A Phone Call

7.6K 648 43
                                    

Semuanya berjalan baik. Mama kembali seperti semula dan kami sepakat untuk tidak melakukan perang dingin di lain waktu. Apapun masalahnya, kami akan saling bicara baik-baik dan terbuka satu sama lain.

Hari Minggu kemarin, kami bahkan berbelanja dengan heboh bersama Diana. Cewek itu memberi tahu mode-mode apa saja yang sedang tren bagi ibu-ibu di Australia. Alhasil, Mama berubah selera, sekaligus berubah tabiat jadi lebih kalem setiap Papa menelepon karena takut ketahuan kartu debitnya bolong sebesar lubang galian Freeport. Buru-buru Mama memutar otak mencari prospek MLM untuk mengisi tabungannya yang menganga itu.

Satu pesan Mama : jangan rusak masa depanmu karena cinta sempit yang membuat kamu terlalu nyaman. Di luar sana ada cinta yang lebih luas yang layak kamu tinggali.

Hari ini aku pergi ke kampus dengan hati riang, apalagi Diana berjanji akan mengantar-jemput aku dengan mobilnya yang ada di Indonesia, selama menginap di rumahku. Mobil itu biasa dipakai oleh sahabatnya. Kini setelah sahabatnya memiliki mobil sendiri, mobil itu seringkali terbengkalai.

"Gue kangen banget. Avanza butut inilah mobil pertama gue setelah gue buktiin sama dunia kalau gue bukan anak kaya manja yang bisa milikin apapun yang gue mau dengan nadahin tangan!" Ia mengelus setirnya sambil tersenyum. "Yuk, jalan."

Mobil pun menjauh meninggalkan area perumahanku. Diana memutar lagu-lagu favoritnya : The 1975, Artic Monkey, Nirvana, All Time Low, Colplay... sampai sebuah intro mengagetkanku.

I might never be a knight in shinning armor

I might never be the one you take home to mother...

"THE HELL, SERIOUSLY, DIANA?!" pekikku setengah tergelitik. "Dari tadi playlist lu keren-keren... tiba-tiba... One Direction... aduh... Diana lu kejedot apa sih di pesawaaat?!" Aku memegang dahiku tidak percaya.

"Hey, Hey! Manusia normal kaya gue juga masih bisa gak tahan sama sorot mata Niall yang melelehkan batin itu, yak!" protesnya. "Meski tetep aja, Matthew Healy yang paling seksi!" Jiwa genit Diana mulai muncul. Sejak dulu, Diana selalu suka dengan hot guy yang terlihat agak messy.

"Oke, apapun keanehan lo, yang penting gue sampe di kampus dengan selamat! Matkul gue hari ini cuma dua, soalnya."

Diana mengangguk. "Dan jangan lupa, minta maaf sama sahabat lo si Eriska itu."

Badanku melunglai. "Hmm, iya, iya. Doain gue, ya, biar gak salah ngomong."

"Gausah gue doain emang lu kemarin udah salah ngomong."

"Maksudnya buat hari ini, hantu!" seruku geram. "Udah, ah. Kayaknya udara Australia bikin lo jadi sableng!" gerutuku. Diana hanya membalasnnya dengan tawa kecil yang renyah.

Mobil Diana berhenti tepat di depan gedung fakultas, agak jauh dari kantin. Di bangku biasa, tiga sahabatku sudah duduk manis dengan tiga porsi bakso favorit kami.

Diana mengambil sebuah gulungan kertas di sela-sela joknya--entah gulungan apa--dan menyuruhku untuk mendekat.

Diana mengarahkan gulungan itu pada bahu kananku. "Dengan ini saya nobatkan Jessica Aurelia--" Ia memindahkan gulungannya pada bahu kiriku. "--sebagai anak pemberani yang tidak takut menghadapi resiko dan bertanggungjawab atas semua perbuatannya sendiri."

Aku memberinya senyuman tipis. "Thanks, Sist," balasku.

"No problem."

Kami pun berpisah setelah aku melambaikan tangan kepadanya. Dan kini, aku harus menghadapi kesalahanku sendiri.

Waktu kecil dulu, ayah kandung Eriska adalah orang berkepala panas yang juga mengidap hipertensi. Beliau cepat marah dan tidak suka diganggu. Ia bahkan cenderung mengutuki kenyataan bahwa Eriska harus lahir. Akhirnya, Eriska kecil menghabiskan sepanjang masa kecilnya menjadi anak yang selalu dimarahi. Kadang, kita masih bisa melihatnya terkejut hingga pucat setiap ada tangan yang mendadak menghampirinya ; ia takut dipukul.

Breakeven: A Sad Opening StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang