"Kamu dimana?"
"Aku nggak apa-apa kok mas, nggak perlu khawatir,"
"Kamu dimana?" sekali lagi menanyakan pertanyaan yang sama.
"Boleh aku nggak jawab dulu pertanyaan itu?"
"Kamu dimana?"
"Jakarta..." jawabnya perlahan.
"Sama siapa?"
"Sendiri..."
"Sama siapa?!" aku sedikit menegaskan pertanyaanku. Akhirnya Nisa menyebutkan sebuah nama yang asing buatku. Aku cuma menghela nafas mendengar apa yang dia jelaskan padaku. Tentang keputusan buruk untuk mengumpulkan uang secepat mungkin.
"Tolong jangan bilang sama Charles ya mas, besok aku telpon lagi... aku mau kerja dulu," Nisa menutup pembicaraan kami kali ini. Aku tak tahu bagaimana harus mensikapi ini tapi setidaknya aku tahu dimana sekarang Nisa berada.
Kuletakkan Handphoneku dan mencoba menyibukkan diri dengan project yang sudah mendekati deadline. Tapi semakin ku mencoba untuk membuang kecemasanku ke NIsa, pikiran tentang Nisa malah semakin memenuhi otakku. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi keluar cari angin untuk menjernihkan pikiranku. Entah kenapa terbesit nama Stella di otakku ketika aku menyalakan si besi tua. Kukirim pesan kepada Stella untuk mengajaknya keluar sebentar. Kulajukan si besi tua menuju kos Stella setelah mendapat jawaban "iya" dari Stella.
Akhirnya kami berakhir di sebuah cafe di daerah Nologaten. Menikmati malam sembari mendengarkan komunitas Sastra yang sedang membuat event musikalisasi puisi di café itu. Sebenarnya aku masih merasa canggung dengan Stella. Baru sekali ini kami benar-benar ngobrol berdua selain waktu dia memberikan titipan Nisa kemarin. Dia cukup supel bagiku. Rasa canggung yang ada begitu mudah mencair karena dia ternyata bisa menimpali apapun tema obrolan yang coba kulemparkan.
"Nisa ngga pamit?" tanyaku mencoba mengarahkan obrolan tentang Nisa. Stella hanya menggeleng sembari menghisap rokok mentholnya.
"Yakin?" sekali lagi aku mencoba menanyakan itu. Stella lalu tersenyum kepadaku dan mencoba mematikan rokoknya di asbak.
"Nisa dah ngontek mas Prabu ya?" giliran Stella balik bertanya dengan tetap tersenyum padaku. "Jangan bilang Charles kan?" imbuhnya lagi. Aku hanya mengangguk mengiyakan sambil meneguk coklat panasku yang sudah mulai dingin.
"Jujur mas aku ngerasa salah ngenalin dia ke Charles... ternyata malah sampe separah ini akhirnya."
"Oh jadi Nisa kenal Charles dari kamu toh, dirimu juga penikmat bdsm?" tanyaku yang mulai penasaran.
"Nggak juga sih mas... dari Charles juga sih aku tau bdsm. Tapi aku ngenalin Charles ke Nisa bukan karena bdsm itu."
"Lalu?"
"Ya karena masalah renternir dan hutang-hutang yang di kampung. Karena kupikir Charles orangnya lebih melek hukum karena pekerjaannya, dia bisa bantu Nisa dan keluarganya buat lepas dari jeratan hutang yang menggila angkanya. Ternyata malah jadi serunyam ini perkaranya," jawab Stella sambil kembali menyalakan rokoknya.
"Dulu aku bercanda waktu bilang ngelonthe aja... malah ternyata ujungnya sengeri ini..." lanjutnya lagi.
"Jadi dirimu tau sebenernya si Nisa kemana?" tanyaku lagi.
"Tau," Jawabnya singkat.
"Berarti bukan cuma gue yang tau," timpalku yang disambut senyuman dari Stella.
"Lalu kenapa dia milih ke Jakarta?" lanjutku.
"Katanya sih dia bakal lebih susah dilacak Charles kalo di sana. Toh Jakarta cuma awal, kayaknya sih bakal terus bergerak pindah-pindah lokasi," jawab Stella yang sepertinya cukup paham dengan alasan dari Nisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Gelap
RandomAku bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang lewat dan tiba-tiba diberi sekantong sampah kehidupannya yang penuh lara. Bilur-bilur di hatinya bahkan tidak menyisakan tempat untuk memperlihatkan warna aslinya. Semua lebam menghitam menyiratkan kepedih...