T I G A B E L A S

49 4 0
                                    

Stella berguling-guling di kasur. Kegiatan yang gadis itu lakukan sejak beberapa menit lalu. Dia merasa tak karuan. Satu kesadaran yang membuatnya tak percaya. Dia melupakan Damar dan malah terus memikirkan Alan!

"Gue bercanda, ya?" tanyanya pada diri sendiri. "Secepat ini?" Dia menggeleng sambil menepuk-nepuk kedua pipinya.

Padahal apabila dipikir lebih dalam, Alan itu hanya unggul di bagian tampang. Soal lawan bicara yang menyenangkan, tentu saja Damar yang menjadi pemenangnya.

"Iih! Ngapain gue jadi bandingin mereka berdua, sih?"

Merasa malu sendiri, Stella menenggelamkan wajahnya di bantal bergambar telapak kaki kucing.

Tring!

Tanpa mengangkat kepalanya, gadis itu meraih ponsel setelah sempat meraba-raba di sisi tubuhnya. Dengan malas, dia mengintip isi pesan tersebut.

[Lihat Mio.]

"Hah?" Stella mendadak loading mendapati dua kata di layar ponsel. Belum lagi, si pengirim tak bernama. Nomor baru.

[Mampir.]

Hendak menanyakan siapa, nomor yang sama kembali mengirim pesan. Kali ini lebih pelit, hanya satu kata.

Setelah berpikir selama sekian detik, kerutan di kening Stella seketika mengendur. Wajahnya berganti ekspresi datar.

"Yah, udah, deh. Udah ketebak siapa yang ngirim." Dia berdecak. "Heran banget sama Mas Alan, enggak ngomong langsung atau di chat, tetep aja irit. Pelit banget."

Stella menoleh ke arah jam, baru pukul tujuh malam. Jadwal ke rumah sakit jam sepuluh. Yah, masih aman.

"Bales enggak, ya? Hmm, bales singkat-singkat juga, ah," katanya lagi, lalu cekikikan sendirian.

Namun, niat jahilnya malah urung saat dia mendengar ketukan dari luar. Gadis itu mengerjap beberapa kali. Wajahnya kembali mengerut-ngerut. Lah? Udah nyampe? Cepet banget? Mas Alan ngerjain, ya?

Daripada terus bertanya-tanya dalam hati, Stella beranjak dari kasur lantainya. Sebelum keluar, dia sempat menepuk pelan kepala Mio yang tengah tidur melingkar di meja riasnya.

"Tunggu dulu, ya, Mio. Mommy mau lihat Daddy kamu dulu. Eh, apaan? Daddy?" Stella bergidik, lalu terbahak lagi. "Duh, La, La, udah mulai rusak otak lo."

Pintu diketuk lagi dengan bunyi yang lebih keras. Stella seketika menghentikan tawanya. Dia mendengkus. Sambil meneruskan langkah, gadis yang mengenakan pakaian santai serba panjang itu berteriak, "Iya, bentar! Enggak sabaran banget!"

Begitu Stella tiba dan menarik kenop, ucapannya yang hendak menyebut nama Alan terpotong.

Gadis itu syok, secara refleks mundur dua langkah dengan raut ketakutan yang kentara. Tangannya bahkan gemetaran.

Sosok yang ternyata bukan Alan itu menatap datar, lalu menyeringai.

"Halo, Adik."

* * *

"Lepasin gue, Brengsek!"

Stella benar-benar murka. Dia yang sejak tadi selalu berusaha menjaga jarak, kini berhasil disentuh sosok itu. Ekspresi jijiknya tak dapat disembunyikan.

Sementara itu, si pelaku malah terbahak menyeramkan sambil menahan lengan Stella agar tak terlepas.

"Kayaknya gua terlalu santai akhir-akhir ini sampai disongongin sama adek sendiri. Lu perlu diajarin lagi, Sayang."

Stella menggeleng keras. Sepasang matanya berkaca-kaca. Bayangan beberapa tahun silam seketika berseliweran, membangkitkan mimpi buruk menjadi kenyataan.

"Tolong lepasin gue ... kenapa lo dateng lagi .... Please ...," lirih Stella, begitu lemah.

Posisi gadis itu telah terpojok. Dia hendak berkelit untuk menuju pintu, tetapi sosok tersebut malah menjegal kakinya hingga dia terjatuh ke lantai yang dingin.

Alih-alih menangis karena rasa sakit yang menyebar di area kepala akibat terbentur, ketakutan gadis itu lebih mendominasi. Apalagi ketika si tamu tak diundang berada di atas tubuhnya, memegangi lengan Stella sangat kencang hingga membekas kebiruan.

"Lepasin lu bilang?" Orang itu menyentak keras, lantas menyatukan lengan Stella agar bisa mencengkeram dagu gadis itu. "Lu harusnya tau diri, dong. Setelah ibu sama adek lu dikasih tumpangan sama bapak gua. Sekarang dia udah meninggal, lu harus tau caranya balas budi!"

Bentakan itu membuat Stella memejamkan mata, sekaligus menyebabkan air matanya jatuh. Tidak, jangan lagi tentang balas budi. Yang dimaksud oleh orang itu bukanlah sesuatu baik.

"Kenapa Abang kayak gini, sih? Kenapa Abang bikin sayangnya Ella jadi benci kayak gini! Balas budi apa kalau nyatanya Abang malah lecehin Ella!"

Ya, orang yang saat ini menahan Stella adalah Roy. Laki-laki yang dahulu sangat dia sayangi sebagai kakak penuh kasih. Namun, rasa itu berubah benci sejak Roy melakukan hal tak senonoh kepadanya.

Kejadian itu yang menjadi alasan Stella memilih pergi dari rumah dan mengontrak.

"Lu nyebutnya salah, Sayang." Roy mengusap pipi Stella hingga membuat gadis itu berpaling, jijik. Dia lantas mendekatkan bibir, dan berbisik, "bukan lecehin, tapi kita sama-sama nikmatin."

Stella langsung meludah ke wajah si pembicara kurang ajar itu. Jantungnya berdegup kencang. Hati dan kepalanya panas. Dia sungguh murka.

"Sialan!" Roy mengumpat keras.

Kedua mata laki-laki itu telah diselimuti kabut nafsu sepenuhnya. Bagai hewan liar, dia mengarahkan bibirnya ke leher Stella, tanpa memedulikan jeritan memohon si gadis.

"Diem! Gua bilang diem!"

Roy mengencangkan pegangannya. Akal sehatnya telah lari entah ke mana.

Sementara Stella nyaris kehilangan suara dan tenaga. Yang bisa dilakukannya menangis, meratapi diri yang lagi-lagi terjebak dalam lubang dosa. Sama seperti dahulu.

Saat dia berada dalam ambang keputusasaan, bunyi keras terdengar bersamaan dengan beban di atasnya yang menghilang. Kemudian, suara gaduh menyusul disertai umpatan kasar milik Roy.

Stella ingin mengetahui apa yang terjadi. Namun, kedua matanya malah makin memberat. Seluruh tubuhnya sakit. Hatinya juga.

Dalam keadaan wajah yang masih basah oleh air mata, kelopak itu perlahan-lahan terpejam. Menghantarkan si empunya pada kegelapan tanpa tahu sang penyelamat berhasil mengusir si penjahat.

-Bersambung-

Nah, tahan dulu, tahan. Biar greget sampe bikin kesel. 🤣

ELAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang