4. OLIVIA - FLASHBACK: CINTA TANPA NAMA

34.2K 1.6K 11
                                    

"Dia adalah yang pertama, walau kenyataannya bukan satu-satunya dan terakhir."

JAKARTA, AGUSTUS 2006

"AKH... PANDJI KEREEEEEEEEEN!"

Aku menoleh pada kumpulan cewek yang kini sedang sibuk mengerubungi juga berteriak-teriak tidak jelas karena satu sosok yang kini sedang beraksi di tengah-tengah lapangan. Sosok yang telah menjadi pusat perhatian hampir semua cewek di sekolah ini. Pujian demi pujian mengalir tanpa henti pada cowok itu seakan hanya dialah objek yang terpatrikan dengan kata tampan dan sempurna yang terlalu mengagungkan. Sama sekali tidak ada bosannya. Berlebihan, meskipun aku sendiri mengakui bahwa dia memang tampan. Terlalu tampan bahkan sebagai seorang cowok keturunan Indonesia yang sama sekali tidak memiliki darah campuran.

Lagipula cewek mana yang akan berbohong mengatakan bahwa cowok itu jelek? Rasanya hampir tidak mungkin. Cewek tidak normal dan buta saja pasti juga bisa tahu dari sekali raba kalau struktur wajahnya memang diciptakan tidak asal-asalan. Namun, bisakah kita bersikap sewajarnya saja dalam mengakui ketampannya? Satu kali pujian tampan bukankah sudah cukup untuk menunjukkan bahwa orang itu memang benar-benar seperti yang dibicarakan? Terlalu membosankan rasanya mendengar beribu kata yang terlalu berlebihan diucapkan berulang kali dalam sehari.

"Tumben banget memperhatikan cowok lain! Gue pikir lo nggak doyan Pandji."

Ejekan itu terdengar dari Laila, sahabatku dari SMP. Kami berdua sedang duduk di bangku panjang depan kelas. Kami adalah dua gadis yang tidak tertarik sama sekali dengan keriuhan di pinggir lapangan karena virus ketampanan seorang Pandji. Aku tidak tahu apa alasan yang membuat Laila tidak tertarik dengan Pandji, namun yang jelas agak aneh memang kalau Laila bisa mengagumi cowok lain selain pacarnya sendiri, Byan. Buat Laila, Byan adalah segalanya. Cewek ini tergila-gila sekali dengan ketua klub fotografi itu.

"Sayangnya gue masih waras untuk doyan sama sosok seperti itu!"

Laila tertawa kecil. Reaksi wajar karena memang sudah kebiasaanku untuk tidak mengomentari pembicaraan tentang si penguasa baru sekolah tersebut. Penguasa yang terbiasa memiliki banyak kemauan. Terlalu banyak uang sehingga di matanya tidak ada yang lebih baik dari dirinya. Munafik dan juga suka menarik perhatian dengan membuat onar. Apa bagusnya cowok seperti itu untuk digosipkan apalagi dikagumi? Rasanya ada banyak manusia berjenis kelamin seperti Pandji yang lebih patut untuk dipuji setinggi langit beberapa kali sehari.

"Masih tergila-gila ya, sama cowok satu itu?" tanya Laila sambil menggerakkan kepalanya ke arah cowok yang dimaksudnya.

Aku menoleh ke arah yang dimaksud Laila dan menemukan seorang cowok berperawakan tinggi dan gagah dalam balutan seragam putih abu-abunya. Cowok itu terlihat begitu berwibawa. Senyumnya tak pernah hilang dari wajahnya ketika beberapa siswa menyapanya. Inilah cowok yang aku maksud lebih patut dan pantas dari Pandji untuk dipuji setinggi langit beberapa kali sehari.

"Bang Vincent!"

Aku memanggil cowok itu. Dia menoleh padaku dan langsung tersenyum manis ketika melihatku. Lalu dengan santai menghampiriku yang langsung berdiri menyambut sang ketua OSIS SMA Airlangga ini. Agak berlebihan memang sikapku, tapi siapa peduli. Laila yang terlihat mengejekku saja, aku abaikan. Masa bodo dengan tanggapannya!

"Hai, Olivia!" sapanya lantang dengan senyum maut yang makin mentereng.

"Mau kemana?"

"Ke ruang guru, Liv. Menemui Ibu Ratna," jawabnya lembut.

Aku mengangguk-angguk kecil dan kemudian tersenyum lembut padanya. Tak ada yang lebih baik ketika melihatnya menyambut senyumanku sama lembutnya. Satu hal yang mampu membuatku meleleh. Memang benar saat jatuh cinta, segala hal terasa pas dan mengesankan. Seperti apa yang terjadi saat ini. Ketika mata kami saling bertemu dan bibir kami saling melempar senyum. Rasanya begitu menyenangkan untuk pertama kalinya. Untuk cinta pertama yang saat ini berada di hadapanku.

Pacar PosesifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang