Prinsip Konyol

10.2K 802 66
                                    

Pagi itu aku bangun dengan badan masih diselimuti handuk. Anehnya, meski memakai selimut, tapi badanku masih menggigil. Jadi aku memutuskan bahwa pagi ini aku akan mandi dengan air hangat. 

Setelah kegiatan mandi selesai dan berpakaian pun mantap, aku meniti tangga menuju lantai bawah. Aku disambut ruang makanku yang sudah ramai dengan bunyi piring-piring dan sosok Mama yang berselawiran mengurus makan pagi untuk dua orang.

"Hey, udah bangun," sapa Mama.

Barulah setelah aku duduk, Mama ikut duduk di seberangku. Ia mengambil piring dan mengisinya dengan nasi goreng. Dengan lembut, Mama menyendok telur mata sapi yang kuningnya setengah matang ke dalam piringku, kemudian menyerahkan piring surga itu ke tangan si manusia lapar (baca: aku) ini. Tak lupa, Mama menyodorkan botol saus ekstra pedas.

"Makasih, Ma." Aku mulai makan, disusul Mama yang selesai menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri.

"Jess, kamu udah gede ya, sayang."

Ouch, perasaanku kurang baik untuk yang satu ini.

"...Mama pengen kamu lebih kuat, lebih kuat dari sebelumnya. Oke?"

Ah, ini lagi, batinku. Beliau pasti khawatir, takut aku stres dan patah hati. Padahal aku yakin, semua ini hanya pemberontakan terhadap kekurangajaran Daniel yang seenaknya meninggalkan aku. Aku yakin rasa kesal dan sesak ini akan segera pergi, hilang bersama tumpukan tugas kuliah.

"Iya, Ma. Aku kuat kok. Lagian, ini cuma putus doang. Mungkin Daniel emang bukan yang terbaik?" Aku tersenyum pada Mama.

Mama membalas senyumku dan menatapku lembut. Aku lega melihat senyumnya.

"Mama tahu kamu bohong." Dia berdiri dan meninggalkanku ke lantai atas.

Mama tahu kamu bohong...

Kalimat barusan masih mengangguku, meski saat ini nasi gorengku memasuki suapan terakhir.

Sebegitu menyedihkannya kah diriku dan wajahku? Atau aku dengan idiotnya menangis sendiri lagi?

Aku mengecek pipiku. Kering.

Mungkin ini kontak batin antara ibu dan anak. Atau mungkin sebelum Papa, Mama pernah merasakan sakit yang sama sepertiku.

Ouch, mungkin saja Papa bukan satu-satunya orang yang bersama Mama sebelum akhirnya Mama menikah.

Aku jadi merasa bodoh memiliki prinsip sekali seumur hidup ini. Prinsip yang kupegang sejak kecil, bahwa aku ingin bersama satu orang selamanya, sampai akhir. Semakin bodoh lagi mengingat kami pacaran sejak SMA, dan sangat jarang ada pacaran-sejak-SMA yang sukses dan langgeng, meski dimulai dari kelas tiga SMA akhir sekalipun.

Setelah makan, aku berangkat ke kampus dengan menggunakan taksi seperti biasa. Tanpa Papa, aku selalu berangkat ke kampus dengan taksi. Tanpa pria pendiam yang jago menghibur ini, rasanya aku semakin kangen padanya. Mungkin kalau ada Papa, putus kali ini tak akan sesakit ini.

Papa adalah sosok yang luar biasa dan multi-tasking. PNS gaul itu selalu tahu caranya membuatku tertawa, bahkan tahu caranya membuat Daniel berhasil menunjukkan koleksi figur Saint Seiya kesukaannya dan mereka fanboying berjamaah. Yakin seratus persen ia akan kaget akan kabar menyakitkan ini.

Taksi ini sepi tanpa bunyi radio. Supir taksinya pun tampak suntuk, berpikir. Mungkin dia juga sedang bermasalah dengan kehidupannya. Aku bisa melihat ada kantung mata dari spion tengah. Kulirik ID-nya, namanya Juanda. Ah, nama yang bagus. Semoga dia tidak terobsesi masuk Indonesian Idol.

Sambil taksi itu berjalan, aku menatap ke luar jendela dengan penat. Aku sudah berkali-kali melewati jalanan ini, setiap hari saat ingin pergi ke kampus. Aku hapal mati bangunan-bangunan di sepanjang jalanan ini. Jalanan ini membuatku nyaman ; aku selalu nyaman dengan apapun yang sudah lama kujalani.

Breakeven: A Sad Opening StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang