Bel tanda jam pelajaran pertama dimulai, sudah terdengar . Namun, bukannya masuk kelas, Gina justru menyeret Galih berbelok menuju koridor sepi di mana perpustakaan yang sudah terbengkalai berada. Ruangan luas yang ada di lantai teratas itu memang sudah lama ditinggalkan, sebab ruang baca telah dialihkan. Terpisah dari gedung sekolah.
"Na ...." Galih menarik tangan Gina yang hendak menaiki bangku dan membuka jendela. Wajah remaja berusia empat belas tahun itu terlibat resah dan gelisah.
"Santai aja, Lih. Aku udah sering ke sini. Nggak akan ada guru atau penjaga yang curiga. Paling setan yang kadang usil mainin bangku atau bikin konser di dalem."
Galih mengernyitkan dahi mendengar respons santai yang ditunjukkan sepupunya itu.
"Kamu nggak takut emang?" cicit Galih.
"Udah dari umur sepuluh tahun aku bisa lihat mereka. Sejauh ini nggak ada yang berani macam-macam, selain usil nyinyirin tentang tanda di tengkukku. Lagian aku lebih takut sama Tuhan atau dijadiin tumbal ketimbang sama mereka yang jelas beda alam," papar Gina.
"Ka-kamu sering komunikasi sama mereka?" Galih terlihat terkejut dengan penuturan Gina.
"Kadang kalau lagi gabut," sahut Gina santai. "Tuh, cewek gaun putih yang ada di kelas 11B, tiap aku lewat, dia kan sering bilang 'bentar lagi kamu mati!' Aku mah bodo amat, yakan. Emang siapa mereka? Tuhan? Malaikat Pencabut nyawa? Seenak dengkul nentuin hidup mati seseorang. Pokoknya persetan sama tumbal dan pesugihan. Aku mau hidup selama yang Tuhan tentukan. Walaupun jarang sembahyang, gini-gini aku juga kepengen jadi orang bener dan hidup normal."
Galih tertegun mendengar semua penuturan Gina.
"Mending ngobrolnya di dalem, yuk! Biar enak." Entah sejak kapan Gina sudah berjongkok di ambang jendela. Gadis berkulit putih itu mengulurkan tangan ke arah Galih. Meskipun sempat ragu, akhirnya Galih menyambut uluran tangan Gina dan mereka melompat menuju perpustakaan kosong yang hanya berisi rak-rak tinggi dan bangku-bangku yang sudah tak terpakai.
"Na!" Galih menarik-narik ujung rok Gina saat dia mengedarkan pandangan dan mendapati banyak makhluk astral yang tengah memerhatikan mereka.
Gina yang tengah sibuk dengan tas dan buku-buku yang dia bawa, hanya bergumam tanpa mengalihkan pandangannya.
"Udah, cuekin aja! Kalau kita nggak macam-macam mereka juga nggak bakal berulah."
Galih menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Tak seperti Gina yang sudah merasakan kehadiran 'mereka' sejak seusia adiknya. Galih justru baru setahun belakangan. Dia belum bisa setenang gadis itu hingga terkadang panik tanpa alasan bila tak sengaja bersinggungan dengan makhluk tak kasat mata tersebut.
Beberapa saat kemudian, mereka hilang dengan sendirinya.
Brak!
Gina mengeluarkan sebuah buku catatan yang lumayan tebal. Lalu membuka lembar demi lembar berisi beberapa pengamatan yang sudah dikumpulkan sejak dia menemukan kamar rahasia di rumahnya.
"Se-sejak kapan kamu ngumpulin semua ini, Na?" tanya Galih takjub dengan catatan yang dibawa Gina.
"Sejak aku bisa lihat setan!"
Mata Galih membulat. "Empat tahun lalu?" Gadis itu mengangguk.
"Seperti anak-anak kebanyakan, saat itu aku dan Farrel lagi main petak umpet. Walaupun tahu cuma maen berdua, tapi kita totalitas biar nggak ketahuan satu sama lainnya. Saat itulah aku inisiatif buat ngumpet di basemant. Lalu nggak sengaja nemuin kamar rahasia Papi. Ini bentukannya!" Gina menunjuk foto yang ada di lembar pertama catatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RANJANG BERDARAH (21+)
TerrorJihan Anissa menemukan Burhan-- suaminya tewas bersimbah darah di atas ranjang dengan keadaan tanpa busana. Padahal baru semalam lelaki berusia empat puluh empat tahun itu pamit untuk menghadiri acara privat party yang digelar salah seorang rekan se...