Stella mengintip pada celah pintu yang berhasil dibuatnya. Di dalam sana, terlihat Elli tengah sibuk menulis di meja belajar. Dia lantas menegakkan tubuhnya lagi, bersamaan dengan napas kasar yang lolos dari bibirnya.
Sejak di rumah sakit hingga sekarang proses hukum Roy selesai diurus, dia belum sempat berbicara lagi dengan Elli. Malam ini, usai melaksanakan salat Isya, dia memiliki kesempatan. Namun, kebingungan bagaimana memulai percakapan melandanya.
Lalu, ketika Stella hendak mengetuk pintu, benda datar penghubung itu sudah lebih dahulu terbuka. Gadis yang mengenakan baju tidur merah tersebut sontak mematung dengan sebelah tangan mengambang di udara.
"Ha-hai," sapanya canggung kepada si pembuka pintu.
Elli sempat kaget. Sebelum kemudian, dia merespons tak kalah kikuk. Gadis yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama tersebut berdeham, lalu menyilakan sang kakak masuk.
"Um, Mbak Ella duduk aja dulu. A-aku mau ngambil minum," ucap Elli dari ambang pintu.
Stella yang memang sudah berada di dalam hanya mengangguk dan menunjukkan jempolnya.
Setelah Elli benar-benar menghilang di balik pintu, dia langsung menghela napas lega. Ini merupakan hubungan yang canggung untuk pertama kali. Jantungnya jadi berdebar lebih kencang seperti saat Alan mengiakan permintaan sang mama.
Oh, omong-omong Alan, laki-laki itu sudah seminggu ini menghilang. Bohong apabila Stella mengatakan dia tak kecewa.
Yah, lagipula, mana mungkin jawaban Alan kemarin malam serius. Sudah pasti pria itu hanya merasa tak enak pada ibunya.
Tanpa sadar, Stella jadi memasang tampang sedih. Selama seminggu ini, dia mengambil cuti di rumah sakit untuk memulihkan kondisi mentalnya. Jika besok masuk, apakah dia bisa bertemu dengan Alan?
Hus! Apa yang Lo pikirin, sih, La? Sadar! Sadar!
"Mbak Ella?"
"Eh?"
Stella mendongak. Dia refleks beringsut mundur kala mendapati wajah Elli sudah ada di depan mata.
"Ngelamunin apa sampai aku masuk enggak sadar?" Elli kembali bersuara.
Stella cepat-cepat menggeleng. Dia tak mungkin menceritakan tingkah tak masuk akal mama mereka pada adiknya. Bisa kacau nanti!
"Enggak, kok. Cuma mikirin gimana cara minta maaf sama kamu." Jawaban itu meluncur begitu saja dari mulutnya dengan lancar.
Tak disangka, ucapan Stella malah membuat Elli terdiam dengan mata berkaca-kaca. Saat melihat sang kakak hendak membuka mulut, dia langsung memberikan sebuah pelukan pada sosok yang duduk di atas ranjangnya.
"Jangan minta maaf, Mbak. Seharusnya aku yang ngelakuin itu. Maafin aku, ya, Mbak. Bukannya nemenin, aku malah ngambek sama Mbak Ella," isaknya.
Stella terpegun sebentar. Tiga detik berlalu, dia lekas membalas dekapan itu dan menambahnya dengan tepukan pelan di punggung sang adik.
"Sstt, udah, De. Berarti enggak ada yang harus minta maaf."
Elli tak menjawab, masih meneruskan tangisnya.
Sementara Stella diam-diam merasa lega. Urusan dengan sang adik telah selesai. Kini, tinggal berlanjut pada pokok permasalahan terbesar. Dia harus menemui Alan!
* * *
"Yang waktu itu Mas Alan bicarain sama Mami cuma bercanda, 'kan?"
Stella benar-benar menepati rencana yang telah disusunnya. Sehabis salat Asar, dia segera menghubungi Alan dan meminta bertemu di kafe terdekat dari kontrakannya.
Mamanya sempat melarang keluar karena khawatir dia belum pulih. Namun, kekuatan membujuk Stella sama sekali tak pernah berkurang sehingga di sinilah dia berada sekarang.
"Mas, jawab!" tagih Stella lagi. Dia bahkan sampai melotot gemas karena Alan hanya diam menatapnya.
"Saya serius."
"What!"
Stella kemudian tertawa keras hingga beberapa pengunjung kafe menengok ke arahnya. Namun, sekian detik berlalu, laki-laki di hadapannya tak juga ikut tergelak. Dia langsung berhenti tertawa dan memasang ekspresi horor.
"Mas Alan beneran serius?" lirihnya, lalu melanjutkan, "ta-tapi, Mas Alan, kan, enggak punya perasaan sama aku."
"Belum," sambar pria itu.
"Ya?"
"Bukan tidak punya, tetapi belum."
Stella menganga. Sepasang matanya mengerjap cepat, linglung. Mengapa laki-laki di hadapannya ini ingin menjadikannya istri? Apakah ada alasan tertentu?
"Mas Alan, tolong jangan main-main, dong! Mas Alan aja belum tau gimana sifat aku, begitupun sebaliknya. Jadi, mana mungkin kita nikah padahal kenal aja karena kebetulan?" ungkap Stella, meluapkan apa yang selama ini terpendam di hatinya.
Karena Alan masih diam, Stella kembali meneruskan, "Terus juga, Mas Alan selama semingguan ini ke mana? Kenapa hilang? Itu, kan, tandanya Mas Alan enggak serius."
"Saya sibuk."
Mendengar jawaban Alan, Stella nyaris mendengkus keras. Tuh, kan? Belum apa-apa aja udah bisa nerbangin sama jatuhin sekaligus.
"Saya dan Tante Kirana sibuk menyiapkan hal yang berhubungan dengan pernikahan kita nanti."
Dari sana, Stella mensyukuri satu hal; dia tidak sedang minum saat mendengar kalimat mengejutkan itu.
-Bersambung-
Dua part lagi tamat, guys. Aku cepetin aja alurnya. 😂
KAMU SEDANG MEMBACA
ELAN [END]
Literatura FemininaStella Dilys Chitraghanda menyukai Damar Sadewa, rekan sesama dokter di rumah sakit tempat ia bekerja. Namun, selama dua tahun berjuang mempertahankan perasaan itu, ia terpaksa harus menyerah tatkala mendapatkan sepucuk undangan yang tertulis nama l...