04. Perumahan Cemara

3.8K 455 35
                                    

Sepasang mata lebar Dena terpatri pada kertas di hadapannya sejak setengah jam yang lalu. Alamat rumah serta nomor telepon yang dulu sempat sangat ingin ia dapati kini ada di depan matanya. Namun, tidak ada lagi perasaan menggebu layaknya orang senang. Kalau Dena mendapatkan dua hal itu saat ia masih berusia belasan tahun, mungkin ia sudah berlari ke alamat itu dengan perasaan bahagia luar biasa.

Segalanya telah berubah. Dena sudah nyaman dengan kehidupannya bersama Cintya tanpa seorang laki-laki yang disebut kepala keluarga. Cukuplah Cintya kepala keluarga di hidup Dena, tidak perlu yang lain. Dena sudah tidak penasaran lagi soal seperti apa sosok ayahnya.

Dulu ia membayangkan sepasang mata cokelat dan lebar, karena matanya seperti itu sedangkan Cintya tidak. Namun, bayangan itu tidak kunjung menjadi nyata. Mau seberapa banyak pun Dena menuntut mamanya agar memberitahu laki-laki penyumbang hidupnya, Dena tidak pernah mendapat jawaban. Akan tetapi, kenapa sekarang?

Tidak mau berlarut-larut dalam kesenduan, Dena membawa kertas itu bersamaan dengan langkahnya menuju meja rias. Ia meletakkan kertas pemberian mamanya itu ke dalam laci.

Melirik jam, pukul sepuluh malam. Mata Dena belum mengantuk sama sekali. Ia butuh hiburan sebelum tidur, agar besok pagi tidak bangun dalam suasana hati buruk.

Menyambar ponselnya di atas meja, Dena langsung mencari kontak Angkasa. Sembari menunggu panggilannya dijawab, Dena meraih cardigan di belakang pintu lalu berlari kecil keluar rumah.

"Mas, di mana?" tanya Dena ketika suara Angkasa terdengar. "Ke club yuk, Mas!" Langsung saja Dena menjauhkn gawai itu dari telinganya karena teriakan Angkasa yang marah karena ia menyebut 'club'.

Dena terkekeh sambil memandangi layar ponselnya yang gelap. Angkasa memutuskan panggilan itu sepihak. Namun, Dena tetap keluar rumah. Ia tahu Angkasa tidak akan membiarkannya pergi. Terbukti, saat Dena keluar gerbang, ia lihat Angkasa juga sudah di depan gerbang rumahnya dengan kedua tangan di pinggang.

"Mas, mau ke club?" canda Dena sambil melangkah mendekat. Senyumnya semakin lebar melihat ekspresi kecut Angkasa.

"Cepat bilang, mau apa?" tanya Angkasa. Tahu betul kalau Dena pasti punya permintaan.

"Nasi goreng aja, sih. Lapar."

"Dena, kamu tau yang namanya Gofood? Bisa di-download di—"

"Iya, Mas Caca, tauuu. Tapi Dena maunya makan nasi goreng sama Mas aja di warung Pak Yono," potong Dena sebelum Angkasa menjelaskan cara men-download hingga tutorial memesan makanan di aplikasi itu. Padahal kan Dena sudah tahu.

Walau dari ekspresinya jelas-jelas Angkasa kesal akan permintaan itu, tetapi Dena tahu Angkasa tidak akan menolaknya. Lihat saja, bahkan Dena baru menelepon bilang ingin ke club, Angkasa sudah keluar rumah dengan dompet dan kunci mobil di tangan.

Kadang Dena membayangkan, kalau Angkasa adalah kakak kandungnya, apakah hidupnya akan lebih baik? Mendapat kasih sayang dari saudara dan tidak kesepian. Namun, faktanya Angkasa hanyalah tetangganya yang tidak bisa Dena harapkan selamanya.

"Jalan kaki aja."

Benar, kan? Pria itu tidak menolak. Kini Angkasa memasukkan dompet dan kunci mobilnya ke saku celana jeans selututnya.

"Cardigannya itu dipakai, bukan digantung ditangan begitu."

"Oh iya," ujar Dena sambil nyengir lebar. "Lupa." Langsung saja ia pakai cardigan rajut berwarna cokelat itu.

Keduanya berjalan kaki di pinggir jalan kompleks yang sepi. Hanya sesekali kendaraan lewat di samping mereka. Suasana hening, Dena sendiri sedang enggan bicara. Tanpa ia sadari, Angkasa memandanginya sejak tadi.

Say Yes, Mas!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang