11. Guguk

4.2K 605 124
                                    

Dena Gerhana Charallia, nama tengahnya adalah Gerhana karena lahir saat Gerhana matahari. Namun, Dena justru enggan dipanggil Gerhana karena itu hanya akan mengingatkan dirinya—terutama sang mama—akan hari di mana ia lahir. Dena tidak mau mamanya mengingat hari itu, yang Dena yakini hanya akan menyirami luka mamanya dengan air garam. Sudah cukup mamanya bertahan hingga saat ini bersama Dena, hanya berdua tanpa sosok papa. Jangan kesedihan itu dibawa-bawa lagi setiap hari saat namanya disebut.

Di muka bumi ini, Dena hanya punya sang mama sebagai keluarga serta tumpuan hidupnya. Karena itu Dena selalu berusaha meminimalisir perselisihan dengan mamanya. Seperti sekarang misalnya, saat mamanya menanyakan soal papa Dena.

Sebenarnya Dena enggan membahas papanya. Selain karena sudah ditinggalkan, ia juga jadi teringat akan hubungan Angkasa dan Ziya. Menjadi double kill ketika Dena mengingat Angkasa yang hendak meninggalkannya.

"Kenapa malah cemberut?" tanya Cintya, "ada masalah sama papamu?"

"Nggak, Ma," jawab Dena malas-malasan. "Boleh nggak sih, Ma, kita jangan bahas papa? Kan biasanya juga begitu dari dulu sampai beberapa bulan yang lalu."

Cintya meletakkan roti yang sudah dipanggang ke atas piring lalu menggesernya ke hadapan Dena. "Kasih selai sendiri," perintahnya.

Menurut, Dena langsung mengambil selai strawberry di kulkas.

"Sekarang kamu sudah besar. Mama yakin kamu bisa mengatur emosi kamu lebih baik daripada dulu. Mama pikir, mama juga egois kalau ngebiarin kamu seumur hidup nggak tau sosok papamu, Den. Mama tau dalam hati kamu, kamu pasti mau tau sosok papamu."

Setelah kembali duduk, Dena lebih dulu mengolesi selai ke roti milik mamanya. Ia menghela napas berat. "Aku sudah tau kok. Bahkan Dena sudah tau rumah papa. Tau istrinya dan tau anak-anaknya. Bahkan Dena tau pacar anak pertamanya," jelas Dena dengan menekan kalimat terakhirnya. Ia kesal mengingat fakta itu.

"Terus kenapa papamu masih hubungi mama dan suruh bujuk kamu buat mau ketemu dia?"

"Dena nggak mau ketemu ... belum siap."

"Mama nggak akan maksa. Tapi saran mama, coba Dena pikirkan lagi."

"Iya, Ma." Setelah mengoles selai di roti miliknya. Dena memulai gigitan pertama dengan perasaan kesal bukan main.

———

Hati Dena merasa gundah gulana seharian ini. Ia jadi bertanya-tanya akan alasan mengapa ia jadi begini karena Angkasa bilang akan menikah. Padahal kalau pun menikah, itu bukan berarti ia tidak bisa bertemu Angkasa lagi, kan? Kalau menikah dengan Ziya, malah akan membuat Angkasa menjadi kakak iparnya. Lebih dekat daripada hubungan mereka sekarang yang hanya sekadar tetangga. Akan tetapi, kenapa perasan Dena masih belum membaik juga?

Atau karena ia tidak mau Angkasa sepenuhnya jadi milik orang lain? Namun, Dena mau kok Angkasa bahagia. Dena tidak mau egois.

"Terus kenapaaa?!" sebal Dena karena tidak menemukan jawaban atas kegalauannya ini.

"Mbak Dena kenapa?" tanya Arin—adik Angkasa—bingung yang sedari tadi fokus pada tabletnya. "Mikirin apa?"

Memasang wajah sedih, Dena menatap Arin sambil merengek. "Gue pusing, Rin," keluhnya.

"Iya, pusing kenapa? Karena nganggur, ya?"

"Bukan."

"Terus?" Gadis berusia lima belas tahun itu meletakkan tabletnya di atas meja rotan bundar yang berada di antara dirinya dan Dena. Melupakan sejenak soal memilih Sekolah Menengah Atas karena sebentar lagi kelulusan.

Dena berdeham. Menimbang-nimbang apakah harus curhat pada anak ingusan seperti Arin. Ia juga tidak tahu apakah Arin bisa menjaga rahasia atau tidak.

"Mbak," panggil Arin karena Dena malah menatapnya dalam diam.

Say Yes, Mas!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang