Ini Bukan Dongeng

8.8K 732 59
                                    

"Jadi, dia bilang gini sama gue 'Neng, kalau emang masih sendiri, Abang juga masih sendiri, kok!"

"IDIIIHH!!" Mila tertawa dengan wajah mengejek pada Rerey. "Rey, lu sekarang bersyukur sama Tuhan, ternyata lo akhirnya laku juga!"

"Ogah! Aduuh, lo harus lihat muka Abang supir angkotnnya, Mila! Dia bener-bener... ah, udahlah!" sanggah Rerey.

Di otakku mulai tumbuh akal licik. "Oh, jadi kalau ganteng lu mau sama dia, Rey?" godaku.

"NAJIS!" Sebuah sedotan melayang tepat di wajahku. Rerey yang ketus berubah tertawa puas melihat reaksi kejutku yang gagal menepis sedotan terbang itu.

Kami berempat pun meledak lagi dalam tawa.

Berjalan-jalan di malam hari ke mal adalah satu-satunya refreshing kami. Mata kuliah yang membunuh, dosen haus darah... jangan kira kami ini keren dengan tertawa-tawa di MacDonald dengan uang jajan yang lebih besar dari anak SMA. Kami belum tentu bisa melakukan hal ala FTV ini setiap harinya kalau tiba-tiba sudah ada pengumuman kuis dari dosen-dosen menyebalkan itu.

Ritual pergi ke mal malam-malam ini sudah jadi kebiasaan kami ketika kami sudah menahan betul tabungan dan berakhir stres karena semua masalah kami. Jam 9 malam pun kami akan tetap terobos mal, demi melepas gila dan capek kami. Dan selama ini, belum ada satu gangguan pun dari ritual mal malam kami.

"Rey, Rey! Ceritain lagi cerita lu yang di bawa neduh di Warkop sama tukang Gojek! Ceritain insiden Teh Hangat Romantis itu lagi!" Mila memberi jeda di setiap kalimat noraknya yang mirip judul FTV itu sambil menerawangkan pandangannya ke atas, menambah kesan dramatis.

"Anjir lu, Mil! Bacot lu kenapa gede banget, sih?! Malu, woy!" Rerey menimpuk Mila dengan tisu bekas.

Kami bertiga kembali tertawa terbahak-bahak. Perutku sudah luar biasa sakit.

Semua rasanya sempurna, sampai mataku sedikit membuka dalam tawa, dan melihat pemandangan yang membuatku berhenti tertawa detik itu juga. Dan karena wajah tegangku itu, seluruh tawa menyusut dan berganti dengan wajah keheranan.

Mila adalah orang pertama yang menyadari kebekuanku. "Kenapa, Jess?"

Aku tak menjawab. Perasaan di tenggorokanku campur aduk. Antara pikiran positif dan negatif, saling berebut untuk mendominasi otakku.

"Jess?" Eriska ikut bersuara.

Positif... positif...

"Jess, itu Daniel, kan?"

Rerey adalah orang yang berhasil mengikuti alur mataku dan melihat sosok yang sama denganku saat ini. Mila dan Eriska menyusul. Sekarang kami berempat membeku tanpa suara.

Di depan sana ada Daniel, berjalan beriringan bersama seorang perempuan pendek yang nampak mungil dan manis. Wajahnya bulat, pipinya tembam, rambutnya panjang. Dia sangat pendek, seakan cocok dengan Daniel yang tinggi berisi akibat basket yang selalu ia tekuni.

Aku yang hanya berbeda 3 senti dari Daniel dan berbadan bongsor ini mulai terdiam.

Lihat, dia cocok banget sama Daniel.

Daniel tidak melakukan kontak fisik dengan perempuan ini. Pikiranku juga cukup jernih untuk tahu bahwa Daniel tidak meninggalkanku untuk perempuan ini.

Tapi mungkin sebentar lagi ia yang akan menjadi orang baru.

"Jess..." kata Mila lirih.

Ya, aku tahu.

Di pipiku sedang ada aliran air mata.

***

"Halo, Jessica?"

Breakeven: A Sad Opening StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang