14 || sparkling hazel

24 5 0
                                        

Keingintahuan tak pernah menjadi sesuatu yang kukagumi. Sebaliknya, tetap diam dan menebak-nebak adalah  hal yang biasa kuutamakan. Dan sekali lagi, aku merasa pemikiranku adalah sesuatu yang menyelamatkanku dari segela rasa terluka, dikhianati, dan takut. Semua yang nampak pada memori lama itu bermuara menjadi suatu rasa yang mustahil diucapkan ataupun diaksarakan. Pada akhirnya aku menyadari, alasanku kemari bukanlah karena keingintahuanku akan masa laluku, melainkan dia.

Aku tak pernah ingin mengetahui sesuatu yang lebih baik dirahasiakan, aku hanya mencari alasan logis untuk tetap bersamanya. Suatu alasan selain sebuah rasa. Aku telah jatuh dan tersesat. Dalam hazel itu aku menatap dengan ketidakpastian, mencari sebuah kebenaran yang ditutupi oleh es tebal. "Apakah kau.. Sungguh-sungguh pada perkataanmu?" tanyaku setelah berhasil memproses segalanya dalam sepuluh menit yang dihinggapi bisu.

"Kau sungguh mencintainya? Mencintaiku?" tanyaku lagi. Aku ingin bangun dan berteriak di depan wajahnya sehingga ia segera menjawab pertanyaanku. Namun, lututku terlalu lemas dan aku terlalu bigung untuk melakukannya. 

Irene menundukkan kepalanya lalu mengangkatnya lagi, "sudah kukatakan padamu untuk pergi, dan sayangnya kau tidak bisa kembali sebelum kau menyelesaikan hal ini." Ia kemudian berdiri dan melangkah pergi dari perpustakaan ini.

Kehampaan lalu menyerbu, tumpah ruah bersama hujan yang kini menemaniku bersama kesendirian. Api lilin yang bergerak kesana-kemari dengan tak tentu terlihat seperti gambaran diriku saat ini. Kacau balau dan tersesat, tak mengerti arah mana yang harus dituju. Dan hanya menunggu hitungan detik sampai lilin itu padam. Bersatu dalam gelap dan kesendirian yang menyuarakan genderang penderitaan. Aku hilang dan tak ingin ditemukan.

Setelah melolongkan ketersiksaanku pada api yang menyala-nyala di sudut perpustakaan, aku kembali ke kamarku yang sepi. Cahaya bulan yang biasanya hadir, kini sudah digantikan dengan petir yang kehadirannya bagai penenang semu. Aku duduk di samping tempat tidur dengan kepala tertunduk serta badan yang remuk. Aku tak bisa menemukan kata yang tepat untuk menyuarakan perasaan gundah ini, selain 'penyesalan'.

Itu adalah hal yang membuat jantungku semakin berdebar kencang ketika kehadiran Irene Vaughan di pintu masuk bertepatan dengan kehadiran petir yang menggelegar. Keadaan ruangan dipenuhi terang yang menakutkan, sebelum kegelapan kembali mengisi. Ia hadir dengan memakai sebuah mantel oranye terang yang panjangnya sampai ke mata kaki. Di tangannya terdapat sebuah payung hitam tak berenda. Tak ada aksesoris, terlebih anting-anting yang biasanya mengisi penampilannya yang glamour.

"Ayo pergi," ajaknya. Namun, ia tak beranjak dari tempatnya berdiri dan hanya menatapku dengan hazelnya yang tajam. Tak ada keramahan, tak ada toleransi, sama seperti gadis egois yang kutemui saat hendak memperingatkannya akan hal tanah longsor itu.

"Mengapa harus?" tantangku. Ialah yang menipuku sedari awal, ia membuatku kehilangan tunanganku dan mengapa ia berlagak sebagai seseorang yang tersakiti? Tak ada alasan lain yang akan melukainya, kecuali jika ia benar-benar mencintaiku. Namun, gadis egois sepertinya tak akan mungkin mau repot-repot mencintai manusia. Aku hanyalah sebuah tempat permainan yang entah bagaimana menjebaknya di sini.

"Hanya satu tugas terakhir, satu kilas balik dan satu penjelasan. Kita sudah terikat kontrak dan kau akan memenuhinya. Aku tak akan keberatan jika kau segera angkat kaki dari sini setelah semua urusan terselesaikan." Aku berdecih mendengar kata-katanya. Semua yang terlontar dari mulutnya membuktikan argumen yang ada pada otakku. Ia tidak sungguh-sungguh ketika mengatakan bahwa ia mencintaiku. Itu hanyalah dalih untuk membebaskan dirinya dari penghakiman di mataku.

"Egois," makiku. "Berhenti menghindar dan menggunakan alasan pekerjaan untuk lari dari pertanyaanku." Ia masih diam di sana, kedua kakinya bagai dipaku ke dalam bagian tanah. "Kontrak kita masih belum berakhir," katanya. "Aku berhak memintamu mengerjakan yang seharusnya kau kerjakan. Dan kau juga berhak untuk memberi pertanyaan apapun setelah menyelesaikan tugasmu. Walau aku yakin kau lebih baik menjadi buta daripada melihat kebenaran. Kau masih sama pengecutnya seperti awal aku berjumpa denganmu."

ETHEREALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang