THANKS

634 29 3
                                    

"Aku harus gimana?" tanyaku sembari melepas pelukanku. Nisa beranjak turun ke lantai dan tiba-tiba berbalik arah dan bersujud di kakiku. Dengan wajah yang menempel di lantai dia berkata,

"Lakukan apapun yang tuan mau, puaskan diri tuan dengan memberikan segenap rasa sakit di tubuh yang hina ini."

Aku hanya terdiam melihatnya yang masih saja bersujud dihadapanku. Bahkan setelah lebih dari lima menit berlalu, Nisa tak juga merubah posisi tubuhnya. Akhirnya aku berdiri dan mulai mendekati koper yang ada di sudut. Kubuka koper itu dan ternyata banyak sekali tools yang ada didalamnya. Kuraih collar dan leash yang ada disitu lalu memasangkan collar itu ke leher Nisa tanpa merubah posisi sujudnya. Lalu dengan leash kutarik collar itu dengan kuat sampai dia terduduk lalu terbatuk batuk karena tersedak kaget.

"Berdiri!!!"

Dengan masih terbatuk Nisa langsung berdiri dan menyilangkan tangannya di belakang. Kusodorkan kopi kaleng yang tadi ditawarkannya kepadaku agar dia minum.

"Kalo ada air putih aku mau disiapin dua gelas," ujarku saat dia meminum kopi kalengan yang kusodorkan tadi. Tanpa sepatah katapun dia langsung keluar kamar dan berlari menuju dapur dengan collar dan leash yang masih menggantung di lehernya. Aku mencoba memilah barang-barang yang ada di dalam koper. Nisa kembali dengan dua gelas air putih di tangannya. Ku tutup lagi pintu kamarnya.

"Drink it!"

"Semua?"

"Drink it!!"

Tanpa bertanya lagi Nisa mencoba meminum semua air putih yang dibawanya. Perlahan dia berhasil menghabiskan semuanya. Begitu selesai minum segera kuraih tangannya dan memasang borgol dengan tangan di depan. Dengan scarf yang kutemukan di dalam koper, ku kaitkan borgol itu ke lubang ventilasi. Sengaja ku eratkan ikatannya sampai kakinya sedikit jinjit. Kujejalkan 3 buah saputangan kedalam mulutnya lalu menahannya dengan sebuah cleavegag bandana merah. Kubungkus lagi kepalanya dengan leather hoods yang hanya berlubang kecil pada hidung. Kupastikan dia masih bisa bernafas dengan lancar walaupun seluruh kepalanya terbungkus leather hood.

"Masih bisa denger suaraku?" tanyaku pelan sambil melepas celana yang dipakai Nisa. Nisa menjawab dengan anggukan.

"Satu aturan yang harus kamu tau, aku nggak suka sub yang berisik. Sekali saja kamu bersuara keras, semua selesai. Got it?!"

Nisa kembali menganggukkan kepalanya pertanda setuju. Aku mulai menyelipkan sebuah egg vibra ke dalam selangkangannya. Ternyata Nisa memakai buttplug yang tak sengaja tersenggol saat aku memasang egg vibra. Kunyalakan egg vibra itu dan mulai beranjak naik ke tubuh bagian atas.

"Dirimu butuh safesign?" tanyaku sebelum melanjutkan semuanya. Nisa menggelengkan kepalanya.

"Oke tapi kalau udah nggak mampu nahan, tendang aku dengan kaki kananmu."

Nisa mengangguk pertanda setuju. Tanganku mulai naik ke dadanya dan mencoba melepas bra yang dipakainya tapi sayangnya dia memakai bra dengan tali yang paten sehingga tak mungkin melepas bra itu tanpa melepas borgolnya.

"Boleh kupotong tali branya?"

Nisa kembali mengangguk dan segera kulepas bra yang dia pakai dengan memotong talinya. Dengan Jepit jemuran kujepit puting yang menyembul dibalik kaos yang dia pakai. Kudengar suara erangan yang berusaha dia tahan karena nyeri dari jepit jemuran itu. kulihat kakinya mulai sedikit gemetar karena kunaikkan getaran dari egg vibranya.

CTARR!!!

Kucambuk kaki kanannya dengan leather flogger yang kuambil dari dalam koper. ku ulang itu beberapa kali di kedua kakinya sampai memunculkan garis-garis merah di setiap kaki. Aku mendengar napasnya mulai tak beraturan, entah karena rasa sakit yang dia rasakan atau karena egg vibra yang bersarang di selangkangannya. entah kenapa aku sedikit merasa kurang nyaman dengan suasana kamar yang lengang dan sepi. Untuk menghapus rasa takut karena suara kami bisa didengar dari luar, kunyalakan musik dari handphone untuk sedikit menyamarkan suara yang mungkin timbul. Masih kunikmati gerak tubuh dan nafasnya sembari terus melawan rasa kurang nyamanku.

CTARR!!!

Kembali kucambuk dia dan kini tepat di arah dada yang membuat kedua jepit jemuran terlontar. Nisa langsung mengerang kesakitan dan hampir saja berteriak tapi masih mampu dia tahan. Tangannya reflek menarik ikatan scarf di borgolnya ketika jepit jemuran itu terlontar karena cambukan flogger. Belum selesai dia menata nafas, kembali kuhajar dadanya dengan flogger berkali-kali. Sesekali dia berkelit mencoba menghindari cambukan yang kulakukan ke tubuhnya. Samar-samar kudengar duaranya terisak pertanda dia mulai menangis.

"Stop?"

Nisa menggeleng. Suara terisak masih ada walaupun dia terus berusaha mengatur nafasnya. Kulihat kedua pergelangan tangannya memerah legam karena dia berkali-kali berusaha menarik tangannya. Kusingkap kaosnya sampai dadanya tersaji untukku. Kembali ku hajar dadanya dengan flogger sampai kulihat ada yang merembes keluar dari celana dalamnya dan mulai membasahi paha terus turun hingga ke lantai. Tubuhnya bergetar menjemput orgasmenya. Belum selesai tubuhnya bergetar, kukagetkan dia dengan cambukan yang cukup keras hingga menimbulkan garis–garis merah di daerah rusuk kanannya. Akhirnya Nisa tak bisa menahan suaranya begitu cambuk menyentuh tubuhnya. Kujatuhkan flogger yang kupakai begitu kudengar erangan dari Nisa. Kutarik collarnya dan berbisik

"Aku dah bilang kan aku ga suka berisik?!"

Nisa mulai menggelengkan kepalanya dan muncul kalimat-kalimat yang tak bisa dicerna artinya tapi bisa kuartikan sebagai permohonan agar tidak berhenti. Kuabaikan yang dia lakukan dan melepas scarf yang menahan tangannya. Begitu scarfnya terlepas Nisa langsung kembali bersujud dan terus memohon dengan kalimat-kalimat yang tak bisa kucerna. Kutarik leashnya untuk mendekat padaku dan melepas leather hoodnya. Matanya sudah memerah sembab dan masih mengalirkan airmata. Kuabaikan yang dia lakukan dan melepas borgol ditangannya dan mematikan egg vibra yang sudah mulai kehabisan daya. Kaos yang dipakainya basah karena tadi dia sujud di lantai yang basah oleh squirtnya. Kulepas gag yang memenuhi mulutnya.

"Please maafin aku, maafin aku... tolong jangan marah, maafin aku," akhirnya suaranya dapat kucerna dengan jelas. Aku masih tetap tak bergeming menatapnya dan mungkin itu membuatnya semakin terintimidasi sampai akhirnya dia kembali ke posisi sujud dan tangisnya meledak. Sengaja kubiarkan dia menangis sejenak sambil melepas semua pakaiannya yang sudah basah lalu kubalut tubuh telanjangnya dengan scarf yang tadi kupakai untuk mengikatnya ke lubang ventilasi. Kuangkat tubuhnya lalu kupeluk agar dia bisa melepas puas tangisnya di bahuku. Entah berapa menit berlalu dia masih terus membasahi kaos yang kupakai.

"Dapet yang dimau?"

Nisa menganggukkan kepalanya lalu mempererat pelukannya.

"Thanks," ujarnya pelan.

Dalam Gelap Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang