06. Dibuang

4K 528 70
                                    

Menjadi putri dari seorang artis kenamaan bukanlah sesuatu yang bisa Dena pamerkan. Mungkin bagi sebagian orang menjadi artis adalah pekerjaan yang mudah, tetapi sebenarnya tidak. Dena melihat sendiri bagaimana gosip miring sering menimpa mamanya. Tidak hanya itu, Dena sendiri juga pernah terkena dampaknya. Hal itu yang membuat Dena menarik diri dari lingkungan, tidak mau terlibat dengan terlalu banyak orang.

Sejak kecil, Dena selalu memfilter pertemanannya. Mulai masuk sekolah menengah, tidak sekali pun Dena pernah membawa teman ke rumah demi privasi sang mama. Sebab ia tidak tahu mana teman yang tulus dan mana yang tidak. Walaupun begitu, bukan berarti Dena seperti anak dikucilkan. Tidak, ia masih punya teman, sekadar teman mengobrol di kelas, makan di kantin, saling sapa saat bertemu di luar atau hal biasa lainnya.

Masuk dunia perkuliahan, Dena mengenal Rion. Satu angkatan dan satu fakultas membuat mereka sering bertemu. Rion dengan sifat sok kenalnya itu sangat berbanding terbalik dengan Dena, yang saat itu ia ajak kenalan. Tidak pernah terlalu akrab dengan cowok-kecuali tetangganya-membuat Dena awalnya sangat risi. Namun, lama kelamaan pandangan Dena kepada Rion berubah, ternyata pria itu cukup baik. Tidak jarang ia membantu Dena saat kesulitan. Ia juga sering mengantar Dena pulang kuliah ketika Angkasa tidak menjemput. Pada akhirnya Dena menerima Rion sebagai seorang teman. Namun, Rion tidak pernah benar-benar tahu tentang kehidupan Dena. Soal ia yang lahir dan besar tanpa seorang ayah misalnya.

"Melamun aja." Rion menyenggol bahu Dena yang sejak tadi hanya diam. "Dimakan itu cake-nya, lo kan suka," ujarnya sambil menunjuk piring kecil berisi cake di hadapan Dena.

Tanpa menjawab, Dena tersenyum kecil lantas menyendok makanan manis itu.

"Risi ya banyak orang?" bisik Rion yang duduk di samping Dena.

"Oh ... nggak," elak Dena. Ia menggeleng. Dena tidak berbohong. Ia memang risi, tetapi bukan karena banyak orang. Melainkan karena seorang laki-laki di depannya yang tadi Rion kenalkan bernama Zav.

Buru-buru Dena mengalihkan pandangan saat Zav juga menatapnya. Perempuan itu tersenyum canggung. Melihat sepasang mata Zav membuatnya merasa seperti bercermin. Bagaimana bisa manik mata cokelat gelap dan lebar miliknya sama persis dengan Zav? Begitu pula bulu mata lentik dan panjang yang menaunginya.

"Eh, Chika mana, sih?" tanya Dena, menyebut adik Rion yang tadi ulang tahun dan kini tidak kelihatan. Padahal baru saja selesai acara perayaan ulang tahun Chika. Beberapa keluarga Rion pun belum pulang.

"Tidur, kecapekan. Kenapa, Den?"

"Mau tanya, Chika mau kado apa? Lo dadakan banget sih tadi jemputin gue, jadinya nggak sempat beli kado buat Chika."

"Ah, nggak usah." Rion mengibaskan tangan. "Gue jemput lo ke sini bukan karena ulang tahunnya Chika dan ngarep kado, tapi karena ada cake, lo kan suka," jelas Rion. Ia menujuk piring Dena yang makanannya baru kurang sedikit. "Diabisin."

Yang sejak tadi diam, kini Zav bersuara. Ia berdecak lalu melempar kotak rokok ke arah Rion. Tampak geli sendiri melihat perhatian Rion ke Dena. "Tatapan lo biasa aja dong, Yon. Jangan seolah-olah gue nggak ada di sini. Bangke lo!" Zav menekan ujung rokoknya ke asbak. Lantas pria seumuran Rion dan Dena itu berdiri.

"Mau ke mana, Zav?" tanya Rion setelah melihat Zav beranjak.

"Mau pulang," jawabnya sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, "udah jam empat ternyata, mau jemputin kakak gue dulu."

"Emangnya Kak Ziya ke mana?"

Uhuk!

Dena menutup mulutnya dengan tangan karena tersedak cake. Iya terus batuk-batuk, sulit mengontrol diri.

Say Yes, Mas!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang