pelan-pelan, toh dia juga sering mantau juga, kan?"

"Tapi, El..."

Elga menggeleng, kemudian bangkit dari tempatnya membuat Fariz mendongak menatap Elga yang kini sudah menyentuh kedua pipinya dengan sangat manis. Tatap keduanya benar-benar beradu, sampai Fariz tak berkedip sedikit pun.

"Jangan lakukan hal yang bodoh untuk orang yang belum mau bergerak dengan keinginannya sendiri, setidaknya Ibnu masih bertanggung jawab untuk dirinya, dia mencintai Galuh, bukan berarti Ibnu harus meninggalkan semuanya hanya karena keinginan. Kamu di sini nggak sendiri, ada aku dan Manggala, anak kita. Juga teman dan sahabat yang selalu mendukung kamu tanpa pamrih. Mengerti untuk tidak egois adalah cara untuk menghargai seseorang, percaya atau nggak, kamu sosok Kakak, Papa, dan suami yang terbaik untuk aku, dan kita semua. Berjuang sama-sama?" Kalimat Elga berakhir, membiarkan Fariz memilih untuk memeluknya walau Elga dalam keadaan berdiri dan dirinya yang masih nyaman duduk di atas tempat tidur. Perlahan jemari Elga pun menari-nari di sela rambut Fariz yang sedang diusapnya.

"Aku nggak mau kamu banyak pikiran, cukup waktu itu, cukup untuk lukanya, sedih, dan hancur. Kamu selalu bertanya pada semesta, tapi kamu selalu dipermainkan oleh semesta juga. Kali ini, biarkan jejaknya mengambil alih, biarkan semuanya berjalan dengan sendirinya."

JEJAK ASA (Selesai)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang