Mattea merasa damai sekali. Dadanya terasa begitu lega. la berada di Negeri Pelangi. Rebah di hamparan rumput hijau yang luas, bersebelahan dengan taman bunga. Langitnya dihiasi warna warni pelangi, indah berkilau. Mattea memejamkan matanya rapat-rapat, menikmati hembusan angin semilir. Negeri Pelangi ini tanpa polusi, nggak kayak Jakarta. Mattea merasa ia bisa tinggal selamanya di Negeri Pelangi. Mattea...Mattea... Oh, no! Please, not now. Whoever you are. Please, let me stay at least a little bit longer. Just go away. Go away. Mattea sayang... Go away... Bangun sayang...
Aduh, nggak ngertian amat sih...jangan ngegangguin dong... Mattea merasa seperti ada yang menariknya pergi dari Negeri Pelangi. Mata Mattea terbuka perlahan, berharap yang dilihatnya masih hamparan rumput hijau dan warna warni pelangi di langit, tapi ternyata samar terlihat olehnya tempat tidurnya yang berantakan, laptopnya masih menyala.
"Mattea, bangun, Nak." Suara Ibu.
Mata Mattea mengerjap, berat banget. "Jam berapa sih, Bu?" Mattea belum bergerak dari posisi tidurnya yang tertelungkup. Tubuhnya terasa kaku.
"Jam dua siang. Kamu baru tidur jam berapa?"
Mattea menguap lebar, mulai melemaskan otot-ototnya. "Jam tujuh pagi."
"Nulis lagi?" tanya Ibu sambil mengusap kepala Mattea penuh sayang. Ibu duduk di pinggiran tempat tidur Mattea.
Mattea nyengir lebar. "lya, Bu, ngejar deadline, kalau nggak nanti Mattea nggak punya duit."
"Kan masih ada Ayah sama lbu. Kalau kamu perlu apa-apa minta aja. Anak Ayah Ibu cuma Clare dan kamu, jadi ya apa yang Ayah Ibu punya itu juga punya kalian."
"Ah, Ibu, masak udah gede gini Mattea masih nyusahin Ayah Ibu?" Mattea memindahkan kepalanya ke atas paha Ibu dengan manja.
"Jangan ngomong gitu, kalian itu nggak pernah nyusahin Ayah sama Ibu."
"Eh, Ayah udah berangkat praktek lagi ya, Bu?"
"Barusan aja berangkat. Tadi Ayah pengen ngajak kamu makan siang bareng, tapi kamu tidur nyenyak banget."
"Yaaa, kenapa nggak dibangunin, Bu?" "Kasihan kata Ayah..." Mereka berdua terdiam. Ibu masih mengelus rambut Mattea.
"Bu..." Mattea ragu-ragu. la ingat sebelum tertidur tadi pagi, pikirannya dipenuhi oleh bayangan Bhrian - Keira, dan bayangan dirinya sendiri yang absolutely will be broken kalau nantinya ternyata Bhrian benar-benar pacaran dengan Keira.
"Ya?" sahut Ibu.
"Bian...hhmm..." Mattea masih ragu-ragu antara keinginan curhat pada Ibu atau memendam perasaannya sendiri.
Ibu seperti bisa menebak apa yang akan dibicarakan Mattea. "Bhrian ketemu cewe lain?"
Mattea terkejut. "Kok Ibu tahu?"
"Kamu anak Ibu, dan Ibu kenal Bhrian sejak kecil."
Mattea nggak percaya, sekuat itukah insting orang tua terhadap anaknya? Eh, mungkin juga sih ya. Buktinya Ibu tahu (untung hanya Ibu yang tahu) perasaan cintanya pada Bhrian, waktu itu Bhrian baru pacaran dengan Amabel dan Mattea jadi sering marah-marah di rumah.
"Mattea, sampai kapan kamu mau kayak gini?" tanya Ibu hati-hati.
"Maksud Ibu?" Mattea nggak mengerti atau pura-pura nggak mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mattea's World
ChickLitDid you ever love somebody who never knew? Kalau ya, berarti kamu sama dengan Mattea Suteja yang memendam cinta untuk sahabat kecilnya - Bhrian Sulaiman - sejak 8 tahun yang lalu. Gue rasa nggak ada salahnya gue ngedeketin Rara." Keira Larasati seor...