16. OLIVIA - WEDDING WITH MR. POSSESSIVE

38K 1.7K 10
                                    

"Keyakinanku adalah bersamamu."

JAKARTA, NOVEMBER 2014

"Menikahlah denganku."

Aku melepas pelukannya. Memundurkan jarakku beberapa centi dari dirinya. Sikapnya mulai defensif. Rautnya menunjukkan bahwa ia tidak suka aku mengambil jarak dari dirinya. Namun hal ini tetap aku lakukan. Aku tidak senang dengan sikapnya yang tiba-tiba dan mengajakku menikah seperti ini. Terlalu spontan dan aku yakini bukan dengan pemikiran yang matang. Bayangkan saja, dia yang baru saja kembali ke peredaran mataku tiba-tiba saja menarikku ke pojok ruangan pesta, menginterogasiku mengenai sepupuku dan kemudian mengajakku menikah. Gila!

Pria ini memang sudah positif gila dari pertama kali mengenalku. Entah apa yang terjadi, namun aku seperti jadi semacam virus untuk pria ini. Pria yang jelas-jelas menanamkan reaksiku di kanvas istimewanya, pria yang jelas-jelas rela menunggu pertanyaan cintaku selama bertahun-tahun dan pria yang jelas-jelas rela menahan kerinduannya untuk menjadi lebih baik di mataku. Pria yang istimewa dan akan selalu menandaiku sebagai miliknya. Si Mr. Possessive-ku.

"Aku pikir kegilaanmu akan musnah setelah dua tahun lebih menghilang. Namun, ternyata justru menjadi-jadi. Apa kakakmu tidak memberi contoh yang benar bagaimana caranya melamar seorang gadis?"

Pertanyaan sinis dari mulutku ini tak lantas membuatnya melepaskan pautan tangannya dari diriku. Dia masih menggenggamku kuat. Menahanku dan kami pun mulai saling bertatap diam dalam sebuah pengertian. Aku tahu inilah cara yang diguakannya selama bertahun-tahun untuk menjawab keinginanku padanya.

"Apa yang kamu inginkan, baby? Makan malam romantis, bunga dan cincin berlian? Aku rasa itu bukanlah dirimu, bila aku masih ingat. Bila pertanyaan itu ternyata bermaksud untuk menantangku agar bertemu langsung dengan kedua orang tuamu, maka akan aku lakukan segera!"

Aku mendengus. Sengaja memandangnya remeh. Selama ini dia paling enggan bertemu keluargaku. Aku tahu dia merasa tidak pantas dan terlalu brengsek menampakkan wajahnya sebagai calon menantu yang baik. Apakah pernyataan yang kini dilontarkannya itu bermaksud bahwa dia memang sudah berubah? Menjadi sesuatu yang dia anggap terbaik begitu? Lalu kenapa aku masih melihat Pandji yang sama?

"Aku sudah berubah kalau kamu mau tahu itu." Jawaban skeptis dari pertanyaan dalam isi kepalaku. Aku tahu dia bisa menebaknya dari caraku memandangnya.

"Memiliki perusahaan konstruksi terbaik di Canberra bukanlah daftar dari perubahanmu. Tanpa memiliki perusahaan itu, aku sudah tahu kemampuanmu di bidang bisnis. Jadi, apa yang kamu perjuangkan selama dua tahun ini dan meninggalkanku? Satu lagi, bahkan di salah satu suratmu dan apa yang baru saja kamu akui secara langsung tadi bahwa kamu menyuruhku mencari yang terbaik bukan? Lalu mengapa sekarang kamu seperti orang kesetanan ketika ada pria lain yang berdiri di sampingku? Gilanya lagi kamu mengajakku menikah? Kamu pikir pernikahan itu mainan? Aku justru kecewa... Pandji dua tahun lalu justru lebih baik."

Pandji makin menekankan posisi genggamannya. Dia menatapku tajam. Napasnya mulai tak tenang. Hal yang aku tahu ini adalah kondisi di mana dia sedang menahan emosinya. Bedanya kali ini dia lebih tenang. Tidak semenyeramkan dulu ketika emosinya sedang tinggi-tingginya. Nah, paling tidak aku berhasil menemukan hasil terbaik dari pelariannya.

"Tidak hanya semakin cantik, tetapi kamu semakin cerdas dan menantang. Aku benar-benar mencintaimu, baby! Aku akan memenuhi undanganmu untuk melamarmu secara benar," sergahnya sambil mendekatkan kepalanya padaku.

Pipinya yang ditumbuhi sedikit bulu halus langsung menyetuh kulitku, membuatku secara instan merinding. Belum lagi napasnya yang kini berderu indah di telingaku, membuat lututku mau tak mau lemas seketika. Bila Pandji tidak memegangiku mungkin sekarang aku sudah terkapar di lantai.

Pacar PosesifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang