"Please, dooong ... mau, ya? Mau, ya? Mau, lah! Masa enggak?" Tatapan memohon dilayangkan si dokter cantik yang masih lajang kepada pria di depannya.
"Kamu juga tidak." Seperti biasa, membalas dengan potongan kata yang tidak sempurna--hingga membuat lawan bicaranya kebingungan--merupakan bakat seorang Alandra Manggala.
Stella mengembus napas kasar ketika mendengar jawaban yang sama seperti beberapa detik lalu. Serius, nih, kita bakal muter-muter di sini doang? Hatinya menjerit frustrasi.
"Kamu diam. Saya pulang."
Stella tetap bergeming. Pikirannya masih sibuk menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan.
Ia tidak bisa memelihara si kucing--karena pekerjaannya sebagai dokter yang cukup menyita waktu. Namun, ia butuh seseorang juga untuk menemaninya ke acara keluarga nanti malam.
Alan jadi satu-satunya orang yang dapat ia mintai bantuan. Sayang, pria tanpa riak itu hanya akan menolongnya jika ia mau memelihara si Mio dahulu--nama kucing itu.
Hah ...! Enggak ada pilihan lain, deh. Yah, enggak buruk juga punya peliharaan, daripada harus ke rumah sendi--"Loh? Mas Alan? Tunggu dulu!"
Stella merapatkan gigi-giginya. Dia gemas sekali akan tingkah laku Alan yang main nyelonong saja. Tau-tau, laki-laki itu sudah ada di depan pintu hendak keluar.
"Mas Alan kenapa, sih? Dengerin saya sampai selesai ngomong dulu apa." Gadis itu melanjutkan omelan setelah berhadapan dengan sang tamu.
"Kamu lama. Saya mau pulang."
"Pulang?" Stella menautkan sepasang alis legamnya. "Katanya tidak tahu arah jalan pulang," lanjutnya dengan menggunakan bahasa baku untuk meledek Alan.
"Sekarang sudah tahu."
"Kok cepet banget? Tau dari mana emang?"
"Maps."
Mendengar jawaban barusan, Stella benar-benar berusaha sekuat tenaga agar tidak melemparkan sesuatu pada Alan.
"Ya, udahlah! Terserah mau pulang atau enggak, yang penting Mas Alan harus kudu wajib temenin saya ke acara nanti malem!" pinta Stella menggebu-gebu.
"Tapi kamu tid--"
"Iya, iya! Saya bakal urusin si Mio!" potong Stella ketus. Terkesan tidak sopan memang, tetapi seperti inilah karakter gadis itu sesungguhnya.
Alan, setelah terdiam beberapa detik, mengangguk, lantas membalikkan tubuh dan berjalan kembali ke dalam dengan santai tanpa membalas ucapab Stella lagi.
Ya, Allah .... Sabar, La, sabar .... Jodoh kamu beneran orang ganteng yang baik hati ini, mah.
* * *
[Mbak, udah sampe mana?][Aku tungguin, lho, ya.]
[Awas aja sampe beneran enggak dateng. Aku bakalan marah selama lama lama lamanya!]
Stella menggeleng-geleng dan berdecak beberapa kali sebab terus mendapatkan teror pesan dari sang adik tiada henti.
[Iuya. Suabar dtulu!]
Bodo amat, ah! kirim!
Selesai dengan ponsel yang terus berbunyi, Stella meletakkan benda berlayar pipih itu pada meja rias di depannya. Lantas, ia segera mempersiapkan diri untuk pergi.
Waktu Isya sudah lewat sejak beberapa detik lalu. Wanita itu kebetulan sedang kedatangan tamu bulanan sehingga saat azan berkumandang, ia langsung mandi dan memilih pakaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELAN [END]
ChickLitStella Dilys Chitraghanda menyukai Damar Sadewa, rekan sesama dokter di rumah sakit tempat ia bekerja. Namun, selama dua tahun berjuang mempertahankan perasaan itu, ia terpaksa harus menyerah tatkala mendapatkan sepucuk undangan yang tertulis nama l...