10. Menyanggah kerasnya Hidup

7 2 0
                                    

10. Menyanggah Kerasnya Hidup

"Bapak su tidak ada, sekarang Lasmi pergi jauh itu. Saya rasa sangat terpukul," Ucap Arni dengan seteguk air diminum.

Ridho yang sedang mencuci piring terpanah memandangi Arni.

"Lasmi kan masih ada, Ni!" Sambung Ridho datar.

"Iya, maksud saya dia sudah kuliah, saya jarang hubungi dia, ya...rasanya kosong lah diri ini!" Ucap Arni sambil berjalan menuju kamarnya.

"Telfon lah," Ucap datar Ridho memandang.

"Dia sering telfon, saya saja yang sering matikan. Malas!" Sambung Arni dengan suara yang mulai surut karena mulai berjarak jauh dari Ridho.

Ridho hanya menggelengkan kepalanya akibat merasa aneh dengan sang kakak. Sejak dulu hingga saat ini, rasa egois masih melekat di dalam hatinya. Walau sebenarnya sesekali rasa rindu menghantuinya. Dia berusaha lawan dengan bermain permainan di handphone androidnya atau kadang berjalan menikmati pekarangan rumahnya yang asri.

Dalam siang yang pekat, Ridho mendapatkan informasi dari ibunya; ibunya sudah kehabisan uang untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Tentu berbeda kondisinya sekarang. Dulu selalu mendapatkan gaji setiap bulannya dan sangat mencukupi kebutuhan keluarganya. Kali ini Ridho benar-benar dilema karena harus memikirkan ekonomi keluarganya akibat tanggungan sebagai tulang punggung keluarga. Sudah hampir 7 bulan ia tidak digaji sama sekali sama paman Abdullah. Sampai-sampai lauk-pauk pun tak dihiraukan paman, padahal masih ada Arni selaku keponakan kandungnya. Dalam kelapnya malam, mereka makan malam dengan lauk ikan kering yang digoreng kering oleh Ridho dengan sambal buatannya itu. Rasanya sangat nikmat, Arni tidak berkomentar banyak dengan perubahan yang dirasa Ridho; apa karena sudah terbiasa dengan makanan mewah dan bosan sehingga tertarik pada makanan sederhana ini.

Sedikit tertekan bagi Ridho melihat kondisi yang kini berbalik, dalam segala hal. Dalam heningan malam di kamarnya itu, Ridho sangat ingin menghampiri Arni dan bicara banyak tentang segala yang mengganjal di hatinya. Sayangnya, ia merasa sulit karena Arni hanya mengurung diri di kamarnya itu. Tapi dengan sergap ia langsung memberanikan diri untuk menemui Arni entah bagaimana pun caranya. Perlahan ia menuju kamar Arni, terteguk karena melihat paman yang sedang tidur di kamar bapak dengan pintu kamar yang menganga. Perlahan ia menghampiri kamar bapak yang ditempati paman untuk menutupi pintu tersebut. Selesai, ia langsung berbelok ke kamar Arni dengan sedikit mengetuk pintu.

Tok… tok… tok…

"Ni… Ni…" Ucap Ridho perlahan.

Klek…

Suara pintu dibuka

"Apa sih kak?" Tanya Arni sedikit kesal karena baru saja hampir tidur.

Ridho memohon pada Arni agar mengikutinya ke meja makan untuk membicarakan hal penting. Sebenarnya sikap yang diambil Ridho berangkat dari kepeduliannya terhadap Arni yang dilatarbelakangi oleh almarhum sang ayah yang sudah ia anggap seperti ayah kandungnya sendiri. Sedikit menarik nafas dan memulai berbicara di meja makan legendaris tersebut.

"Cepat sudah omong! Saya sudah mengantuk," Ucap datar Arni memandangi Ridho.

"Iya. Sebelumnya minta maaf eee Arni. Saya mau kasih tahu kalau saya harus pulang ke rumah,"

"Maksudnya?"

"Saya mau bantu mama kerja sawah, kebun. Mama juga ada mengeluh tidak ada uang lah, apa lah."

"Haehhhh…" Tarik nafas panjang Ridho.

"Semenjak bapak meninggal, semuanya sulit bagi saya. Dulu bapak selalu kasih uang saya, ya bisa dibilang uang gaji yang dapat meringankan beban mama."

Pulang, Kembali pada PangkuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang