Rindu

2.2K 109 28
                                    

Seorang pria berpakaian formal tengah mengobrol dengan rekan-rekannya di aula gedung, mereka sedang mengadakan party keberhasilan PJM's COMPANY berada diurutan nomor satu saham terbesar di Korea Selatan. Laki-laki bermarga Park itu sangat menikmati pestanya, ia sangat bangga dengan dirinya yang sudah berhasil mencapai keinginannya.

"Selamat ya, pak." Ucapan demi ucapan terimakasih terus dia terima dengan senang hati.

Dua jam berpesta membuatnya lelah dan ia berjalan menuju balkon gedung. Park Jimin menikmati pemandangan malam hari dari atas gedung yang lumayan tinggi, merasakan angin malam yang sejuk menerpa wajah tampannya.

Jimin mengeluarkan sebungkus rokok lalu membakar sedikit ujungnya, ia menghisap rokok itu dalam-dalam lalu mengeluarkannya dari mulut dan hidungnya.

Sudah dua tahun ia sendirian di kota Seoul, tanpa adanya teman dan kekasih. Jimin juga sudah menjalankan berbagai perawatan dari berbagai psikiater, dia merasa sudah lebih baik dari sebelumnya dan ah— dia merindukan gadis itu.

"Sajangnim...." Seorang wanita muda menghampirinya. Jimin menoleh sekilas lalu kembali menatap pemandangan langit malam.

"Ada apa?" tanya Jimin tanpa menatap lawan bicaranya.

"Selamat ya, saya ikut senang atas keberhasilan bapak." Wanita itu mengulurkan tangan kanannya. Mau tidak mau Jimin harus membalasnya biar terkesan bisa menghargai orang lain.

"Pak... Bapak gak mau masuk? Di sini dingin loh..." ucap wanita itu sambil menyentuh pundak Jimin dan memainkan jari indahnya di rahang tegasnya Jimin.

"Bisa pergi dari sini? Saya ingin sendirian, Rose." Jimin menjauhkan tubuhnya agar cewek itu tidak menyentuhnya lagi namun siapa disangka cewek yang ada dihadapannya benar-benar berani menyentuhnya di tempat umum. Bukan sekedar menyentuh tangan atau pundak, yang disentuh Rose adalah adik kecilnya Jimin alias juniornya Jimin.

"Ayolah, aku tau kamu udah lama gak bercinta. Mau bercinta denganku?" ajak Rose. Jimin melotot tak percaya melihat cewek yang ada dihadapannya ini mengajaknya bercinta semudah itu seperti sedang ingin mengajaknya beli coklat.

"Pergi dari sini sendiri atau gue panggil satpam?" ancam Jimin tak membuat Rose takut. Cewek itu terus memandangi wajah tampannya Jimin dan menggoda Jimin dengan berbagai cara.

"Ayolah, gausah malu-malu aku tau kok kamu sedang nahan nafsu kamu, kan?" goda Rose sembari mengelus dada bidang Jimin dan tengkuk Jimin.

Bugh!

Jimin mendorong tubuh Rose dengan tatapan marah, ia mencengkram kuat bahu Rose.

"Jangan sentuh gue!"

Setelah mengatakan itu Jimin pergi dari balkon. Rose tertawa pelan melihat Jimin yang menahan nafsunya setengah mati. Ia tahu jelas Jimin seperti apa dan mudah tergoda, namun belakangan ini agak sulit.

"Apa mungkin efek dia ke psikiater terus, ya?" gumam Rose sambil merapihkan dress-nya yang sedikit berantakan dan menata rambutnya.


Brak!

Jimin membanting pintu hingga terbuka lebar, ia mengepalkan tangannya marah mendapatkan perlakuan Rose yang tak senonoh dan memancing hasratnya. Serasa sia-sia ia berobat kesana-kemari tetapi Jimin belum bisa sembuh dan masih merasakan hasrat aneh dari tubuhnya.

"Enggak Jimin, lo harus kuat. Ingat pesan Jia, lo harus berubah dan nemuin dia secepatnya," monolognya.

Jimin melepas jas hitamnya lalu melonggarkan dasinya yang mencekik lehernya. Jimin menghempaskan tubuhnya di sofa untuk menghilangkan penat sehabis berpesta. Mengingat tentang pesta, Jimin jadi teringat pertama kali ia melakukan hal brengsek dan merenggut mahkota berharganya Jiani. Bagaimana kabar Jiani sekarang? Apa dia baik-baik saja?

Drrtt! Drrtt!

Jimin merogoh saku celananya mengambil ponselnya yang bergetar panjang, ia melihat layarnya yang nyala dan menampilkan sebuah nomor asing di sana.

"Halo?" Jimin mengangkat telepon itu. Namun, tak ada balasan dari seberang sana.

Jimin kembali mengeluarkan suara, hasilnya nihil hanya ada suara bising motor dan mobil yang sudah bisa Jimin pastikan sang penelepon sedang berada di pinggir jalan.

"Hal—"

Tut tut tut

Telepon dimatikan sepihak, Jimin mengernyitkan keningnya menatap ponselnya sendiri. Dia segera menghubungi sekretaris laki-lakinya.

"Ada apa, pak?"

"Lacak nomor yang saya berikan secepatnya."

"Baik pak."

Entah mengapa ia berharap nomor itu milik Jiani, Jimin sangat ingin menemui gadis itu dan menunjukkan bahwa dirinya sudah sukses dan tidak segila dulu.

"Gue kangen sama lo, Jia. Lo dimana? Lo benar-benar gak mau ketemu sama gue lagi?" tanya Jimin pada foto Jiani. Akui sekarang bahwa Jimin gila berbicara sendiri, ah lebih tepatnya berbicara dengan ponselnya yang jelas-jelas benda mati.

Jimin mematikan layar ponselnya dan melempar benda pipih itu asal, ia beranjak dari tempatnya dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Jimin sudah menyuruh sekretaris wanita untuk mengawasi dan memimpin pesta hingga pesta itu selesai. Katakanlah, Jimin atasan yang tidak mempunyai sopan santun pergi begitu saja. Yap, memang itulah Jimin. Apalagi ketenangannya diganggu oleh cewek yang berani menggodanya tadi.

"Rose? Kenapa dia bisa tau kalo gue suka bercinta dan udah lama gak bercinta?" monolognya tak sengaja mengingat gadis berambut blonde, bertubuh tinggi ramping dan sangat cantik.

"Perasaan gue baru kenal dia beberapa hari yang lalu," sambungnya.

Jimin menanggal semua pakaiannya dan berendam di bathtub. Jimin memejamkan matanya merasakan air hangat menyentuh kulitnya.

Setelah 15 menit berendam, Jimin berdiri dibawah shower dan membilas tubuhnya. Tak lama Jimin selesai dan keluar dari kamar mandi hanya menggunakan jubah mandi.

Tok! Tok!

"Masuk!"

Seorang pria seumuran dengan Jimin masuk membawa selembar kertas dan memberikannya ke Jimin.

"Ini hasil dari lacakan nomor yang lo kirim ke gue," ucapnya. Jimin segera mengambil kertas itu dan membaca isinya tanpa ada yang terlewatkan sedikitpun.

Terlihat Jimin menghela nafasnya panjang, Donghwa menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

"Lo masih berharap sama dia?" tanya Donghwa.

Jimin mengangguk pelan lalu membuang kertas itu di tempat sampahnya. "Apapun yang terjadi gue tetap berharap dia balik ke gue, Hwa," ucapnya sembari melihat bingkai foto berukuran besar yang sudah dipastikan itu adalah fotonya Jiani.

"Emangnya dia masih mau balik ke cowok brengsek kayak lo?" cetus Donghwa membuat Jimin tertohok dengan kata-katanya.

Jimin mendengus kesal lalu ia melangkahkan kakinya ke arah balkon kamarnya. Semenjak Jimin membangun perusahaannya sendiri, dia tinggal di Penthouse mewah dan memiliki berbagai macam fasilitas yang memadai hidupnya. Namun, Jimin tak merasakan puas atas yang ia dapatkan. Hanya satu yang Jimin harapkan dari dua tahun yang lalu hingga sekarang, siapa lagi kalau bukan Lee Jiani? Gadis itu mampu mengetuk hatinya namun belum bisa membantu merubah dirinya menjadi yang lebih baik karena yang sering bersamanya dan sudah lama bersamanya adalah Seulgi dan keluarganya yang sangat memuakkan baginya.




To be continued!

Still a Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang