"Apa yang Bang Roy lakuin!"
Stella menatap nanar pada kakak tirinya itu. Dia baru pulang sekolah, dan terkejut begitu disambut pelukan Roy yang tidak biasa. Celakanya, tidak ada siapa pun di rumah.
"Papa udah meninggal. Harusnya, ibu sama adik lo itu keluar dari sini!"
Sepasang mata Stella memicing. Bau alkohol dari mulut sang kakak membuatnya paham satu hal.
"Kita, kan, keluarga, Bang. Kenapa Abang Roy bilang kayak gitu?"
Gadis itu mencoba tetap tenang. Padahal, jantungnya berdegup kencang. Dia ketakutan.
Tak disangka, Roy terbahak mengerikan. Laki-laki itu melangkah sempoyongan, mencoba meraih tubuh Stella yang terus berusaha menghindar.
"Keluarga? Keluarga apanya! Gua selama ini baik karena ngincer body lo doang. Karena Papa udah enggak ada, gua bisa bebas, 'kan?"
Stella membulatkan mata. Dia sungguh tak menyangka saat mengetahui jalan pikiran sosok yang selalu baik padanya itu.
Dia menggeleng-geleng cepat. Lantas mundur lagi hingga tubuhnya menemui tembok. Dia terjebak di antara meja makan dan ujung ruangan.
Hal tersebut membuat Roy makin melebarkan senyum menggodanya. Meski dalam keadaan setengah sadar, dia dengan baik dapat mengetahui di mana keberadaan incarannya itu.
"Enggak! Pergi! Pergi! Jangan deketin aku!"
Tepukan di pipi membuat Stella bangun dalam keadaan napas tersengal-sengal. Begitu penglihatannya telah sempurna terbuka, gadis itu menangis tersedu-sedu.
"Ya, Allah, Mbak Ella!"
Pelukan hangat menyusul kemudian. Itu suara Elli dan ibunya. Stella makin mengencangkan tangis. Dia sadar berada di rumah sakit sekarang, dan fakta yang selama ini disembunyikannya pasti telah terbongkar.
"Nak Alan, makasih banyak karena udah bawa Ella ke sini. Saya enggak tau harus bilang apa lagi."
Pelukan terlepas saat ibunya berbicara. Stella mengalihkan perhatian. Matanya yang masih berkaca-kaca langsung bertemu dengan sorot datar milik sang hero.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya pamit dulu," balas laki-laki itu kemudian.
Kirana--mama Stella--menyengguk. Alan ternyata cukup paham mereka butuh waktu untuk membahas ini.
Setelah laki-laki yang menolong putrinya itu telah pergi, dia kembali membalikkan badan, menatap Stella dengan sendu.
* * *
Kesedihan menguar pekat di ruangan rawat inap itu. Kirana begitu terpukul saat mengetahui kenyataan bahwa Roy pernah melakukan hal tak pantas pada putri sulungnya.
"Mi, udahan, dong, nangisnya. Yang penting Ella udah baik-baik aja sekarang," bujuk Stella khawatir. Pasalnya, sang mami belum berhenti menangis sejak tadi. Begitupun dengan adiknya.
Kirana menggeleng. Bagaimana ia akan berhenti menangis usai mengetahui kenyataan menyakitkan ini. Apalagi kala dia mengingat bekas luka di bahu sang putri.
"Maafin Mami yang kurang peka sama kamu, Mbak. Maaf karena Mami terus paksa kamu tinggal di rumah tanpa tau alasan sebenarnya kamu mau ngontrak," balas wanita itu, masih bercampur dengan Isak tangis.
"Jangan minta maaf, Mi. Lagipula, ini kemauan Ella buat nyimpen semuanya sendirian. Enggak ada yang salah, kok, di sini."
"Tuh! Mbak Ella enggak pernah berubah dari dulu. Emang apa salahnya berbagi, Mbak? Bahkan buat tau hal sebesar ini aja harus dari orang lain!" sambar Elli yang sejak tadi memilih diam.
"Adek ...."
"Sayang ...."
"Udahlah! Aku pengen keluar dulu!"
Stella tersentak. Dia bersiap mencegah adiknya itu, tetapi sang mama lekas mencegahnya.
"Biarin dulu, Mbak. Adikmu itu masih butuh waktu. Nanti kita bicara baik-baik, ya. Lebih baik, kamu istirahat sekarang," saran Kirana.
Tak memiliki pilihan lain, Stella akhirnya mengangguk meski dengan raut mendung. Seperti ada yang mengganjal hatinya. Kali ini, kemarahan Elli bukan main-main seperti biasa.
"Mbak, istirahat," pinta Kirana sekali lagi.
Stella menoleh, menghela napas kasar, dan mengangguk.
"Iya, Mi."
Kirana tersenyum puas. Wanita paruh baya itu lantas membantu Stella mengenakan selimut. Setelahnya, dia mencium kening sang putri bersama sebaris doa keselamatan.
* * *
"Mas Alan, makasih, ya. Aku enggak tau bakal gimana jadinya kalau Mas Alan waktu itu enggak dateng," ucap Stella tulus.
Mereka kini sedang berada di taman rumah sakit ditemani lampu-lampu taman yang gemerlapan dan langit berbintang.
"Ya," balas Alan singkat.
Untungnya, Stella sudah sangat terbiasa. Gadis yang masih mengenakan pakaian pasien itu akhirnya memilih ikut diam. Dia mendongak, melihat bintang-bintang yang bertebaran membuatnya nyaman.
"Mas Alan, waktu itu mau ngapain ke rumah aku?" tanya Stella setelah beberapa saat.
"Lihat Mio."
Bosan karena percakapan terasa flat, Stella mengerling, bersiap menggoda laki-laki yang selalu mengenakan busana hitam tersebut.
"Liat Mio atau liat aku, Mas?"
Saat Alan menoleh untuk pertama kali sejak mereka bicara, Stella mengedipkan sebelah matanya dengan genit. Sayang, ekspresi si lelaki sama sekali tak berubah.
"Lihat Mio," jawab Alan tak berubah.
Tak ingin menyerah, Stella kali ini mendekatkan wajahnya ke wajah Alan, lalu berkata lagi, "Aku atau Mio?" Lalu, gadis itu menaik-turunkan alisnya.
"Mio."
Keteguhan Alan membuat Stella kembali menarik diri dengan raut cemberut.
"Ah, Mas Alan enggak asik!" protesnya.
Alan tak menanggapi.
"Udahlah, aku mau balik aja ke kamar. Di sini juga ngomong enggak ditanggepin."
Stella berdiri, tetapi ketika hendak melangkah, dia refleks berseru kaget karena tubuhnya mendadak melayang.
"Mas Alan! Apa-apaan, sih? Turunin aku!" teriaknya. Beruntung, malam itu penghuni taman terbilang sedikit sehingga mereka tak terlalu menjadi pusat perhatian.
Namun, sepertinya Alan berlagak tuli sejenak. Tanpa mengindahkan Stella yang berusaha mencoba berontak, si lelaki tetap teguh membopong gadis itu.
-Bersambung-
Jadi, Mas Alan itu gimana sih sama Ella? Jangan bikin terombang-ambing, dong. 😭
KAMU SEDANG MEMBACA
ELAN [END]
Literatura FemininaStella Dilys Chitraghanda menyukai Damar Sadewa, rekan sesama dokter di rumah sakit tempat ia bekerja. Namun, selama dua tahun berjuang mempertahankan perasaan itu, ia terpaksa harus menyerah tatkala mendapatkan sepucuk undangan yang tertulis nama l...