07. Egois

4.1K 480 32
                                    

Hari ini Dena sudah menyerahkan surat pengunduran dirinya. Ia hanya perlu bekerja sampai akhir bulan sekaligus menunggu karyawan baru yang akan menggantikannya nanti. Sebenarnya Dena sendiri tidak punya rencana setelah ini harus apa atau bekerja di mana, yang ia pikirkan hanyalah lepas dari lingkungan kerjanya sekarang.

"Den, sibuk nggak?"

Dipanggil, Dena menoleh. Kursinya berputar menghadap Rieka yang duduk di seberang belakangnya. "Nggak kok. Kerjaan gue udah selesai, mau langsung makan siang entar jam dua belas," jawabnya.

"Kalau gitu bisa teleponin customer gue dong, ya." Rieka beranjak, ia membawa beberapa aplikasi kredit yang berisi data diri serta data pembiayaan customer yang ia handle. "Ini, sisa sepuluh lagi kok. Gue kebelet banget," ujarnya sambil meletakkan aplikasi kredit tersebut beserta handphone kantor di meja Dena. Setelah itu Rieka langsung mencicing keluar ruangan sambil membawa tasnya.

Dena mengembuskan napas berat. Ia mengecek jam tangan, lima belas menit lagi jam dua belas siang. Bisa-bisa ia telat padahal sudah ada janji dengan Angkasa, mereka akan makan siang bersama.

Ingin cepat-cepat menyelesaikannya, Dena pun langsung menghubungi satu per satu customer Rieka. Tujuannya adalah untuk mengkonfirmasi kebenaran data yang perusahaan miliki dengan data sebenarnya milik customer.

"Pasti deh langsung pergi istirahat. Mau banget sih, Den, disuruh-suruh Rieka," ujar Nadin yang duduk di samping Dena. Sedangkan Dena yang tengah mengetikkan nomor di ponsel hanya diam, fokus. "Kerjaannya tiap hari nggak jelas banget. Istirahat cepat, baliknya lama. Giliran input data aplikasi kredit yang mau dikirim ke rumah customer aja suka nyuruh-nyuruh. Simple sih emang, gitu doang, tapi kan kesel juga lihatnya kalau gitu terus." Tahu bahwa Dena tengah bicara dengan customer di telepon, Nadin memelankan suaranya.

"Banyak, Den?" tanya Dayat, ikut menimpali karena mendengar omelan Nadin.

"Nggak kok. Tiga lagi nih."

"Oh, misalnya banyak lo simpan aja lagi di meja Rieka sisanya kalau mau istrihat."

"Iya, Mas," jawab Dena sebelum kembali menguhubungi customer selanjutnya.

Dapat Dena dengar Nadin dan Lea tengah merumpi tentang Rieka secara terang-terangan. Bahkan mereka tidak peduli jika karyawan lain di divisi ini mendengarnya.

Tidak mau ikut campur––seperti biasa––Dena mengembalikan seluruh aplikasi beserta handphone ke meja Rieka setelah selesai.

"Tunggu aja sih, bentar lagi juga bakal naik jabatan karena jadi simpanan bos."

"Hust!" Lea menyiku Nadin. "Jangan gitu, ah."

"Emang gitu kok. Kemarin gue lihat dia masuk mobil pak bos. Dena juga lihat kok. Ya kan, Den?" kukuh Nadin sambil menoleh pada Dena.

Masih enggan ikut campur, Dena hanya terkekeh kecil menanggapinya. Lantas ia mengambil tas, hendak segera keluar untuk istirahat. "Gue keluar duluan, ya. Udah ada janji," ucap Dena pada teman-teman satu divisinya. Langsung saja ia berjalan cepat untuk pergi, tak mau Angkasa menunggu lama.

"Sama bos BFG bukan, Den?" tanya Lea. Bos BFG yang ia maksud adalah Angkasa. Bukan hal aneh lagi mengetahui Dena pergi dengan Angkasa, mereka sudah tahu kedekatan dua orang itu.

"Iya, Mbak."

"Salamin, ya ...," kata Lea sambil terkekeh.

Sudah biasa dengan sikap teman-temannya, Dena hanya mengangguk. Ia kembali berjalan, pergi tanpa bicara lagi.

Itulah alasan Dena ingin resign. Selain karena seniornya suka berlaku seenaknya, lingkungan kerjanya juga toxic. Setiap ada satu orang yang keluar ruangan, pasti akan menjadi buah bibir.

Say Yes, Mas!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang