Menolak Syahadat

54 9 8
                                    

"قل يا عبادي الذين أشرفوا على أنفسهم لا تقنطوا من رحمة الله، إن الله يغفر الذنوب جميعا، إنه هو الغفور الرحيم."

"Katakanlah : wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas atas diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya, sesungguhnya dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

— QS, az Zumar : 39/53 —

🕛🕛🕛

Aku mendengar, tapi kedua mataku tak dapat menangkap rupa sesuatu yang kudengar. Sejauh mata memandang hanya kegelapan yang mengelilingiku. Ingin aku berteriak dan bertanya, apa gerangan yang terjadi? Mengapa mereka menangis? Mengapa ada kegaduhan? Mengapa hanya aku yang tak tahu apa-apa? Namun, entah mengapa tiba-tiba pertanyaan itu seolah tercekat, tak kuasa terjamah oleh bibirku yang sudah geram ingin mengeluarkan segenap pertanyaan.

Tuhan, mengapa tiba-tiba aku buta? Mengapa aku tiba-tiba bisu? Mengapa di telingaku ada syahadat yang membimbingku? Apakah ini sudah waktunya? Jika benar, sungguh aku takut menerima kematian. Aku tak ingin mati. Masih terlalu muda bagiku untuk mati. Masih banyak impian-impian yang belum terpenuhi. Dan, aku tak ingin meninggalkan orang-orang yang kusayangi.

"Nak, ingat Allah, ingat Rasulullah. Asyhadu an laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammad rasuulullaah." Itu suara Umi, terdengar ada getaran di sela-sela suaranya.

Aku merasakan dadaku berulang kali terangkat kuat, dan napas terasa sulit. Selang oksigen yang masuk di hidung tak memberi efek sedikit pun.

Begitu kuat Umi menggenggam tanganku, dan tak hentinya menuntun dua kalimat syahadat di telingaku. Kalimat yang sangat menakutkan untuk kuucapkan. Aku takut, bila sampai di penghujung kalimat, maka sampailah aku di penghujung usia.

Sehingga, tak ada satu huruf pun yang terucap dari segenap huruf dalam syahadat di lisanku.

🕛🕛🕛

Menjadi penulis dan sastrawan adalah impian terbesarku. Karena begitu cintanya dengan menulis, entah sudah berapa buku tulis yang kuhabiskan untuk menulis, dan berapa buah pena yang habis untuk menuangkan ide-ide ke dalamnya.

Awalnya, abi dan umi sangat mendukung impianku. Sebab, bagi kedua orang tuaku, selama impian itu baik maka boleh dikejar. Abi hanya melarangku untuk bekerja di bank, itu saja.

Tiada waktu tanpa menulis. Pagi, siang, dan malam. Aku juga tak habis pikir, mengapa tangan ini tidak merasa lelah melakukannya? Ya, aku tulis tangan. Waktu itu aku belum memiliki laptop sebagai fasilitas. Jangankan laptop, ponsel saja aku tak punya.

Hari-hari berlalu, hingga sampai pada saat aku mengalami kegagalan dalam lomba menulis. Aku tak menyangka bila kegagalan itu akan berpengaruh besar terhadap impianku.

Semua berawal saat abi menanyakan kabar lomba tersebut.

"Gimana hasil lombanya?" tanya abi, sambil memotong kuku.

"Kalah," jawabku, singkat.

"Berhenti aja dulu nulisnya." Permintaan abi benar-benar membuatku terkejut bukan main.

Dunia menulis sudah bagaikan nyawa hidupku, bagaimana bisa aku harus berpisah dengan nyawaku sendiri?

Akan tetapi, aku tak pernah berani melawan. Hanya sibuk menggerutu dalam hati.

Who Why World (true story) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang