15 || Writing letters, addressed to the fire

25 4 0
                                    

Hal terakhir yang bisa kuingat adalah aku kembali untuk melaporkan hasil pekerjaanku pada Irene. Namun sebelum aku bisa mencapai kabut hitam yang menjadi pemisah, sebuah kabut lain membutakan mataku. Kabut putih yang tebal dan pekat mengambil tempat di sekelilingku dengan paksa. Dan aku kembali pada tumpahan masa lalu yang menerobos masuk ke mataku.

Kabut-kabut itu perlahan menyurut, memberikan pemandangan yang lebih jelas tentang apa yang kulihat. Aku kembali lagi pada saat itu, masa laluku yang ingin aku hindari. Sebuah gambaran tentang apa dan mengapa aku berakhir di sini. Sama seperti sebelumnya, aku tak bisa mengontrol apa yang tubuh ini lakukan, meski aku mencoba dengan sekuat tenaga. Pada akhirnya, aku mendapati kelelahan semu setelah tak berhasil menggerakan tubuh sesuai keinginanku.

Irene ada di depanku, air mata menjejak seperti sungai yang membuat kubangan lumpur pada musim panas. Ia tak lagi menangis, tapi dia tidak membaik. Sorot kosong di matanya membuat sebuah lubang mengerikan yang bisa menenggelamkan kapan saja. Sorot yang tak pernah kutemui selama aku masih menjadi Steven Muller. 

"Bagaimana aku bisa mempercayaimu? Mencintaiku? Apakah cinta bisa membuat orang melukai orang yang ia cintai? Biar kuberi tahu Miss Vaughan, itu bukan cinta, itu obsesi. Dan ini sangat-sangat keterlaluan. Kau membuatku sangat menderita! Aku mungkin masih bisa menerima jikalau kau membuatku terjebak sehingga aku mencintaimu, tapi Jaquelyn! Ya Tuhan aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaannya saat mengetahui aku melamar wanita lain hanya dalam jangka waktu satu bulan!"

"Kau tidak membuatnya tidak mencintaiku, kan?" tuduhku. Ia menggeleng, "Tidak. Perasaannya terlalu kuat untuk kusamarkan."

"Jadi apa yang bisa kaulakukan untuk memperbaiki situasi ini?" tanyaku.

"Tak ada," bisiknya. Aku merasa seperti seorang gila yang baru saja menemukan kewarasannya saat diletakkan dalam rumah sakit jiwa. "Tak ada?" ulangku geram. "Kau bisa mengembalikanku ke rumah, menghilangkan pengaruhmu pada Jaquelyn dan keluargaku."

Ia tersentak untuk waktu yang sebentar, sebelum kemudian kembali menghindari safirku. "Tidak bisa. Sudah sangat terlambat untuk sekarang, kau hanya bisa melihat aku dihukum."

"Aku tak peduli jika kau tetap bergembira dengan segelas sampanye saat mengingat tindakan gilaku yang melamarmu!" seruku. "Aku hanya ingin segalanya kembali ke tempat masing-masing, termasuk dirimu. Kau tidak seharusnya di sini, Miss Vaughan!"

"Hukumanku telah ditentukan!" Irene tiba-tiba berseru. "Yang memiliki kemampuan sepertiku bukanlah hanya aku sendiri. Yang rugi di sini bukan hanya kau, Muller! Aku telah merusak dan menunda prosedur para dewa dewi yang akan bergabung bersama keagungan. Jadi berhenti meneriakkan betapa egoisnya aku dalam kepalamu!" Teriakkannya menggema pada langit hitam hampa yang tiada bertepi.

Ada satu tarikan napas panjang yang diambilnya setelah napas putus-putus menyertai kalimatnya. "Mereka akan menemui kita," katanya dengan intonasi yang terdengar seperti seorang anak yang akan dihukum. Aku tahu aku seharusnya lebih marah, namun ingatan tentang apa yang kuperoleh pada sekolah minggu membuatku memilih untuk diam dan berpikir. Dengan memaafkan, aku bisa melepas beban berat yang kutanggung akibat dendam.

Lagipula, aku tak bisa bersaksi bahwa ini adalah tindakan yang akan membuatku mati seketika, karena aku tak tahu siapa mereka dan apa yang akan mereka lakukan. Dan aku merasa tak ada yang bisa aku lakukan. Karena itu, aku kembali pada hal yang selalu kuperbuat; mengalah. Aku kalah oleh hati nuraniku. Entah ini karena aku pernah berada dalam posisi yang sama yang ia rasakan sekarang, atau mungkin karena ini adalah pengaruh sihir yang lain, aku tidak tahu. Yang kutahu hanyalah, satu malam itu mengubah hal palsu menjadi sebuah kenyataan.

Aku menutup mataku ketika tiba-tiba saja cahaya terang menghampiri, begitu membutakan hingga aku memutuskan untuk berbalik. Aku kembali menoleh ketika cahaya bersinar itu pudar, seiringan dengan Irene yang duduk jatuh bersimpuh. Bunyi lututnya yang membentur lantai hitam begitu jelas untuk di dengar. 

ETHEREALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang