4 || what the hell is going on?

65 12 0
                                    

Aku bisa merasakan angin malam yang mengalir melalui mulutku yang menganga lebar. Aku mengerjap-ngerjapkan mata untuk kesekian kalinya, berharap kalau ini hanyalah efek samping dari kelelahan. Pemandangan di depanku ini adalah hal yang hanya aku lihat dalam novel maupun buku dongeng penghantar tidur.

Sebagian besar orang akan menilai pemandangan ini mengerikan, misterius atau hal hal yang mengacu pada sesuatu yang berbau satanis. Tapi, pemandangan di depanku ini tampak sungguh agung dan mulia! Angin malam lagi-lagi menerpa wajahku, memberitakan pada otak kalau mulutku masih tenganga heran.

Cahaya bulan mematul, membuat kain linen merah wanita itu berpijar terang dan berapi-api di tengah gulita. Genangan hazelnya mengingatkanku pada mata kucing yang selalu menyala pada hitamnya malam. Gincu merah yang terpoles pada bibir penuhnya juga masih tetap menarik perhatian. Ia bukan gadis tercantik yang pernah aku lihat, tapi ia jelas berbeda. Ia unik, dan bisa membuatku menghabiskan seluruh pekan hanya untuk memperhatikan garis wajahnya.

Wanita itu bergerak, mengarahkan kaki jenjangnya yang terbalut gaun panjang longgar. Gerakan begitu luwes dan anggun, tak jauh berbeda dengan wanita-wanita aristokrat yang selama ini selalu kujumpai. Kupandang lagi wanita itu, kini dia sudah sepenuhnya berdiri di atas awan. Rambutnya menggulung kecil, mengikuti deburan angin yang menjumpai.

Harus kuakui angin malam ini lumayan membekukan. Sudah berulang kali sensasi menggigil menghampiriku, singgah membawa sejuta kenangan kelam tentang masa kecilku yang hancur. Tanganku bergerak bagai kapal yang berlayar pada lautan udara, menerobos segala ruang demi menghampiri sisi lengan atasku dan memberikan elusan hangat pada diriku sendiri.

"Kemari," kata wanita itu. Aku mendongak, memalingkan wajahku hingga aku bisa menatap matanya di tengah angin yang mulai membentuk kabut. Hazel itu juga balik menatapku dengan raut malas yang menyapa. Aku membelalak begitu merasakan kepulan angin yang lagi-lagi bergumul sebelum sepenuhnya larut dan menyatu, memberi bentukan dari sebuah tangan yang sudah mulai bergerak meraba.

Aku dengan sekuat tenaga menghantam angin itu, menghancurkannya menjadi kepingan udara yang terjebak di tempatnya sendiri. Kulangkahkan kakiku untuk menghampirinya. Aku didera keraguan ketika tapak pantofelku hanya bertaut beberapa senti dengan kumulus yang jatuh dan hampir memeluk bumi.

Rasanya seperti mengambang di udara, rasanya seperti melayang. Jika kumulus itu tak berbentuk sudah pasti aku akan menjadi manusia ajaib yang masuk dalam koran utama. Aku mengarahkan kakiku yang satunya, membawanya masuk dan tinggal dalam lilitan lilitan halus sang kumulus yang kini sedikit bergetar.

Aku melirik pada wanita itu. Hazelnya terang, namun tak cukup terang untuk berpedar di bawah kubah malam. Hazel itu tak hanya memantulkan bulan, namun juga kerlipan bintang yang kini bisa terhitung dengan jari. Tulang punggungku bergemerusuk. Pandanganku berpindah, pada lengkungan bulu mata lentik yang membuka kembali laci berisi pil pil memoar yang masuk tanpa dicegah. Ia mirip... Ibuku?

Aku tersadar begitu benda langit yang kupijaki berguncang, membuatku goyah di atas pijakan tidak pasti ini. Mataku lagi-lagi bergulir ke arahnya dan memperhatikannya, lagi. Aku mengumpat dengan pelan, mencoba menghentikan tingkah absurdku yang terus meliriknya berulang kali. Namun lampu hazel yang terus berpijar dingin itu membuatku tak bisa berhenti mengamatinya.

Aku menoleh ke sekeliling, mendapati kami yang sudah lumayan jauh dari daratan. Kami melayang di tengah belantaranya hutan. Memberi ruang bagi angin untuk masuk dan terus memberi sensasi tersambar listrik dalam tekanan rendah.

ETHEREALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang