Pagi yang tenang, agak mendung sisa hujan deras semalam. A perfect morning to stay asleep. Paling nggak buat Mattea, it is. Apalagi mimpi Mattea pagi itu membuatnya nggak ingin terbangun. la merasa ada di sebuah negeri, negeri indah yang ia temukan di ujung pelangi - Negeri Pelangi - negeri penuh warna warni pastel, sepanjang mata memandang terlihat taman bunga yang harumnya membuat Mattea merasa damai.
Klontang!!!
Eh? Di taman seindah dan setenang ini nggak mungkin dong ada suara seberisik itu. Dalam mimpinya Mattea menggelengkan kepalanya, memejamkan mata berusaha menikmati kembali suasana tenang dan damai Negeri Pelangi.
Tok! Tok! Tok! Matt! Matt!
Huh? Mattea memandang berkeliling, suara yang sangat dikenalnya. Bian? Ngapain Bian di Negeri Pelangi?
MAAATTTT!!!
Oh, OK, sekarang hilang sudah ketenangan dan kedamaian yang dari tadi Mattea rasakan. Huh, Bian nih! Mata Mattea terkejap-kejap. Gambaran Negeri Pelangi di mimpinya perlahan mengabur berganti dengan suasana kamar Mattea yang masih gelap. Tangan Mattea berusaha meraih jam meja di atas lemari kecil di samping tempat tidurnya. Jarum pendeknya menunjuk ke angka 5, dan jarum panjang menunjuk ke angka 1. Mattea menggerutu keras.
Tok! Tok! Tok!
"Matt! Rise and shine, woi!"
Ternyata Bhrian masih di luar. Dengan menguap lebar Mattea menghampiri jendela kamarnya, membuka lebar-lebar jendela tersebut."Kan nggak dikunci, loe tahu gue nggak pernah ngunci jendela, kenapa nggak masuk aja sih kayak biasanya. Ngapain loe? Harus ada sesuatu yang luar biasa, karena loe udah bangunin gue subuh subuh gini," cerocos Mattea panjang lebar sambil berbalik tanpa menunggu Bhrian masuk. "Apalagi loe udah gangguin mimpi gue. Belum tentu lain kali gue bisa mimpi Negeri Pelangi lagi..."
"Biar loe bangun sebelum gue masuk, siapa tahu jangan-jangan loe tidur telanjang," sahut Bhrian asal. Kaki kirinya masih ada di luar sementara kaki kanannya sudah ada di kamar Mattea.
"Eh, jendela loe makin lama makin sempit buat gue lewatin ya?" tanya Bhrian heran.Mattea memandang Bhrian yang 'tersangkut' di jendela kamarnya, lalu mau nggak mau tertawa geli.
"Jendela gue loe salahin, loe yang makin gendut tahu.""Nggak kok," Bhrian membela diri. "Malah dulu jendela kamar loe kelihatan besaaaar buat gue."
Mattea tertawa keras. "lya, itu waktu loe masih umur lima tahun. Dasar!"
"Oya ya? Pantas makin lama jendela kamar loe makin mengecil kayaknya," gumam Bhrian, ikut tertawa. "Anyway, apaan tuh negeri pelangi?" Bhrian sudah berada di kamar Mattea, berhasil 'menyelamatkan' kaki kirinya yang tersangkut di jendela.
"Negeri di mimpi gue, di situ ada taman bunga yang bagus banget...eh, never mind. Ngapain loe subuh-subuh?" tanya Mattea. Matanya masih terasa berat.
"Lupa ya? Loe kan janji mau bantuin gue buat fotoin...Ki - rain eh kira...duh, susah benar nama." Bhrian mengingat-ingat. "Oya, Keira."
"Job foto loe lagi?" Mattea menguap lebar.
"lya, as usual. Bangun loe ah, sana mandi. Lagian emang loe nggak sholat subuh apa? Cepetan, keburu abis sinar matahari gue ntar." Bhrian menarik tangan Mattea yang baru saja akan merebahkan tubuhnya lagi di tempat tidur.
"Aduh, Bi, semalem abis hujan, mending ada sinar gitu, lagian gue baru kelar nulis jam dua pagi nih, ngantuk banget. Please, ten minutes, yaaa..."
"Matt!"
"Oh, don't Matt me. Tukang ganggu tidur orang." Mattea melempar bantal ke arah Bhrian dengan sebal, tapi ia beranjak juga dari tempat tidurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mattea's World
ChickLitDid you ever love somebody who never knew? Kalau ya, berarti kamu sama dengan Mattea Suteja yang memendam cinta untuk sahabat kecilnya - Bhrian Sulaiman - sejak 8 tahun yang lalu. Gue rasa nggak ada salahnya gue ngedeketin Rara." Keira Larasati seor...