Matahari menyembunyikan cahayanya dengan rapat. Disusul oleh warna gelap yang mulai terkumpul di ufuk barat. Orang-orang di jalanan menggegas langkah, menghindari kemungkinan terkena air dari langit yang bisa membuat pakaian mereka basah dan berat.
Seorang wanita memakai kemeja lengan pendek merah muda yang dimasukkan ke dalam rok putih model lebar semata kaki, duduk termangu di halte bus. Tak peduli dengan orang yang terus berlalu-lalang di hadapannya.
Sebuah tas yang setengah terbuka berada dalam pangkuannya. Menyembulkan sepucuk undangan yang menyebabkan air mukanya semendung awan.
Ia menghela napas panjang, bersamaan dengan titik-titik hujan menyapa bumi. Halte mulai dipenuhi oleh orang-orang untuk berteduh. Namun, wanita itu tetap bergeming di tempatnya.
"Mbak Ella!"
Suara seseorang memanggil disertai tepukan di pundak membuatnya terperanjat. Ia lantas memutar leher, dan mendapati seorang perempuan berpakaian seragam panjang putih-biru sedang tersenyum sumringah ke arahnya.
Kerudung putih segi empat yang dipakai sang gadis tampak sedikit miring, tetapi tak membuat wajah imut itu menjadi kurang menarik.
"Oh, Elli? Baru pulang sekolah? Kok sendirian, Dek?"
Gadis yang baru saja disebutkan namanya itu mengangguk-angguk, lalu menjawab, "Aku kalau pulang sekolah emang sendirian, Mbak. Harusnya yang ditanya itu Mbak Ella, kenapa malah ngelamun di sini? Enggak ke tempat kerja? Mukanya kayak galau gitu. Habis ditinggal nikah sama gebetan, ya?"
Stella Dilys Chitraghanda menahan sudut bibirnya yang berkedut. Antara ingin tertawa dan menangis ia melakukannya. Tebakan gadis yang memanggilnya Kak Ella itu terlalu tepat sasaran.
Apa aku sedih sejelas itu, ya? batinnya.
"Tuh, malah diem lagi. Beneran, ya?"
"Kalau bener, emangnya kamu mau apa, Dek? Masih kecil mending diem aja, deh," balas Stella dengan tampang mengejek. "Ini, mah, urusan orang gede!" lanjutnya wanita itu.
"Ih, Mbak El ngeselin!"
Berhasil menggoda sang adik, Stella mengurai gelak. Kegiatan itu memang yang paling disukainya. Ia bahkan bisa sedikit mengusir awan mendung di hatinya hanya dengan melihat wajah cemberut Elli.
"Udah, iyaa, udahan, deh. Maafin Mbak, ya. Kamu pulang sana! Mumpung gerimisnya lagi berhenti, nih."
"Mbak Ella juga ikut pulang, yuk! Mbak udah lama enggak ke rumah, lho." Gadis itu mengeluarkan nada merajuk. Diraihnya tangan Stella, kemudian ia goyang-goyangkan ke kiri dan ke kanan.
Wanita berambut hitam sebatas bahu tersebut tercenung sebentar. Sebelum kemudian, menghentikan gerakan tangan Elli, dan menggantinya dengan genggaman pada tangan kurus itu.
"Kapan-kapan aja, ya, Sayang? Kerjaan Mbak di rumah sakit masih banyak soalnya," balasnya, berusaha sekuat mungkin agar tak menampilkan raut sendu.
"Ah, alasan itu lagi! Padahal aku kangen main sama Mbak. Mami sama Ma--"
"Mbak beneran minta maaf, ya? Atau, gimana kalau kamu main aja ke kontrakan Mbak? Besok hari Minggu, 'kan? Mami pasti izinin kamu."
"Oh, iya, ya!" Air muka keruh itu berganti cerah. "Aku sampai lupa kalau besok hari Minggu. Oke, Mbak! Boleh sekarang aja ikutnya enggak?"
Stella terdiam sebentar, lalu menjawab, "Baju ganti kamu gimana?"
Gadis bernama Elli itu tersenyum lebar, "Kan, ada bajunya Mbak Ella."
Stella langsung tergelak kecil. Tak peduli jika dirinya langsung menjadi pusat perhatian orang-orang yang masih ada di halte tersebut.
"Oke, deh. Biar nanti kabarin Maminya pake hp Mbak aja," katanya. Kemudian, "Lets go!"
Pasangan adik dan kakak itu pun beranjak dari halte. Mereka berlari-lari menembus gerimis yang makin deras, tak memedulikan banyak orang yang memerhatikan.
* * *
"Di sini aman, 'kan, Mbak?"
Pandangan Aurellie Chitraghanda--atau biasa dipanggil Elli-- memindai sekitar saat sampai di jalanan setapak menuju kontrakan sang kakak.
Di sisi kanan jalan, tumbuh beberapa pohon pisang--pasti malam hari akan sangat menyeramkan jika lewat sini-- sedangkan, sebelah kiri terdapat tembok batu bata setinggi kira-kira lima meter.
"Insyaallah, Dek. Soalnya, alhamdulillah selama tiga tahun ngontrak di sini aman-aman aja, kok. Kenapa emangnya?" Stella balik melontarkan pertanyaan.
Keduanya sudah sampai. Kontrakan yang ditempati Stella hanya berjumlah tiga pintu dan dicat cokelat tua.
Ruangan wanita muda itu sendiri berada di paling ujung. Tengah-tengah kosong, dan yang paling awal diisi oleh sepasang suami istri. Itu pun jarang pulang.
"Sepi banget, Mbak. Apalagi kebun pisang di situ. Pasti kalau malem serem lewat situ, ya?" Ella membalas sekalian menyuarakan ucapan hatinya.
"Ya, kan, ada lampu. Jadi tetep terang, Dek. Kelihatannya doang sepi. Di belakang tembok ini, kan, ada banyak kontrakan lagi. Rumah juga banyak," jawabnya, sembari memasukkan kunci ke lubang pintu, lalu mendorong benda pipih itu.
"Lagian, Mbak Ella kenapa milih tinggal di sini sendiri, sih? Padahal kalau bareng-bareng di rumah, kan, enak. Aku juga jadi bisa setiap hari ketemu sama Mbak," rajuk gadis itu.
"Aku, tuh, pengen curhat-curhat sama Mbak. Terus pengen ...."
Stella mendadak terdiam, membiarkan adiknya berceloteh sendiri. Kilas balik peristiwa yang menjadikannya memilih tinggal sendiri seketika terbayang. Ia memejamkan kedua mata. Keningnya berkerut dengan rahang mengetat.
" ...la!"
"Mbak Ella!"
Mendengar panggilan cukup keras barusan, sang empunya nama langsung terperanjat bersamaan dengan lamunan yang buyar.
Mengerjapkan kelopak beberapa kali, barulah Stella menjawab, "Y-ya?"
"Iih!" Elli tambah merajuk. Sebelah kaki gadis itu mengentak-entak lantai, dan kedua tangannya terlipat di dada. "Mbak Ella hari ini banyak ngelamun, nih. Pasti dari tadi enggak dengerin aku ngomong apa, 'kan?" imbuhnya.
Stella tersenyum lebar. Gadis yang sekarang masih memakai seragam putih-biru itu lagi-lagi dapat menebak nya dengan tepat.
"Maaf, ya, Dek. Mbak laper, nih, jadi kurang konek."
Setelahnya, ia mengurai tawa, meyakinkan bahwa dirinya memang sedang merasa seperti itu. Padahal jauh di lubuk hati ... entahlah.
"Huh! Begitu mulu!"
"Duhduh. Udah, daripada ngambek terus, mendingan masuk. Mbak buatin sambal petai kesukaan kamu sebagai permintaan maaf, deh."
Aurellie masih bergeming meski ujung matanya terlihat sedikit melirik-lirik.
"Ya, udah, deh. Kalau enggak mau bisa dimak--"
"Iya, iya! Aku masuk, nih!"
Wanita yang berprofesi sebagai dokter itu tersenyum puas kala sang adik termakan bujuk rayunya.
Yah, tidak banyak yang menyangka jika gadis berwajah imut itu amat menggilai buah dari tanaman yang bernama latin parkia speciosa tersebut.
Setelah Elli masuk, ekspresi redup kembali menghiasi wajah Stella. Ia kemudian menghela napas panjang yang berat.
Dan, sebelum benar-benar melangkah melewati ambang pintu menyusul adiknya, ia bergumam, "Suatu saat nanti, pasti kamu bakalan ngerti, Dik. Maafin Mbak."
Hari ini sungguh buruk bagi Stella. Belum cukup mendapat kabar bahwa dokter yang disukainya akan menikah, ia juga harus teringat kejadian itu lagi.
Oh, rasanya, Stella ingin menangis saja!
"Mbaaak, ayooo!"
Berdecak kesal, si empunya langsung masuk. Saat di dalam, ia menegur adiknya itu agar jangan berteriak karena takut para tetangga terganggu.
* * *
COMEBACK 🤩
SEMOGA KALI INI BISA MENYELESAIKAN DENGAN BAIK. AMIN.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELAN [END]
ChickLitStella Dilys Chitraghanda menyukai Damar Sadewa, rekan sesama dokter di rumah sakit tempat ia bekerja. Namun, selama dua tahun berjuang mempertahankan perasaan itu, ia terpaksa harus menyerah tatkala mendapatkan sepucuk undangan yang tertulis nama l...