Dalam sebuah ruangan sempit, seorang makhluk kecil tengah ketakutan. Dalam cahaya yang remang-remang, ia susah payah menahan tangis. Suaranya tidak boleh terdengar, begitulah pikirnya.
Makhluk kecil itu kedinginan. Di malam musim kemarau, kehangatan cepat menguap membuat angin malam serasa menusuk dada si kecil. Bintang yang bertebaran di langit hanya mampu menatapnya pasrah. Dalam keputusasaan si kecil, pintu di depannya terbuka kasar dengan terhempasnya seseorang hingga menubruk dinding.
Si kecil menjerit saat melihat anak laki-laki yang beberapa saat lalu ditemuinya tampak kacau dengan luka lebam di mana-mana.
"Dengar ini, Bocah! Kalau sampai kalian berisik lagi, gue bakal habisi kalian lebih dari ini. Kalau masih ingin hidup, diam!" bisik seorang pria bertubuh kekar dengan ancaman menakutkannya.
Kedua anak itu menggangguk sambil terus menahan isak. Pintu ditutup keras yang membuat keduanya hanya mampu bernapas lega.
"Kamu enggak apa-apa?" tanya si gadis kecil mencoba membantu temannya untuk bangkit.
"D-dia sudah pergi, 'kan? Lihatlah, aku mendapatkan ini." Anak laki-laki yang sudah babak belur itu menunjukkan sebuah kunci yang berhasil didapatkannya selama mendapat siksaan sebelumnya.
"Apa gunanya? Kita hanya perlu diam, maka kita bisa bertemu lagi dengan orang tua kita."
Anak laki-laki itu sudah berhasil bangkit. "Siapa namamu?"
"Juni," jawab Juni, si gadis kecil.
"Kalau gitu harusnya bulan ini ulang tahunmu. Namaku Sadewa. Umurku sebelas tahun, kalau kamu?"
"Aku masih delapan tahun."
"Benarkah? Kalau begitu ... panggil aku kakak." Sadewa terlihat berbinar saat mengucapkannya. "Sudah lama aku meminta adik pada ibu, tapi jawabannya selalu nanti."
"Kak ... Juni takut. Apa mereka orang jahat?"
Sadewa yang seakan tahu banyak hal tentang dunia hanya mampu menatap adik barunya dengan gamang. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan. Otak kecilnya bahkan sudah merancang ide kabur yang mungkin saja dapat membuat keduanya mati. "Juni, kamu tahu wayang Sadewa?"
"Wayang? Ayah Juni sering lihat wayang, tapi Juni enggak paham."
"Aku juga, tapi udah pasti Sadewa itu kuat, 'kan? Dia juga udah pasti hebat. Karena itulah, bapak memberiku nama Sadewa," papar anak laki-laki yang sebenarnya menahan sakit di sekujur tubuhnya. "Mungkin hari ini saatnya nama Sadewa diperlukan."
Juni menatap lekat kakak barunya. Ia tidak paham apa yang sebenarnya ingin disampaikan Sadewa.
"Tidurlah, Juni. Aku akan membangunkanmu kalau waktunya sudah tiba." Sadewa menyandarkan tubuhnya di tembok dan menepuk-nepuk lantai di sampingnya untuk Juni tidur.
Si gadis kecil mendekat dan menyandarkan tubuh di samping Sadewa. "Kakak kesakitan?"
"Enggak, Juni."
"Apa nanti kita mati, Kak? Kenapa mereka bawa kita ke sini? Di mana orang tua Kakak? Rumah Kakak di mana? Apa kita akan bertemu mereka nanti?" Juni terus bertanya. Mata yang menyiratkan banyak ketakutan itu menatap Sadewa, berharap mendapat jawaban atas pertanyaan beruntunnya.
Sadewa mendekatkan duduknya dan mencoba menenangkan Juni dengan mengelus pelan kepalanya. "Kita enggak akan mati sekarang. Mereka cuma ingin kita saling kenal. Orang tuaku pasti sedang cemas karena aku enggak izin saat pergi. Rumahku ... entahlah."
Juni tersenyum mendengar semua jawaban itu. Percakapan singkat itu mampu melegakan hatinya, menghilangkan sedikit ketakutannya. "Apa yang akan terjadi besok, Kak? Kalau bukan sekarang, apa kita akan mati besok? Ibu, ayah, Juni rindu mereka. Apa waktu enggak bisa berhenti saja, Kak? Juni ingin diam saja. Juni enggak ingin pagi cepat datang.¹ Juni ... takut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal..: When Leaves Fall [Songfic]
FanficDi musim kemarau, sepasang insan dipertemukan. Dalam takut dan salah, dua insan memilih pisah. Di setiap tawa bahagia, tersimpan banyak kekhawatiran dan kenangan menyakitkan. Bertahan, menetapkan prasangka, hingga menyerah adalah metode yang mau tid...