Januari 2002
Berat bebanku
Meninggalkanmu
Separuh nafas jiwaku... sirnaBukan salahmu
Apa dayaku
Mungkin benar cinta sejati tak berpihak pada kitaKasihku...
Sampai disini kisah kita
Jangan tangisi keadaannya
Bukan karena kita berbedaDengarkan...
Dengarkan lagu... lagu ini
Melodi rintihan hati ini
Kisah kita
Berakhir di JanuariSenja baru saja tenggelam digantikan awan hitam yang menggumpal di permukaan langit Jakarta.
Lagu Januari milik Glenn Fredly yang baru rilis itu mengalun lembut di dalam Honda Civic Ferio keluaran tahun 90-an. Gadis berusia dua puluh dua tahun yang duduk di balik kemudi tersebut terlihat menikmati alunan musik serta suara merdu sang musisi ternama di tengah perjalanan pulang meski penatnya mengejar kelas tambahan menyebabkan binar di mata indahnya meredup sayu.
Beberapa saat kemudian suara Glenn Fredly telah digantikan dengan kumandang azan, begitu juga dengan yang terdengar di luar-- berasal dari surau-surau terdekat yang dilewati kendaraan roda empat tersebut. Gadis dengan sweater putih dipadukan jins cutbray dan jilbab yang dililit ke leher itu menepikan mobilnya. Kemudian berjalan menuju salah satu masjid sederhana yang terletak di pinggiran kota. Dikelilingi pohon-pohon rindang berseberangan dengan pemukiman kumuh yang ada di tempat sama.
Di dekat batas suci dia hanya melihat beberapa pasang sandal yang tersebar, mobilnya juga hanya satu-satunya yang terparkir di halaman. Dengan mukena dalam pelukan dia berjalan menuju tempat wudu yang masih sangat tradisional, dipompa manual menggunakan tangan, berdekatan dengan sumur yang dikelilingi bilik kecil yang hanya muat untuk satu orang.
Selesai mensucikan diri, bergegas dia masuk ke dalam masjid, memakai mukena, lalu merapatkan barisan dengan dua anak perempuan yang bisa ditaksir berumur sepuluh sampai dua belas tahun, ketika mendengar iqamah sudah dikumandangkan. Di shaf paling depan hanya ada sebaris terdiri dari dua pemuda berusia tanggung dan dua anak-anak. Sementara sang imam yang dia pikir seorang lelaki paruh baya, rupanya terbilang masih muda. Umurnya sekitar akhir dua puluhan. Mereka sempat beradu pandang, sebelum Salat Maghrib dilaksanakan.
Setelah selesai menunaikan kewajiban gadis bernama lengkap Jihan Annisa itu bergegas pulang mengingat hari sudah beranjak malam. Dia menyalami dua anak perempuan tadi, lalu memberi mereka sedikit uang jajan, sebelum beranjak menuju parkiran.
Seatbelt dipasang, Jihan mencari posisi ternyaman sebelum mobil dinyalakan. Namun, ada yang aneh saat kunci sudah dimasukkan ke dalam lubangnya. Kendaraan roda empat tersebut tak kunjung menyala. Jihan mulai dilanda kepanikan, beberapa kali distater, tapi tak ada tanda-tanda suara mesin yang merespons. Barulah dia menyadari satu hal saat pandangannya jatuh pada termometer bensin yang menunjukkan bawa kendaraan kehabisan bahan bakar.
"Astagfirullah." Jihan mengempaskan diri, lalu mengurut pelipisnya yang mulai terasa pening. Diliriknya ponsel dengan permukaan tebal yang juga kehabisan daya teronggok di atas dasboard.
Apa yang harus dia dilakukan sekarang?
Tak ada pom bensin terdekat yang tampak sejauh mata memandang. Telepon umum juga tidak mungkin ada di daerah terpencil seperti ini.
Ketukan pada kaca menginterupsi kebingungannya. Jihan memicingkan mata saat dia melihat seseorang membungkuk di samping mobilnya. Sesaat dia mulai dilanda ketakutan, tapi akhirnya bernapas lega saat menyadari ternyata lelaki yang mengimaminya tadi yang berdiri di luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
RANJANG BERDARAH (21+)
TerrorJihan Anissa menemukan Burhan-- suaminya tewas bersimbah darah di atas ranjang dengan keadaan tanpa busana. Padahal baru semalam lelaki berusia empat puluh empat tahun itu pamit untuk menghadiri acara privat party yang digelar salah seorang rekan se...