Prang!
Jihan terlonjak kaget saat tangannya tiba-tiba tergelincir hingga mengakibatkan gelas kaca yang digenggam pecah berserak di lantai.
Sari yang kebetulan sedang membantu menyiapkan sarapan bersama seorang koki pribadi di dapur Pak Ridwan, lantas menghampirinya dan memastikan keadaan sang majikan.
"Ibu nggak kenapa-napa, kan?"
Jihan menggeleng pelan.
"Aneh. Kepala saya tiba-tiba pusing, perasaan juga tak enak," aku Jihan sembari mengurut dadanya pelan.
"Mau Sari antar ke dokter, Bu? Atau panggil Bapak?"
"Tak usah, Sar. Sepertinya cuma pusing biasa. Jangan ganggu Ayah, beliau juga baru tidur selepas subuh, karena semalaman nunggu Zidan pulang," tolak Jihan dengan halus. "Tolong gantikan saya antar Rara dan Riri ke sekolah, ya! Mereka agak trauma semenjak meninggalnya Mas Burhan, jadi selalu berhalusinasi yang bukan-bukan. Takutnya bikin kegaduhan di sekolah," tambah Jihan.
"Baik, Bu."
"Omong-omong Galih sudah turun?"
"Belum, Bu. Tadi pas saya lewat den Galih masih duduk di depan laptopnya."
"Ya sudah biar saya yang periksa. Jangan lupa bekal Rara dan Riri, ya, Sar."
"Siap, Bu."
Jihan pun berlalu menuju kamar Galih di lantai tiga. Sejak pindah kembali ke rumah Pak Ridwan, Galih memang lebih sering mengurung diri di kamar. Kebetulan dia dan adik-adiknya mengambil cuti sepekan setelah kematian Burhan. Hari ini adalah hari pertama mereka kembali ke sekolah.
Dibandingkan dua adiknya, Galih memang dikenal paling pendiam. Dia juga sedikit kesulitan beradaptasi di luar dan tak memiliki banyak teman. Di sekolah Galih hanya sering bergaul bersama Gina--anak Nova dan Bahar. Keduanya bahkan duduk sebangku di kelas dua SMP sekolah swasta terkenal di ibukota.
"Galih ...." Perlahan Jihan membuka pintu kamar Galih. Menuju ruangan berukuran 4 x 8 dengan nuansa hitam dan putih.
Remaja tanggung dengan rambut mangkok belah tengah itu duduk di meja belajar, bersama laptop yang masih menyala. Dia menoleh saat melihat Jihan berdiri di ambang pintu dan menatapnya dengan hangat seperti biasa.
"Loh, kok belum siap-siap? Hari ini masuk sekolah, kan?" Jihan heran melihat Galih yang masih mengenakan piama, duduk di depan laptopnya.
"Bu!" Pemuda itu menatap Jihan lamat-lamat sebelum mengutarakan maksudnya. "Kalau Galih berhenti sekolah gimana? Mending home schooling aja gitu."
"Hei, ada apa?" Jihan menghampiri Galih, lalu meletakkan tangannya di kedua sisi bahu putra sulungnya.
Galih terdiam sesaat, sebelum menjawab. "Galih cuma ngerasa nggak nyaman aja dengan suasana sekolah."
"Suasana sekolah atau orang-orangnya? Kamu nggak dibully, kan, Nak?" Jihan yang memang perasaannya sangat peka langsung menyimpulkan.
Galih tak menjawab.
"Di sana ada Gina juga, kan? Kalian saudara, ibu lihat selama ini anak itu juga ba--"
"Bukan Gina. Justru karena aku cuma mau temenan sama dia kita--" Galih tak melanjutkan kalimat, remaja itu menunduk setelahnya.
"Galih ... bukannya ibu nggak mau kamu home schooling. Cuma kalau kamu menghabiskan lebih banyak waktu di rumah, kamu makin sulit beradaptasi. Dicoba pelan-pelan dulu, ya, Nak. Kalau mau ibu bisa hubungi wali kelas kamu, atau minta kakek sewakan bodyguard."
"Nggak," tolak Galih cepat. "Aku nggak sepengecut itu!"
"Kalau begitu sekarang mau, ya berangkat?"
Galih terdiam cukup lama. Beberapa kali napasnya berembus cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
RANJANG BERDARAH (21+)
TerrorJihan Anissa menemukan Burhan-- suaminya tewas bersimbah darah di atas ranjang dengan keadaan tanpa busana. Padahal baru semalam lelaki berusia empat puluh empat tahun itu pamit untuk menghadiri acara privat party yang digelar salah seorang rekan se...