α - Cemetery

6.4K 786 83
                                    


Roses are red because i'm actually not died.

Begitu banyak orang namun terasa hampa. Rumah yang harusnya penuh dengan kebahagiaan setelah pernikahan itu begitu kelam. Takdir itu lucu. Ares tidak pernah menduga bahwa sebelum canda tawa menguar, rumah yang seharusnya akan mereka tempati justru jadi tempat peristirahatan terakhir istrinya. Istrinya yang antusias dalam setiap inci rumah mereka — istrinya yang terbaring tak bernyawa di dalam peti.

Harin Shara Nalendra, istrinya yang berkata mencintai setiap detail rumah ini sudah berpulang.

Ares tak berkata apapun. Diliputi keheningan sejak evakuasi kemarin. Disaat semua orang bersedih dan menangisi kepergian Harin dia satu satunya yang tak menangis bahkan menunjukkan sedikit pun ekspresi kehilangan. Raut wajah Ares tak tertebak bahkan dia tak mengenakan kacamata hitam seperti para member Petra.

"Kak, jangan tinggalin gue, bangun kak!" Jendra menangis histeris. Suaranya yang parau karena kebanyakan menangis itu begitu memilukan. Seakan semua orang bisa tahu jika Rajendra sangat kehilangan sosok Harin — kakak sekaligus orang yang paling dia sayang.

"Jen, lo nangis terus," ucap Haikal tak kalah parau.

Jendra tak menjawab. Dia masih terisak bak seorang bocah — tangannya menggapai peti Harin dan enggan melepaskannya sama sekali. Hal yang sama juga dilakukan oleh Sagara namun tidak parah seperti Jendra.

Kedua bocah itu, bagaikan kehilangan induknya.

"Han, pemakamannya jam tujuh malam?" Tanya Kala pada Yohan dan lelaki itu hanya mengangguk kecil.

"Gue nggak siap." Alvaro berbisik lirih. Matanya sudah sembap karena menangis. "Gue nggak siap kehilangan Harin."

"Gue juga." jawab Dana tak kalah lirih.

"Kita nggak pernah siap kehilangan." ujar Samudra sembari menatap lurus ke depan. Hatinya jelas nyeri, "Ini gaakan bisa sembuh Rin, kalo lo benar benar pergi." Batinnya melanjutkan.

Tidak ada ungkapan duka karena sejatinya Ares tidak mau menerima itu semua. Tidak ada pula karangan bunga pertanda kematian. Hanya ada peti mati di tengah ruangan dengan suasana kelam yang kental serta para member Petra yang berpakaian serba hitam. Sejatinya hal yang memukul dan mengguncang mental mereka semua adalah kehilangan Harin.

Ares terkekeh kecil ketika menyadari sesuatu. Rupanya wajah tanpa ekspresi serta sorot mata itu hanya tertuju pada peti. Ares masih merasa ini ilusi, ilusinya yang terlampau nyata. Kemarin saat ia melihat jenazah itu, mereka bilang karena terlalu lama di evakuasi jenazahnya hampir tak bisa dikenali. Hatinya hancur, dan ia hanya bisa merasakan sakit yang tak terkendali. Kini, semuanya membuat laki laki itu sepenuhnya lebur dalam perasaan itu. 

"Sekarang udah jam tujuh." ucap Alriz pelan. Meski terIihat seperti orang yang tak peduli dan membenci Harin, sesungguhnya kematian Harin membuatnya terpukul. Rasa bersalahnya karena sudah sering kali berujar tajam pada Harin mencuat ke permukaan sehingga Alriz pun tak kalah menyedihkannya dari member Petra lainnya.

"Laksanakan pemakamannya." titah Ares sembari mendekat kearah peti dan bersiap mengangkatnya yang diikuti oleh para member Petra. Peti cokelat itu pun diangkat bersamaan menuju area pemakaman.

Mereka sepakat memakamkan Harin di lahan pribadi yang tak jauh dari rumah itu.

Tetesan hujan mulai turun setelah Ares meletakkan bunga peony merah pada pusara Harin. Ia mengecup nisan itu berulang kali, bunga peony merah melambangkan cinta namun itu juga memiliki makna kematian. Cinta yang dipisahkan oleh kematian.

"Harin, lo tau?" Ares memandang gundukan tanah itu, "Saat lo pulang, bukan ini yang gue mau." Ujar Ares.

"Gue mau lo diawetkan dan berada di tempat yang seharusnya." Ares tersenyum kecil. "Lo gabisa ninggalin gue sampai gue juga ikut mati."

Ya, setelah evakuasi Ares sebenarnya sudah hampir mempersiapkan sebuah tempat dimana ia bisa menyimpan jasad Harin selamanya. Namun, ia mengurungkan niat itu karena khawatir Harin tidak suka nantinya.

"Jangan jadiin Harin pelampiasan ketidakwarasan lo, Res." peringat Samudra.

Ares terkekeh lagi. "Lo bener, Sam. Gue udah nggak waras." sahutnya.

"Ini duka yang paling menganggu." ucap Alriz pelan. "Seberapa besar pun gue ngusir pergi gaakan ilang."

Ingat soal Alriz yang pernah tertarik pada Harin hanya karena gadis itu menunggu lama dengan kaki patah tanpa sebuah tongkat kruk? Ah, kalau lupa baiknya kembali pada chapter 20 di book 1. Perasaan semacam itu muncul lagi. Soalnya hanya Harin yang berada di sekeliling mereka — perbedaan mencolok yang dibuat olehnya menjadi sebuah warna baru. Tentu ketika warna itu tak lagi ada layaknya seperti sebuah pelangi, itu takkan indah — seindah wujud sempurna sebuah pelangi sebelumnya.

"Gue terbiasa kesusahan walaupun begitu gue seneng. Ada senyum yang bisa gue liat dibalik semua kerepotan gue karena Harin." imbuh Alvaro.

"Suster waktu itu sama kita juga repot karena lo." sambung Malvin. Alvaro mendelik, Malvin brengsek. Bisa bisanya dia mengungkit masalah kompor portabel dan insiden basreng pada situasi ini.

Sedangkan mereka mengungkit masa masa yang paling dirindukan dari kejauhan dibawah sebuah lindungan payung seseorang memerhatikan mereka. Rambut abu abunya tertutup topi hitam. Di pangkuannya ada seekor kucing hitam yang mendusel manja pada sang majikan — mengais perhatiannya.

"Kita kembali sekarang?"

"Ya, kesehatan jauh lebih penting."

"Bukankah anda menyukai hujan?"

"Omong kosong dari mana? Hujan itu bikin demam."

"Anda terlihat tidak rela untuk pergi,"

Helaan napas terdengar. "Ini menyakitkan jadi ayo pergi saja."

"Baik."

Kursi roda itu didorong pergi dan memasuki sebuah mobil mewah lalu meninggalkan area pemakaman. Lagi lagi si pemilik kucing hitam itu menghela napas panjang sembari menopang dagu dengan tangan. "Huh, gue mau peluk Ares dan teriak kalo bininya masih hidup."

"Lo belum bisa."

"Shut up, Orion."

. . .

Arcane [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang