Tok tok tok.. kudengar suara pintu kamar diketuk.
"Nis motornya dimasukin aja, uda jam segini" suara dari luar kamar dan langsung disahut oleh Nisa.
"Iya kak bentaarr" Nisa langsung melepas pelukannya dan membuka blindfold yang menutup matanya.
"Aku balik aja ya? Udah malem gini..." tanyaku pelan.
"Ga bisa besok pagi aja kah? Aku masih pengen cerita..." jawabnya sambil mencoba menahan tanganku yang mulai mencoba meraih ransel dan bersiap pulang. Aku melongok jam di layar handphoneku, jam sepuluh malam.
"Emang gapapa aku nginep sini? Ga enak sama temen-temen kontrakanmu yang lain kan..."
"Nggakpapa kok... udah biasa disini bebas. Charles juga kadang nginep disini... udah sana motornya masukin dulu ke garasi, takutnya malah ilang diembat maling. Di sini rawan." Nisa mencoba meyakinkanku untuk tinggal malam ini. Aku hanya mengangguk dan bergegas memarkirkan motorku ke garasi dan kembali masuk ke kamar Nisa. Nisa masih duduk ditempat yang sama sambil memainkan bandana yang basah oleh airmatanya tadi. Begitu melihatku masuk kamar dia tersenyum ke arahku dan tangannya menepuk-nepuk kasur tempatku duduk tadi mengkodeku untuk kembali duduk disana. disodorkannya lagi bandana yang basah tadi kepadaku.
"Ini suruh ngapain lagi?"
"Blindfold me.."
"Tapi ini kan basah, ga ada yang lain kah? Mau cerita aja ribet banget ya kamu" ujarku sambil tersenyum melihatnya memanyunkan bibirnya sebal. Dibukanya koper yang ada di sudut lalu mengambil tas kecil yang ada di dalamnya yang tertimbun banyak tools. Diambilnya isi tas itu lalu diletakkan di depanku.
"Kurang nggak?" tanyanya sambil tersenyum mengejek.
"Ini buat ngebuntel sama ngiket dirimu pun sisa kalik," ujarku melihat lusinan bandana dan saputangan yang terlipat rapi didepanku.
"Mau donk diiket," timpal Nisa masih dengan senyumnya.
"Aku gabawa tali kan, yang ada juga cuma kain ini yang bisa dipake..."
"Tuh kalo mau pake, tapi nggak ada tali sih... pake aja yang mau dipake," Nisa menunjuk koper besar yang ada di sudut tadi.
"Tapi ntar dulu, aku kelarin cerita dulu abis itu terserah aku mau diapain," sambung Nisa sambil meraih saputangan biru lalu diberikan kepadaku. Sekali lagi kututup matanya dengan saputangan biru dan lagi-lagi dia menarik tanganku untuk kembali memeluknya dari belakang.
"Boleh nanya sesuatu?" aku mendahuluinya sebelum dia mulai bercerita.
"Apa?"
"Tentang tali merah yang di tanganmu ini... apa yang terjadi?" tanyaku sambil menyentuh tali wool merah yang terikat di tangan kanannya.
"Ooh setiap kali aku dihukum, aku bakal diiket pake tali wool merah kaya gini, bisa dimana aja diiketnya suka-suka Charles..." jawab Nisa sambil ikut menyentuh tali merah di tangan kanannya.
"Semua gadget yang aku pegang terkoneksi dengan milik Charles... bahkan sampe rekening, jumlah uangnya, jumlah pulsa yang ada dihandphone semua terpantau Charles... kemanapun aku pergi selama handphone masih aku bawa pasti akan ketauan. Bahkan semua pesan pun dia bisa liat pake handphonenya..." sambung Nisa
"Termasuk obrolan kita kemaren-kemaren juga dia tau?" tanyaku sedikit bingung.
"Iya dia tau dan mungkin dia ngerasa jeles karena tau mas Prabu adalah seorang dominan juga. Dan akhirnya kemaren aku dihukum karena ngeyel mau ketemu mas Prabu ngembaliin kaos yang aku pake. Semua akses komunikasi disita, atm dan rekening dibekukan dan aku dihukum jalan kaki subuh-subuh dari sini sampe prambanan yang kita ketemu kemaren."
"Terus sekarang masih dihukum?" tanyaku lagi.
"Selama tali merah masih ada di badanku itu artinya aku masih dalam hukuman" jawab Nisa santai.
"Eh geblek!! Kamu dihukum gara-gara aku terus kenapa sekarang nyuruh aku nginep sini oneng?!!" suaraku agak meninggi kali ini. Aku masih saja tidak mampu menerka apapun yang dia pikirkan. Menemukan dirinya pada sebuah hubungan yang toxic dan dia malah membawaku kesini yang bisa membuat hukumannya jadi semakin berat.
"Selama beberapa hari kedepan Charles ke luar kota, jadi dia nggak akan tau kalo mas prabu ada disini sekarang... toh apapun yang aku lakukan tetep aja aku bakal dapet hukuman jadi aku nggak peduli... dia yang punya kuasa untuk menentukan benar atau salah apapun yang aku lakukan," jawab Nisa sembari menyandarkan kepalanya di dadaku.
"Aku cuma seekor merpati yang dikurung dalam sangkar emas. Walaupun pintunya dibuka, aku sudah tidak tahu lagi harus pulang kemana selain sangkar emas ini," sambungnya lagi.
"Kenapa nggak terbang jauh aja? Kenapa harus tetap di sangkar emas ini?"
"Kan tadi aku dah bilang... Aku sudah terjerat di sangkar ini... Kalo aku pergi, masalah akan semakin runyam. Cukup aku yang menanggung dan menyelesaikan semuanya," senyum kecil tersungging di bibir Nisa entah apa maksudnya tapi yang aku tau, blindfold yang dia pakai mulai kembali basah. Sejenak kami hanya bisa termenung berdua tanpa ada suara apapun di kamar ini. Aku tak punya kata apapun yang bisa terlontar dari mulutku.
"Aku boleh minta tolong sesuatu?" tanya Nisa memecah kesunyian.
"Apaan?"
"Aku pengen bisa nangis lepas kali ini... tolong siksa aku..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Gelap
RandomAku bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang lewat dan tiba-tiba diberi sekantong sampah kehidupannya yang penuh lara. Bilur-bilur di hatinya bahkan tidak menyisakan tempat untuk memperlihatkan warna aslinya. Semua lebam menghitam menyiratkan kepedih...