α - the lead blood's

5.4K 775 61
                                    

Setelah setengah jam giginya saling bergemeletuk dan napasnya yang seperti orang meregang nyawa Harin selesai dengan kegiatannya. Gadis itu mengganti perbannya sendiri setelah mensterilkan luka dengan cairan antiseptik dan memberinya obat luka.

Arion berlebihan berkata soal perlu dijahit ulang. Memang orang sinting sepertinya punya obsesi tak kalah sinting untuk menjadi dokter bedah pada setiap situasi apapun. Mungkin dia bosan karena terlalu sering memakai subjek yang tidak bisa memaki, memberontak dan berteriak seperti Harin di meja operasi.

Ah, persetan dengan Arion. Harin tak bisa menyalahkan kepribadian orang lain karena siapapun berhak hidup sebagaimana keinginannya sendiri.

"Harin abang kangen, kamu kok ilang-ilangan terus sih?"

Harin melongo melihat Haru muncul dari pintu kamarnya dengan raut wajah sedih. Nada suaranya pun manja dan ketika hendak mendekati sang adik kesayangannya ekspresi itu seketika berubah.

"Ini apa? Kenapa kasurnya berdarah? Kamu lagi pns?" tanyanya bingung.

Harin lebih bingung. "Pns apa?"

"Itu yang tiap bulan gejalanya selalu muncul." Kata Haru tak bisa menemukan sesuatu yang menggambarkan dengan tepat.

"Pms woi, bukan pns." Ujar Harin kemudian menggelengkan kepala. "Ini bukan karena pms, bentar gue beresin dulu." baru mengambil perban yang tergeletak di kasur Haru menahannya.

"Kamu luka?" Tanya Haru. "Duduk. Biar Abang yang beresin."

Harin yang keras kepala menolaknya dan memilih berdiri sembari menarik sprei serta menyingkirkan bedcover ranjang yang tadi menjadi tempatnya duduk untuk membalut luka lukanya.

"Abang liat kamu normal. Are you deaf, Harin? Sit." Titah Haru tajam. Harin memandang Haru sekilas lalu memutuskan menuruti perintah Abangnya tersebut. Ia duduk di sofa dan membiarkan Haru mengambil alih pekerjaannya.

"Bang, kenapa nggak bilang kalo sampe? Gue bisa jemput di bandara." Harin berucap sembari memerhatikan Haru dan sesekali menunjuk bagian yang harus dirapikan abangnya itu.

"Abang kangen. Kamu nggak pernah ngasih kabar. Dan apa ini? Abang mau ngasih surprise tapi malah sebaliknya."

Harin menghela napas pendek. "Ini luka lama. Lukanya kebuka karena gue terlalu aktif. Gue baik baik aja ini abis diobatin." Jelasnya dengan pelan.

"Apa sih definisi keadaan baik menurut kamu? Abang nggak pernah capek pastiin kamu tanpa luka tapi—" Haru menarik napas dalam dalam. Seolah ini bukan pertama kalinya adiknya begini. "Kalo Papa tau bukan cuma Abang kena pukul, kamu kena omel juga. Kamu paham nggak, Harin?"

Harin memandang Haru yang tengah memasang raut wajah menahan emosinya yang bercampur lelahnya. "Ini luka waktu itu, maaf Bang. Gue minta maaf udah bikin semuanya cemas." Ujar Harin memelas.

Haru mensejajarkan tubuhnya dengan Harin yang duduk di sofa dengan berjongkok di hadapan gadis itu. "Sakit nggak? Kamu obatinnya udah bener?" TAnyanya dengan lembut.

"Abang kira aku nggak bisa obatin sendiri?" Harin balik bertanya dengan merengut. Haru menggelengkan kepalanya yang membuat Harin memalingkan wajahnya.

"Sakit ya?"

Harin mengangguk cepat. Di matanya sekarang Haru benar benar seperti kakaknya yang selalu perhatian dan menjadi sandaran untuknya. Satu satunya orang yang menyayanginya dengan tulus terlepas dari kenyataan bahwa mereka bersaudara.

"Sakit," Cicit Harin disertai isak tangis yang mulai pecah karena terus menerus ditahannya.

Haru menarik Harin dalam pelukannya. Dia menepuk punggung adiknya dengan penuh kasih sayang. "Maafin Abang yang selama ini selalu ninggalin kamu, maaf ya?" ujarnya lembut.

Tangis Harin pun semakin menjadi. Gadis itu tidak bisa bicara apa apa ketika sedang menangis. Namun Haru mengerti apa yg dialami adiknya selama ini. 

"Maafin gue, tangan kanan gue ternyata udah nggak bisa lagi seperti semula." bisik Haru lirih. "Gue udah cacat, Rin ..."

Harin terkesiap dalam pelukan Haru. Tubuhnya menegang dan Harin mengurai pelukan dengan cepat. "Kenapa lo ngomong begitu hah?!" Tanyanya tak terima.

Haru tersenyum tipis sembari mengusap pipi adiknya yang penuh jejak air mata. "Lo harus kuat ya? Sejak awal Kakek bilang kalau seorang pewaris nggak boleh cacat kayak abang, Rin." Ucap Haru.

Harin selalu menyalahkan dirinya yang harus merebut posisi Haru. Harin selalu berkata ia membenci dirinya yang mengambil alih peran untuk mengikuti pemilihan pewaris selanjutnya tanpa tahu Haru terluka karena itu.

Sejak awal sekali seharusnya Harin bisa mundur dengan sungguh-sungguh agar ia tidak dipaksa menempati posisi pewaris seperti kenyataan milik Haru yang direnggut paksa oleh takdir.

[] [] []

Di sisi lain, Ares berada di ruang Ayahnya. Ruangan yang begitu mencekam dan memberikan banyak kenangan tidak menyenangkan itu sudah tidak begitu menakutkan seperti saat ia kecil.

Kenangan buruk yang ia alami pun terasa tumpul dan tidak lagi bersifat menyakitkan. Ares sudah hidup dengan berbagai masalah, serta punya kekuatan untuk mengalahkan ketakutannya di masa lalu.

"Kau duduk begitu jauh. Mendekat." Perintah Hades.

Ares tidak pernah menyukai suara perintah yang diberikan oleh Hades padanya. Satu satunya suara yang akan dia dengar hanya suara Bunda dan Harin. Maka ketika Hades akan mengoceh panjang lebar Ares hanya akan menganggapnya seperti radio rusak yang tak berguna untuk didengar. Seperti saat ini.

"Saya akan tetap duduk disini." Jawab Ares tanpa nada.

"Ck, pertunangan Livia tiba tiba dibatalkan. Apa kau memberi tekanan pada tunangannya, Ares?" Tanyanya dengan sorot datar pada putranya. Pria itu melepas jasnya dan terlihat muak dan kelelahan disaat bersamaan entah pada siapa.

"Saya sibuk. Tidak punya waktu untuk itu." Sahut Ares tak minat sama sekali.

"Apa bocah itu terpengaruh olehmu? Maksudku, berita duka itu."

"Anda bisa mencari tau sendiri. Ini bukanlah urusan saya."

"Dia awalnya setuju tapi tiba tiba membatalkan pertunangan. Bukankah ini aneh, Ares?" Selidik Hades. Iris hitam yang serupa dengan sang putra itu bergulir dengan tatapan tajam—seolah sedang mengintimidasi musuh.

"Anda punya banyak hal untuk ditanyakan. Kenapa tidak tanya sendiri pada yang bersangkutan?" Ares membalasnya dengan santai. "Kediaman Samudra selalu terbuka lebar untuk anda kan?" Sambung Ares.

"Jangan menyulut amarahku, sialan!" Bentak Hades. "Katakan, apa kau mempengaruhi Samudra? Keluarganya harus membayar pengabdian turun temurun padaku! Apa kau berani mencampuri urusan Ayahmu, Ares!?" suara tekanan Hades terdengar menggelegar di mansion Nalendra.

"Jangan menggunakan nada setinggi itu disini. Bunda mendengarnya." Desis Ares memperingati Hades dengan dingin. "Tidak. Kami hanya seorang sahabat dan urusan pribadinya bukanlah urusan saya."

Hades masih terlihat marah. Amarahnya tak kunjung reda sedikit pun meski Ares berkata tidak. Pria itu melempar cangkir teh ke pelipis putranya dengan kencang hingga darah mengucur dari sana.

"Aku kepala keluarga disini. Beraninya kau menatapku dengan arogan." Ujar Hades sinis.

Ares menyeringai. "Anda takut, Ayah?" Tanyanya memancing sesuatu yang lebih besar. "Anda takut posisi anda tergantikan oleh saya, bukan?" Tanya Ares lagi. Hades mengertakkan gigi usai mendengarnya.

"Tenang saja. Saya belum ingin." Ares bangkit dari kursinya. "Seharusnya anda tahu, jika saya bahkan tidak sudi mencampuri urusan kotor yang anda lakukan di belakang Bunda selama ini, Ayah." Sambung Ares seperti kata Hades.

Lelaki itu pergi dengan arogan meninggalkan Hades di puncak amarah dan ketakutannya akan putranya sendiri.

[] [] []

Arcane [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang