Stella melayangkan tatapan puas pada seekor kucing berbulu warna tiga--putih, oranye, dan hitam--yang sedang meringkuk di atas meja rias. Hewan berekor panjang itu terlihat lebih cantik, tak lagi kumal seperti sebelumnya karena sudah ia bersihkan.
"Habis ini, kamu makan, ya? Aku enggak punya makanan kucing, sih. Tapi, kalau ikan ada, deh, kayaknya. Sebentar, Cing."
Gadis yang memadukan kaus putih kebesaran lengan pendek dengan celana panjang longgar gelap itu berbicara seperti pada manusia.
Sementara yang diajak bicara, hanya merespons dengan mengeong takut-takut. Si kucing tampaknya masih bersikap waspada sebab situasi yan serba asing di sini.
Stella pun tak terlalu mengambil pusing. Ia yakin, hewan bermata bulat itu makin lama akan 'bucin' padanya.
Selesai mengamati hewan berkaki empat itu, ia lalu berjalan ke arah pintu. Namun, baru saja tangannya menarik kenop, gadis yang bisa dipanggil Ella tersebut hampir saja terjungkal kala mendapati wajah Alan tepat di depan kamar.
Beruntung ia cepat tanggap, langsung berpegangan pada sisi-sisi pintu, dan kembali menegakkan tubuh sambil melayangkan sorot kesal kepada sang pelaku.
"Allahu ...! Mas Alan ngagetin aja, ih! Untung saya enggak punya jantung! Gimana kalau nanti saya kenap--"
"Kucing mana?"
"Hah?"
"Jelek."
Stella mendengkus tak sopan. Gadis itu kesal karena ucapannya dipotong begitu saja. Sekarang ditambah lagi dengan diejek jelek. Kalau saja laki-laki di hadapannya itu bukan tamu, sudah pasti ia ....
Astagfirullah, La. Sabar ... sabar .... Orang sabar jodohnya ganteng!
"Kucing mana?" ulang Alan, membuyarkan keterdiaman Stella.
"Ada di dalem." Gadis itu menggerakkan dagunya ke arah kamar. "Saya mau kasih makan dia. Makanya Mas Alan minggir, dong. Habis ini kita makan. Masnya laper juga, 'kan?"
"Iya."
Sudut bibir Stella berkedut sebab menahan tawa. "Jujur amat, Mas," balasnya geli.
Namun, seperti biasa, pria yang suka sekali mengenakan pakaian serba hitam itu tak peduli. Tatapannya tetap datar, sama sekali tidak terpengaruh ucapan Stella yang jelas-jelas bentuk ejekan.
"Udahlah." Gadis itu menghela napas lelah. "Susah kalau ngomong sama tembok."
Stella lantas melanjutkan langkah. Ia tak lupa menutup pintu kamar karena khawatir si kucing belang tiga akan kabur. Sementara Alan, tanpa dipinta lagi, mengekor dari belakang.
Diam-diam, Stella jadi merasa seperti induk kucing beranak dua. Satu kucing betulan, sedangkan yang lainnya jadi-jadian.
* * *
Jarum pendek pada jam bulat di atas pintu masuk menunjukkan angka empat sore hari. Sinar matahari terasa hangat. Sebagian biasnya masuk ke celah jendela.
Stella dan Alan tengah duduk lesehan--karena sang tuan rumah tak memiliki kursi ataupun ruang tamu--di ruangan depan dengan televisi edisi lama yang menayangkan iklan produk kecantikan.
"Mas Alan kapan pulang?" tanya Stella mendadak secara terang-terangan. Sudah lima kali gadis itu menanyakan hal yang sama.
Sang empu nama menoleh ke arah sumber suara. Sorotnya yang tak beriak sulit untuk ditebak. Bahkan oleh Stella sekalipun yang saat ini melihat dari dekat sepasang iris legam tersebut.
"Sejak tadi."
"Hah?"
"Jelek."
Stella melotot lucu. Kok, kayak pernah ngalamin ini, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
ELAN [END]
Literatura FemininaStella Dilys Chitraghanda menyukai Damar Sadewa, rekan sesama dokter di rumah sakit tempat ia bekerja. Namun, selama dua tahun berjuang mempertahankan perasaan itu, ia terpaksa harus menyerah tatkala mendapatkan sepucuk undangan yang tertulis nama l...