11 || time for folklore

21 4 0
                                    

Aku diam menyaksikan rumpun bunga mawar itu menerima dinginnya salju dengan terbuka. Ketika satu butiran uap air itu disambut sang mawar, ada puluhan lain yang datang menghampirinya. Menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya, aku menundukkan pandangan dan menemui refleksiku pada teh krisan di cangkir tembikar. Namun sebanyak apapun aku mencoba, kepalaku tak bisa berhenti membentuk bayangan tentang bagaimana nasib sang mawar. Yang tidak lain adalah mati karena tak kuat menanggung dinginnya sang salju.

Aku mendongakkan kepalaku untuk membuatnya berhenti berpikir sejenak. Lukisan pada atap pavilium yang menggambarkan diorama bisu dimana sekelompok wanita tengah berbincang-bincang sambil terkikik membuatku menaik salah satu sudut bibirku. Aku kembali menghela napas, dapat kurasakan keinginan untuk pergi dari tempat ini sudah sirna terbakar sinar keingintahuan. Aku sudah menahan diriku untuk tidak begitu saja mempercayai segala informasi lisan maupun tulisan yang diberikannya padaku. Tapi pada akhirnya, itu hanya sia-sia karena ketebalan dindingku dan dirinya berbeda. Begitu juga dengan peruntuhannya.

Dinding yang kubuat hanyalah sebatas tumpukkan aturan yang dibangun oleh harga diri. Sementara dirinya, aku tak yakin akan bisa menembus ataupun hanya sekedar membuat celah pada dinding tebalnya. Sekalipun aku mati, dinding itu tak akan terbuka untukku. Aku perlu mengutarakan perasaanku, tapi aku tidak mau mengembangkannya menjadi mawar yang kemudian layu ketika ditimpa salju.

Aku tak tahu bagaimana atau darimana datangnya rasa menggebu-gebu ini, tetapi itu sungguh menyiksa. Penolakan yang ia berikan kemarin menyayat diriku dengan begitu dalam dengan sebaris luka abadi. Aku menegakkan punggungku dan menatap lamat-lamat sebuah buku biru yang ada di tanganku. Seperti biasa, Wendy membawakan saprapanku ke sini. Namun, kali ini ia membawa serta buku setan ini.

Setelah Wendy menyampaikan penyesalannya karena tidak bisa menemaniku hari ini, ia kemudian pergi meninggalakanku untuk meresapi segala sesuatu yang telah terjadi. Sebenarnya, begitu besar keinginanku untuk melemparkan buku ini pada tumpukkan es supaya ia juga membeku. Memberiku sebuah buku tak akan menyelesaikan masalah, mengapa tidak dia saja yang datang dan menceritakan segalanya padaku?

Aku lebih baik membaca kisah tragis Romeo dan Juliet daripada kisah gulali yang ada di buku biru itu. Tetapi pada akhirnya, kepasrahan untuk membaca buku setan lebih mendominasi kepalaku sehingga aku harus mengerahkan tenagaku untuk membuka dan membaca halamannya yang sudah menguning.

⸙⸙⸙

Mungkin ini dikarenakan cepatnya waktuku untuk jatuh pada Jaquelyn, sehingga untuk melupakannya-pun tak memerlukan waktu lama. Ini cukup gila untuk dikatakan, tetapi aku benar-benar bisa bahagia tanpanya. Dan ini barulah dua minggu setelah aku menangisi kenyataan yang begitu pahit. Rasa-rasanya seperti bayangan hitam yang melingkupiku terusir oleh teriknya matahari, dan menjadikan bayangan itu tak lagi di sisiku melainkan di belakangku. Terbelakang dan tertinggal.

Setelah pertemuanku dengan Irene di tebing, kami jadi sering bertemu baik untuk sekedar berbincang-bincang ataupun mencari penyelesaian tentang suatu masalah. Kebanyakan dari pertemuan kami disaksikan oleh matahari yang ditelan malam. Menjadi saksi bisu atas segala hal yang kami bagi bersama. Rahasia, pendapat dan rasa aman. Pertemanan kami mengangkatku dari lautan keputus-asaan yang tak terlihat dasarnya.

Pertemuan kami selalu tertutup dengan bulan perkasa yang meneruskan sinar mentari untuk bumi. Pikiranku membuat sarang layaknya laba-laba setiap malam. Aku selalu bertanya-tanya tentang apa yang tengah dilakukan Irene, dan apakah ia juga memikirkan diriku seperti ini? Terkadang aku juga bertanya-tanya tentang kemunculannya yang tiba-tiba di balkon kamarku. Namun aku selalu lupa untuk bertanya, karena setiap kami bersama yang kupikirkan hanyalah bagaimana bahagianya aku dan dirinya saat itu.

Kebahagaiaan yang tampak seperti bongkahan emas itu lantas tak menutupi kekhawatiran akan hal buruk yang kemungkinan terjadi dalam waktu dekat. Aku tak ingin menjadi keledai yang kembali jatuh dalam lubang yang sama. Lautan kebahagiaan ini bisa saja mengering dan berubah menjadi lumpur hisap.

ETHEREALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang