Kuteguk habis segelas minumku sambil melihat Nisa yang mulai mengunyah makanan yang dipilihnya. Sepertinya dia cukup lapar hanya saja masih berusaha menahan diri.
"Santai aja mbak, kalo masih laper ambil aja lagi... nggak usah mikirin duitnya, yang penting kenyang dulu..." dia hanya tersenyum sambil terus mengunyah. Cukup mengenaskan buatku, tanpa sepeser uang dan ditinggal tanpa kendaraan dan tak seorangpun yang dia kenal. Aku pernah ada di posisi seperti itu dan ditolong seseorang yang tak terduga. Dan sekarang ini menjawab hal baik itu dengan berbagi hal baik juga ke orang lain.
Kami berdua hening sambil menikmati makanan yang masih tersisa di hadapan kami. Sesekali kulihat dia melirikku yang masih menikmati sate usus. Dengan senyum simpul aku kembali mulai membuka pembicaraan.
"Eh mbak, sedari tadi disana sampe kita duduk disini aku tu nggak tau lho kamu tu sebenernya siapa, tapi kok dirimu percaya aja sampe mau ikut kesini?" tanyaku
"Aku sendiri juga nggak ngerti sih mas, enggak mikir baik buruk juga, ikut ya ikut aja soalnya nggak tau mau ngapain lagi juga bengong di jalanan."
"Nggak takut diculik gitu ato hal-hal ngeri lainnya?"
"Apa tho mas yang mau diambil dari aku? Bahkan makan ini aja masnya yang bayarin... duit sepeserpun nggak ada... perhiasan nggak pake karena nggak punya... mau dibeleh juga daging nggak ada hahaha" tawanya kosong jayus tapi rasanya dalam. "mau diperkosa trus dijual juga paling nggak laku juga aku mas..." sambung dia dengan senyum kecut.
"Lho eh kok jadi gitu jawabnya... becanda doank lho ini mbak, jangan tersinggung lho" ujarku untuk merubah arah obrolan.
"Beneran nggak ada yang bisa diambil juga dari aku mas, nggak papa kok aku orangnya nggak tersinggungan kok... marah juga palingan nangis doank hehe..."
Aku cuma tersenyum mendengar jawabannya. Ada rasa yang berbeda dari jawabannya. Entah kenapa ada nada pesimis yang tertangkap di rasaku.
"Tunggu sini bentar aku mau nambah minum lagi, mbaknya tapesenin sekalian ya?" aku bergegas berdiri dan mulai melangkah turun begitu kulihat anggukannya menjawab tawaranku. Tak seberapa lama aku kembali menghampirinya setelah selesai memesan minum di bawah. Kulihat dia membuka-buka sketchbook milikku.
"Mas Prabu tau bdsm?" tanyanya tiba-tiba mengejutkanku.
"Lhoh??!! Bdsm??" aku balik bertanya dengan sedikit terbata bingung. Tiba-tiba dia membuka sketchbook yang ada gambar sketsa perempuan terikat dan jarinya menunjuk simbol bdsm yang ada di situ. Senyum kecil tersungging di bibirku. Mataku kini menatap tajam padanya.
"Kayanya mbaknya bukan orang biasa deh... nggak banyak orang tau itu simbol apa, terlepas dari kertas itu ada gambar apa," ujarku yang disambut dengan senyum pula.
"Panggil aja Nisa nggak usah pake mbak," jawabnya. Entah kenapa kali ini atmosfernya mendadak berbeda. "Banyak hal buruk yang menimpaku di perjalanan hidup ini, semua angan dan harapan udah jatuh lalu hancur berkeping-keping jadi serpihan... aku masih terus mencoba mengumpulkan kembali serpihan itu dan mencoba kembali berusaha tetep hidup... salah satu caraku untuk tetap bisa menikmati hidup ya dengan itu," lanjutnya sambil kembali menunjuk lambang itu.
"Mas prabu dom ya?" tanyanya lagi dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya. Aku hanya tersenyum kecil dan mengangguk pelan. "Keliatan dari auranya mas sedari tadi," imbuhnya.
"Panggil aja Prabu, aku ga nyaman dipanggil mas."
Handphonenya berdering, sebuah pesan masuk dan bergegas dibaca oleh Nisa. Tanpa ekspresi... lalu kembali diletakkan di meja lalu terdiam.
"Kenapa? Udah harus balik? Dicariin temennya?"tanyaku yang dijawab dengan gelengan kepala.
"Malah disuruh pulang sendiri ini, anaknya ngamar"
"Lho berarti sebenernya tadi tu nggak sendiri toh di malioboro?"
"Sebenernya diminta nemenin ketemu orang tapi terus disuruh nungguin sampe bosen terus ketemu sama mas prabu tadi."
"Mana nggak bawa duit pula" gurauku dengan senyuman.
"Bukan nggak bawa tapi emang nggak punya hahahaha" tawanya kini terlihat lepas, tak seperti tawanya tadi.
"Trus nanti pulangnya gimana?"
"Jalan kaki mungkin" jawabnya tenang tanpa ekspresi sama sekali.
"Emang pulangnya kemana? Taanter gapapa kok," aku mencoba menawarkan diri.
"ntar makin ngrepotin lagi... aku mbayare nganggo opo mas?..."
"lha mok kiro aku ojek po kok ndadak mbayar barang?" jawabku yang disambut dengan tawa lepasnya lagi. Suasana makin mencair sampai kami lupa waktu hingga aku terkaget jam dihandphoneku sudah menunjukkan pukul 10 malam.
"Eh ada jam malem nggak di kos? Ntar gabisa masuk lho... balik yuk" ajakku sembari berkemas.
"Ga ada jam malam kok, bebas karena aku ikut di kontrakan temen. Nanti mampir ya jangan langsung pulang." Aku hanya diam sambil memandangnya lalu bergegas turun menuju si besi tua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Gelap
RandomAku bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang lewat dan tiba-tiba diberi sekantong sampah kehidupannya yang penuh lara. Bilur-bilur di hatinya bahkan tidak menyisakan tempat untuk memperlihatkan warna aslinya. Semua lebam menghitam menyiratkan kepedih...