"Saya terima nikah dan kawinnya Nisya Zahira binti Sandi Septian dengan maskawin tersebut. Tunai!"
"Sah."
Akad lantang dan gema suara saksi itu masih terngiang di telinga Nisya sepanjang perjalanan menuju kediaman barunya yang sudah Zidan persiapkan di luar ibukota. Tepatnya, Kota Hujan, Bogor.
Hatinya bergemuruh senang, tapi di satu sisi juga bimbang. Entah apa yang menyebabkan perasaannya begitu tak tenang bahkan dalam kebisuan. Erat jemari lentik itu menggenggam tangan besar yang tertaut di atas paha, sementara sang empunya sibuk memfokuskan pandangan ke jalanan di depan.
"Apa pun yang terjadi kamu tak akan pernah meninggalkanku, kan, Mas?" Nisya mengiba. Nanar tatapan itu dia arahkan pada Zidan yang masih fokus menyetir.
"Kita baru saja menikah, Sya. Kenapa kamu harus berpikir jauh tentang itu?" Zidan balik bertanya dengan nada lembut yang sedikit ditekan.
Sejenak Nisya terdiam, dia mencondongkan tubuh lalu menyandarkan kepala di bahu suaminya. "Entah, aku hanya takut saja," akunya.
Zidan tersenyum, dia mengusap kepala Nisya yang terlapisi pashmina yang disampirkan seadanya, lalu mengucup puncaknya sekilas.
"Tak usah takut. tak akan ada yang terjadi selama kamu di sampingku."
***
Pasangan suami istri yang terpaut usia tujuh tahun itu, menatap bangunan rumah huni setinggi dua lantai yang terletak di perumahan elite Pajian Regency.
"Sebenarnya aku bisa membeli yang lebih besar dari ini, tapi rumah tetaplah rumah, bagaimana pun bentuk dan ukurannya, kenyamanan lebih utama," ujar Zidan saat memerhatikan istrinya mulai perjalan melihat-lihat tanaman yang begitu terawat milik penghuni sebelumnya.
Nisya menoleh, dia tersenyum begitu manis. "Tak apa, aku suka."
Selesai melihat dan berkeliling bangunan, mereka tiba di kamar utama. Zidan mendorong dua koper yang mereka bawa, sementara Nisya duduk di bibir ranjang king size berseprai putih bersih itu. Setelah meletakkan barang bawaan tepat di lemari besar yang terletak tak jauh dari kamar mandi, Zidan menghampiri istrinya, lalu membungkuk di hadapan gadis cantik berbulu mata lebat itu.
Dia mengulurkan tangan, lalu membenahi kain pashmina yang Nisya kenakan ke posisi seharusnya hingga menutup sempurna anak-anak rambut yang menjuntai. Kemudian Zidan mendekatkan wajahnya dan berujar.
"Kita salat dulu, setelah itu baru tunaikan kewajiban yang lain." Kalimat itu membuat sesuatu dalam diri Nisya tertampar. Sebagian besar hatinya menentang, tapi sebagian kecilnya mengiyakan.
Sebenarnya pergolakkan batin macam apa yang kini sedang dia rasakan?
***
Satu hari sudah berlalu sejak kepergiaan mertua dan iparnya yang membawa serta ketiga anak asuhnya. Namun. Jihan masih terjaga dengan pertanyaan yang sama.
Siapa wanita yang Bu Yuli maksud kemarin? Bagaimana bisa yang bersangkutan adalah seseorang yang dia kenal?
"Mbak!" Panggilan Nova menariknya dari lamunan. Entah apa alasannya Jihan tiba-tiba ingin menatap Nova lebih lama dengan pikiran yang sudah tak karuan. Instingnya kuat tentang wanita ini, tapi faktanya dia juga tak bisa menuduh orang dengan alasan tak berdasar, apalagi mengingat Nova masih menyandang status senbagai istri sah Bahar.
Namun, tak ada yang tak mungkin juga bagi orang-orang yang sudah tersesat terlalu dalam dari ajaran Tuhan, segala hal bisa mereka halalkan, termasuk memperistri seorang ipar. Entahlah.
"Mbak Jihan!" Sekali lagi Nova memanggil, kali ini Jihan menanggapi setelah mengusap wajah dan beristigfar. Dia baru saja suudzon pada seseorang. Dan hal itu hampir tak pernah dilakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RANJANG BERDARAH (21+)
TerrorJihan Anissa menemukan Burhan-- suaminya tewas bersimbah darah di atas ranjang dengan keadaan tanpa busana. Padahal baru semalam lelaki berusia empat puluh empat tahun itu pamit untuk menghadiri acara privat party yang digelar salah seorang rekan se...