"Gue nganter nenek gue berobat. Sekarang gue tanya, kenapa lo nutupin ini??? Apa gue sama yang lainnya gak cukup lo percaya sampai lo gak mau ngasih tau kita???" ucap Harsa mendengar penjelasan Aqila yang kemudian menagih balik alasan keberadaan Harsa di sana.
Setelah izin oleh mama, Aqila diperbolehkan untuk bicara dengan Harsa dulu sebelum pulang, sedang sang mama akan menunggu di mobil. Kini, Harsa dan Aqila sedang berada di kafe rumah sakit untuk bicara.
"Gue takut. Gue takut kalau gue ngasih tau soal ini, gue gak bisa menghabiskan waktu sama kalian lagi. Gue takut gue di lindungi dari melakukan banyak hal yang gue ingin lakukan kalau orang orang tau." katanya dengan pandangan terarah ke kakinya di lantai.
"Gue belum hidup di dunia ini lama, Sa. Gue belum ngelakuin banyak hal. Sejak kecil gue harus tinggal di rumah sakit sama abang gue, gue bahkan menghabiskan masa TK dan SD gue di rumah sakit. Setelah boleh pulang, gue homeschooling sampai lulus SMP. Papa gue meninggal karena sakit jantung, abang gue juga sama.
Gue gak pernah punya yang namanya temen sekolah, temen main. Gue gak pernah jalan ke mall sampai gue kenal kalian. Gue tau bahasa gaul juga karena abang gue pernah sekolah biasa pas SMP, sebelum akhirnya sakit. Selama gue sekolah, gue bener bener jarang ikut pelajaran olahraga karena dokter gak ngizinin. Gue juga mau hidup kayak anak anak lain. Gue gak pernah minta penyakit ini Sa, gak pernah sekalipun......"
Air mata Aqila mengalir deras membasahi pipinya, membuat semburat rona wajahnya semakin memerah.
Harsa segera berpindah tempat dan memeluk gadis itu. Ia tidak sanggup melihat Aqila menangis, karena hal itu menyiksanya dan membuatnya merasa begitu payah.
"I'm sorry, La. Just stay with me, and i'll protect you as long as i can." ucapnya sambil mengusap rambut Aqila, berusaha menenangkan gadis itu.
———
"Lif must go on, Sa. Gue gak bisa terus terusan terbelenggu sama penyakit. Gue tau gue bisa mencoba hidup normal." itulah kalimat terakhir yang Aqila ucapkan pada Harsa hari itu. Di hari hari selanjutnya pun tidak banyak interaksi mereka, walau dari jauh Harsa terus memperhatikan gadis itu.
Sudah 3 hari sejak pertemuan mereka. Aqila membatasi dirinya dengan Harsa, masih belum terima karena seseorang yang tidak dia inginkan mengetahui rahasianya.
Tapi, Aqila tidak terlalu memikirkan hal itu. Karena fokusnya, sudah beralih lagi kepada Awan.
"Lo harusnya kalo gak enak badan, bilang ke gue, biar gausah jalan sama Jena Daffa waktu itu." kata Awan sepulang sekolah. Aqila serasa punya supir antar jemput pribadi karena pulang pergi sama Awan.
"Ngapain di bahas lagi sih. Itu udah lama, Wan. Lagian kalo gue gak mau jalan pasti gue ngomong lah ke lo." ucap Aqila di kala motor berhenti karena lampu merah.
"Btw, gue mau ngasih sesuatu buat lo nanti."
"Apaan tuh?" tanya Aqila penasaran.
"Ada di rumah. Nanti malem gue anter." kata cowok itu sambil senyum senyum sendiri.
Di malam harinya, Aqila tidak mengira hadiah dari Awan akan datang dengan cara seperti ini.
"Dek??" ucap mama setelah mengetuk pintu kamar anaknya.
"Kenapa ma???" tanya Aqila yang sedang mengerjakan tugas sekolahnya.
"Ini, kata Awan punya kamu. Kok bisa barang kamu ada di dia sih??" kata mama memberikan kotak kecil berwarna putih.
Aqila tidak berkata apapun dan membuka kotak tersebut, dengan sang mama di samping memperhatikannya.
"Mama gak inget pernah beliin kamu gelang begini deh..." kata mama setelah melihat bahwa isinya adalah gelang hitam dengan hiasan huruf A di tengahnya.
"Mama emang gak pernah beliin aku gelang ini ma." kata Aqila sambil memperhatikan dengan teliti gelang itu.
"Loh?? Kamu beli sendiri?? Kapan??"
"Ini tuh dari Awan, ma...."
"Lah, mama kira pacar kamu Harsa. Ternyata si Awan..."
"TAPI DIA BUKAN PACAR AKU MAAAAAAA!!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Jodoh
FanfictionCaca gak berniat untuk jatuh hati sedalam ini kepada sahabatnya sendiri.