D U A B E L A S

42 4 0
                                    

"Masih lama?"

Dari tempat duduknya, Alan bertanya dengan nada nada datar seperti biasa. Meski begitu, sorot matanya menandakan bahwa laki-laki itu sedang bosan.

Sementara Stella yang mendengar pertanyaan Alan langsung membalas galak, "Emangnya kenapa? Mas Alan enggak ikhlas temenin aku sekarang? Lagian, jangan lupa, ya, Mas Alan yang ngajak aku ke sini!"

Luar biasa sekali gadis ini. Beberapa menit yang lalu dia masih menangis karena masalah keluarganya. Kini, dia sudah bisa mengomeli Alan seperti biasa.

Gaya bahasanya pun berubah. Dari saya menjadi aku. Stella sungguh telah menganggap Alan sebagai sohibnya dalam pertemuan yang tak lebih dari lima kali. Itu pun karena kebetulan.

"Mas Alan bayarin es krimnya, ya? Aku kanker alias kantong kering," pinta Stella tak tahu malu.

Kedua orang itu memang tengah berada di kedai es krim. Letaknya berada setelah melewati dua belokan dari kafe yang menjadi pertemuan Stella dengan ayahnya.

Berbeda dengan kedai lain yang biasanya mengusung tema modern, tempat ini lebih kepada nuansa vintage. Meja panjang rendah yang memiliki ukiran indah, daftar menu yang terbuat dari kayu, juga intrumen tradisional mengalun lembut menambah kenyamanan. Para pengunjung tampak berlesehan sambil menikmati lezatnya lelehan es krim.

"Kamu yang makan."

Berdecak, Stella meletakkan mangkuk es krim kelima yang telah tandas. Bibirnya maju beberapa senti, lantas dia membalas, "Ayolah, Mas. Ya? Ya? Ya?" Gadis itu menambahkan aksinya dengan mengedip-ngedip genit. "Tadi aja Mas Alan perhatian sampai bopong aku ke sini. Masa minta bayarin segini doang enggak mau? Jahat, ih."

"Saya tadi khilaf." Alan membalas tanpa beban. Laki-laki itu kemudian berdiri, bersiap pergi.

A-apanya yang khilaf!

Stella kontan saja panik. Juga emosi. Pasalnya, dia benar-benar tak membawa uang banyak. Sementara es krim yang dia pesan saja sudah seharga sekitar di atas seratus ribu.

"Mas Alan, tolonglah. Bayarin dulu, please." Stella mengatupkan telapak tangannya di dada. "Nanti aku ganti duitnya, deh."

"Kal--"

"Oke."

Stella melotot begitu melihat Alan langsung merogoh saku saat dia bilang akan mengganti tadi.

Kini, dia tahu keburukan Alan selain selalu bermimik datar, pelit!


* * *


"Makasih!" ketus Stella, masih kesal pasal kejadian tadi.

Stella sudah ada di ambang pintu, sedangkan sang pengantar ada di depannya.

Alan mengangguk, lantas menengadahkan tangannya. "Gantinya?"

Saat itu juga, Stella beristigfar sebanyak mungkin. Gadis itu memang sudah melupakan kesediha gara-gara papa dan mama tirinya. Namun, kelakuan Alan yang satu ini seperti hantu yang terus membayangi.

Setelah mengatur napas, Stella baru membalas, "Iya, Mas Alan, iya. Sabar, dong. Lagian ini udah hampir magrib. Insyaallah, besok, ya? Kalau misalnya Mas Alan enggak percaya, Mas Alan, kan, udah tahu rumah saya di sini. Tinggal datengin. Tapi jangan sampe bawa preman, ya?" 

Alan mengerjap, lalu, "Oke." Dia berbalik, meninggalkan Stella yang harus menahan teriakan kekesalannya sekuat mungkin.

Selepas kepergian si lelaki irit bicara dan irit ekspresi, Stella mengelus dada seraya menggeleng-geleng. Gadis itu berpikir, 'Kok, ada, ya, manusia modelan begitu?'

Yah, meski selalu dibuat darah tinggi, dia tetap berterima kasih atas bantuan Alan. Kalau tidak ada laki-laki itu, mungkin saja dia sudah terluntang-lantung di depan kafe tadi.

Merasa tidak ada yang perlu dilakukan lagi, Stella berniat masuk. Namun, getaran dari dalam tas membuatnya mengurungkan langkah.

[La, Mami sama Elli ke sana habis Isya, ya. Katanya kamu ketemuan sama Papa kamu hari ini?]

Membaca pesan tersebut, air mata Stella mendadak ingin kembali merebak. Ingatan menyakitkan itu datang lagi. Mengapa orang tuanya harus berpisah dan membuat dia di tengah-tengah seperti ini?

[Ya, Mi. Dateng aja.]

Send.

Stella memasukkan ponselnya lagi, lantas memasuki ruangan tak terlalu besar yang selama beberapa tahun ini menjadi tempat pelariannya.


* * *


Seperti yang sudah dikatakan ibunya di pesan singkat, kini tiga orang itu telah ada di ruang depan. Beberapa makanan hasil membeli seperti tahu bulat, samyang (makanan Korea), serta minuman dingin tersedia untuk menemani mereka.

"Ya Allah, Mi. Ini bawa makanan banyak banget. Mana instan semua," protes Stella.

Sang mami mencibir, "Hilih, gayamu protes, Mbak. Aslinya seneng banget."

Lantas, Elli menyambar, "Iya, nih, Mbak Ella. Sekali-kali terima aja enggak usah pake protes segala."

Pada akhirnya, Stella kalah. Bisa apa dia bila dihadapkan dengan dua manusia ceriwis ini?

Obrolan kembali dilanjutkan tanpa suasana tegang. Padahal sebelumnya, mereka sempat membicarakan hal yang lumayan sensitif. Ya, tentang pertemuan Stella dengan sang papa.

"Mi, Mbak, aku tidur duluan, ya. Acara TV-nya udah selesai. Mami sama Mbak Ella jangan begadang, ya!"

Sambil menguap, Elli beranjak dari ruang depan, berjalan lunglai menuju tempat di balik sekat.

Selepas kepergian adiknya, Stella memandang sang mami dengan penuh arti. Ada kesedihan yang tersorot di sana.

Tanpa bicara apa pun, keduanya pun berpelukan. Mereka seolah-olah telah mengerti apa yang hendak diungkapkan meski hanya lewat tatapan.

"Maafin Mami, ya, Mbak. Mami belum bisa kasih orang tua utuh buat kamu dan Elli," lirih wanita paruh baya itu.

Mendengar hal tersebut, Stella cepat-cepat menggeleng. Dia mengeratkan dekapan dan berusaha keras agar tak mengeluarkan isakan.

"No, Mi. No. Jangan minta maaf atas kesalahan yang bukan Mami perbuat. Dengan adanya Mami sama Elli aja udah cukup buat aku. Makasih, ya, Mi."

Stella tahu bagaimana sang mami yang ingin sekali memberikan hal terbaik bagi dirinya dan Elli. Padahal, begini saja sudah sangat membahagiakan.

Kecuali satu fakta, adanya orang itu. Stella benci. Sangat benci.

Tanpa diketahui dua orang itu, Elli berusaha menahan tangisannya di balik sekat. Gadis yang selalu ceria itu nyatanya sama-sama rapuh.

Dia rindu, rindu akan keluarganya yang dahulu utuh.

-Bersambung-

ELAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang