Di atas sebuah ranjang, seorang laki-laki bermandikan keringat. Kepalanya terus bergerak tidak tenang dengan dahi yang berkerut. Dari balik pintu, seorang gadis melihatnya dengan khawatir. Ia hampir melangkahkan kaki memasuki kamar tersebut, tetapi mengurungkan niatnya saat pria tersebut terbangun dengan napas tidak beraturan.
Juni segera berdiri di balik dinding kamar kakaknya. Ia tidak ingin keberadaannya diketahui. Dadanya ikut berdetak lebih cepat saat mendengar sedikit tangisan dari dalam sana. Kupikir Kakak sudah lebih baik, ternyata tidak ada yang berubah. Juni menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut, ia turut sedih dengan nasib yang menimpa sang kakak.
Di dalam kamar, Sadewa memandang kosong ke arah jendela. Saat ia menutup mata, air matanya mengalir perlahan dan seketika bayangan wanita yang dulu bersamanya tergambar dengan jelas. Ia merasa waktu tengah berhenti dan mencekiknya dalam kenangan indah yang menyakitkan.¹²
Sadewa menarik rambutnya kasar. Otot-otot di tangannya terlihat jelas dengan gigi gemertak. Setahun sudah berlalu, tetapi semua kenangannya masih terekam dengan jelas. Meskipun waktu terus berjalan, dirinya masih saja terpenjara dalam masa lalunya. Ia masih tidak bisa merelakan wanitanya dinyatakan meninggal.¹³ Lagi-lagi pria itu menangis dalam keheningan malam yang tanpa ia sadari membuat seseorang ikut terluka melihatnya.
Sadewa mencoba bernapas dengan baik lagi. Ia merebahkan tubuhnya kembali dan mencoba memejamkan mata. Selalu saja saat matanya tertutup, ia akan melihat seorang wanita yang dirindukannya tengah tersenyum ke arahnya.
**
Pagi-pagi sekali Sadewa sudah keluar dari rumah. Hari ini adalah hari pertunjukan seni. Karena masih terdapat beberapa jam lagi, ia sengaja menyempatkan diri untuk pergi ke laut. Sadewa mengembuskan napas panjang di tepian laut. Ia memandang jauh dan membiarkan angin menghapus air matanya yang tidak pernah kering.
Aku merindukanmu ...
Pria itu kembali mengingat kali terakhir bertemu dengan si wanita tepat di atas pijakan kakinya saat ini. Satu tahun yang lalu, sebelum keberangkatan si wanita, keduanya bermain di tepi pantai untuk melihat matahari terbenam.
"Bukankah harusnya aku mengatakan ini sejak awal? Aku mencintaimu ..."
Penyesalan mulai menyerbunya. Kala itu, si wanita berulang kali menanyakan kepadanya tentang cinta. Sayangnya, tidak sepatah kata pun keluar dari mulut Sadewa. Pria itu terlalu kaku hingga tak pernah menyatakannya. Baginya, kedekatannya dengan si wanita sudah cukup untuk mengartikan cinta.
"Sadewa, apa kamu bahkan percaya cinta?"¹⁴
Sadewa mengangguk-angguk dengan getir mengingat kalimat-kalimat yang sempat diucapkan si wanita sebelum benar-benar pergi meninggalkannya juga pertanyaan yang tak sempat dijawabnya.¹⁴
"Kita enggak tahu kapan lagi akan bertemu, jadi katakan sekarang saja. Kamu menyukaiku juga, 'kan? Aku ingin mendengarnya langsung darimu."
Sadewa mengangguk lagi, lebih dalam dan menyakitkan. Setiap nada dan ekspresi ceria si wanita selalu menghantuinya, membuatnya ingin mengulang waktu. Ia sangat menyesal. Namun, semuanya sudah terjadi. Tepat di laut ini, ia melepaskan wanitanya pergi.
"Bagaimana bisa kamu sepercaya diri itu? Tunggu, kamu benar-benar akan pulang setelah enam bulan, 'kan?" tanya Sadewa kala itu.
"Tentu. Karena pekerjaanku di sini, aku akan ke sini lagi. Tapi enggak janji, bisa saja di kampung halaman aku akan dapat pekerjaan baru. Ayolah, katakan saja sekarang!"
"Enggak, deh. Aku akan menunggumu selama enam bulan. Enam bulan lagi sepertinya sudah kemarau, 'kan? Kalau gitu dekat juga dengan libur panjangku. Kalau kamu sampai beraninya enggak kembali ... lihat saja, aku akan menyeberangi laut dan menemukanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal..: When Leaves Fall [Songfic]
FanfictionDi musim kemarau, sepasang insan dipertemukan. Dalam takut dan salah, dua insan memilih pisah. Di setiap tawa bahagia, tersimpan banyak kekhawatiran dan kenangan menyakitkan. Bertahan, menetapkan prasangka, hingga menyerah adalah metode yang mau tid...