6. OLIVIA - ANTARA API DAN ES

29.1K 1.4K 12
                                    

"Mengucapkan kata cinta tak semudah ketika merangkainya di atas kertas."

JAKARTA, AGUSTUS 2012

"Tolong, jangan pandang saya seperti itu, pak!"

Teguran itu akhirnya mampu aku keluarkan setelah pria di depanku ini dengan kejam menahanku di ruangannya. Beberapa tumpukan file dan cangkir-cangkir kopi sudah disingkirkan. Meja kerja sang bos besar pun sudah kembali rapi. Hanya rak file yang terlihat tidak tertata semestinya. Itu akan aku kerjakan nanti, setelah menyelesaikan cerita masa lalu yang tampaknya belum selesai.

"Vincent," gumamnya tenang masih dengan sepasang bola mata tajamnya. Aku menguatkan diri membalas tatapan intimidasi tersebut. "Jika memang ingatanmu baik, maka seharusnya kamu ingat pernah menyebutku dengan sebutan Bang Vincent."

Aku menghela napas kasar. Dia tampaknya terganggu dengan sikap profesionalku yang sejak tadi memanggilnya dengan panggilan 'Pak'. Ini sejujurnya adalah bentuk dari pertahananku menghalau masa lalu. Masa lalu yang belum dapat aku lupakan. Masa lalu yang begitu membekas dan sulit terhapus. Masa lalu yg berhubungan dengan namanya dan juga panggilan di depan nama itu.

"Haruskah kita membicarakannya sekarang?" tanyaku frustasi. Aku menggerakan mataku ke arah lain dan mencoba untuk menarik oksigen sebanyak mungkin. "Aku pikir kantor bukanlah pilihan yang tepat, Bang." 

Aku sengaja berbicara dengan suara melirih. Aku benar-benar ingin menyerah pada usahaku yang menganggap bahwa semuanya harus tampak baik-baik saja. Ingatlah, Liv... Dia adalah pria beristri. Mungkin dia juga adalah seorang ayah pula. Tidak seharusnya aku berpikir tentang masa lalu yang bahkan membuatku merasa bersalah pada Pandji.

Bang Vincent mengangguk perlahan. Dia tampak mengerti situasi yang rasanya tidak memungkinkan untuk kami berdua bernostalgia. Pikiran ini membuatku sedikit lega. Meskipun hanya dalam hitungan beberapa jam saja.

"Baiklah," putus bang Vincent pada akhirnya. Dia lalu mengarahkan fokusnya sebentar pada sebuah map di hadapannya. Dia menggerak-gerakkan pulpennya dengan indah di atas kertas lalu menutup map berwarna kuning keemasan itu. Kemudian dengan tegas memberikannya padaku. "Tolong fotocopy sebanyak sepuluh kali. Aku akan mengirimkam softcopy-nya segera ke emailmu. Apa email yang ada dalam biodata pribadimu aktif?"

Aku mengangguk mengiyakan. Dia menjawab dengan gerakan yang sama. Lalu melempar senyuman hangat dan semanis dulu ketika aku masih kental menggilainya. Sial!

"Apa ada lagi yang harus saya lakukan?" tanyaku berusaha bersikap formal kembali. Hal itu membuat kening bang Vincent sedikit berkerut. Dia tidak suka ide itu meskipun pada kenyataannya sikap profesional adalah yang terpenting dalam dunia bisnis. Maka dari itu, dia tidak bicara apa-apa dan hanya membalas dengan gelengan kepala. "Kalau begitu saya permisi, Pak!"

Tanpa menunggu jawaban apapun darinya, aku pun langsung membalikkan badan dan mulai berjalan ke arah pintu. Sejak beberapa jam lalu, ketika pak Husni mengantarku ke ruangan ini, aku memang belum sama sekali menginjakkan kaki keluar ruangan. Sejak tadi aku langsung berinisiatif untuk memulai mengerjakan pekerjaan sebagai asisten dan tukang bersih-bersih ruangan sekaligus. Jadi, rasanya begitu menyenangkan bisa keluar dari kandang beruang kutub ini.

"Olivia!"

Astaga... Apalagi? Aku menoleh ke belakang. Tatapannya kembali tajam. Tak ada lagi senyuman. Dia seperti ingin memangsaku hidup-hidup. Mengerikan juga membayangkannya. Padahal tidak mungkin seorang Vincent Yudhistira melakukannya. Dia terlalu baik untuk itu.

"Harus selesai sebelum makan siang. Karena kita akan rapat jam tiga sore!" perintah bang Vincent tegas yang mau tidak mau membuatku mengangguk.

"Baik pak."

Pacar PosesifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang