08. Insiden

4.3K 480 74
                                    

Senyum Dena merekah memandangi punggung lebar Angkasa. Pria itu tengah membayar untuk perawatan rambutnya barusan. Setelah selesai, Angkasa berbalik dan menghampirinya dengan paper bag cokelat berisi macam-macam hair care.

Angkasa dan Dena berjalan beriringan keluar salon. Langkah lebar Angkasa membuat Dena harus berjalan cepat untuk mensejajarkan langkah mereka. Rambut panjangnya yang baru saja di-creambath bergerak kanan kiri. Menyadari itu, Angkasa mendengkus sekaligus terkekeh kecil.

"Nggak usah digituin rambutnya mentang-mentang baru aja perawatan," sindirnya.

"Diapain?" tanya Dena bingung, pasalnya ia tidak merasa melakukan apa pun selain berjalan di samping Angkasa. Dena menyentuh rambutnya.

"Digoyang-goyangin."

"Nggak kok," elak Dena, "mungkin karena Dena baru perawatan, rambut Dena wangi dan bersinar jadinya Mas mudah notice. Padahal Dena nggak ngapa-ngapain." Dena mengibas rambutnya dengan gaya berlebihan lalu melenggang meninggalkan Angkasa. Langkah pendeknya itu difungsikan seperti model yang tengah catwalk.

Melihatnya Angkasa hanya geleng kepala. Ia pun menyusul langkah perempuan itu. Tidak perlu berlari untuk menggapai pundak Dena.

"Pelan-pelan aja jalannya," ucap Angkasa. Ia menarik tangan Dena lalu meletakkan paper bag di sana. "Bawa sendiri."

"Ya Mas yang jalannya pelan-pelan. Kaki Dena pendek," protes Dena sebal.

Angkasa yang sudah melangkah pun refleks mundur selangkah, lalu berjalan pelan-pelan.

"Nah, gini kan enak," kata Dena sambil tertawa.

Tidak menjawab, Angkasa mengambil ponselnya yang bergetar di saku jaket. Ia langsung menjawab panggilan itu.

"Bentar." Menahan tangan Dena, Angkasa memberi kode dengan menunjuk pilar besar. Dengan ponsel di telinga, ia pergi ke sana tanpa Dena sempat bertanya.

Bibir Dena mengerucut. Pandangannya mengedar kanan kiri mencari tempat menunggu. Tidak mungkin ia berdiri di tengah mal seperti anak kecil kehilangan orang tuanya.

Pandangan Dena terpatri pada Baskin Robbins. Ia melirik Angkasa yang masih teleponan dan memunggunginya, lalu berjalan ke arah tenant ice cream itu. Dena memesan rasa choco cake ice cream di cup setelah itu duduk di salah satu kursi. Sambil menyuapkan makanan meleleh itu, pandangan Dena tidak lepas dari Angkasa.

Selesai menelepon, Angkasa kembali ke tempat semula ia meninggalkan Dena. Pria itu celingukan karena tidak menemukan orang yang ia cari. Di tempatnya, Dena berdecak. Langsung saja ia mengirim chat pada Angkasa dan memberitahukan keberadaannya. Setelah membaca chat Dena, ia langsung menghampiri perempuan yang tengah menikmati es itu.

"Es krimnya bawa aja. Kita pulang," ujar Angkasa. Ia berdiri di samping Dena, enggan ikut duduk.

"Bentar, Mas."

"Sekarang, Na."

"Mas sibuk?" Angkasa berdeham sambil memainkan ponselnya. "Siapa tadi yang telepon?" tanya Dena.

"Ziya. Dia di sini juga," jawab Angkasa. "Aku mau nungguin dia di depan. Ayo."

Sendok es krim langsung Dena letakkan dalam cup. Ia mendengkus sambil beranjak. Dibawanya cup itu, tidak peduli kalau tampak seperti anak kecil.

Tangan kanan Dena membawa paper bag dan sendok, sedangkan tangan kirinya memegang cup. Sambil melangkah ia terus menyuap es itu ke mulutnya. Langkahnya yang santai membuatnya tertinggal cukup jauh di belakang Angkasa. Karena asyik menikmati makanan manisnya itu, Dena tidak sadar bahwa di depan sana Angkasa sudah bertemu Ziya.

Say Yes, Mas!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang