11. Melawan Diri

3 2 0
                                    

11. Melawan diri

   Umur yang masih belia sepertinya bukan waktu untuk bekerja keras banting tulang pada umumnya. Di usia 14 tahun ini mengantarkan ia untuk terus berjuang. Terkadang sikap egois dapat membuat seseorang mendobrak dirinya untuk mandiri, apalagi dalam situasi tertekan yang dihadapi Arni. Banyak hal yang wajib ia lakukan saat ini. Di sekolah ia harus menghadapi ujian kenaikan kelas dengan persyaratan membayar uang semester yang perbulannya Rp.25.000. Untungnya masih ada uang tabungan pribadinya. Di rumah, ia memikirkan makan dan minum, juga uang listrik. Selama dua minggu lamanya ia ditemani bibi. Sudah diajak untuk tinggal bersama bibi, akan tetapi ia menolak dengan prinsip "rumah peninggalan orang tua harus dipertahankan" itulah mengapa ia tetap bersikukuh untuk tinggal di rumah itu walau harus seorang diri. Sudah banyak waktu yang bibi lepaskan untuk anak dan suaminya, akhirnya ia harus kembali. Siang itu Arni membersihkan ruang tamu, bibi menghampirinya. Perlahan sambil sedikit tersenyum bibi menghampiri.

"Arni…"

"Ya, bi." Jawab Arni sembari balik badan menatap bibi.

Bibi pun lansung duduk di kursi empuk berwarna coklat yang ada di ruang tamu.

"Bibi mau pulang, kasian adikmu di sama telefon terus."

"Oh, bibi mau pulang? Iya, bi pulang saja. Kasian Rasti, Fian dan paman di sana sendiri." Jawab Arni tersenyum.

"Iya, kamu tenang saja, bibi akan kirimin uang kamu tiap bulan." Sambung bibi sambil mengelus rambutnya.

"Diajak tinggal sama bibi tidak mau na!" Sambung bibi tersenyum.

"Hmmmm. Biar saya di sini, bi. Saya tidak mau monster jahat ambil sam bapak punya rumah lagi." Jawab Arni sedikit kesal.

"Sssttt. Sudah-sudah, sabar ya! Pamanmu itu dari dulu ya seperti itu." Bibi melarang untuk berkata kasar.

Berkesudahan semua hal yang harus disiapkan bibi, ia pun berangkat ke terminal bus dan diantar Arni memakai sepeda motor matic peninggalan bapak tercinta. Untunglah bukan sesuatu yang sulit untuk membawa motor matic, bagaikan sepeda dayung. Harta yang ada tinggal dua sepeda motor. Sedangkan oto grobak disita juga oleh si monster jahat (paman Abdullah) yang dijuluki Arni itu. Sepanjang perjalanan angin menerpa, hati Arni sangat tertekan dan selalu mengingat wajah sang paman. Rasa bencinya begitu amat besar kepada paman. Tapi, apalah daya, sang paman tak peduli bagaimana pun respon Arni. Bagaikan penghalang bak tembok besar yang tinggi, hanya bisa berteriak akan tetapi tak bisa diraih. Sesampainya di terminal, tanpa menunggu lama, mereka pun langsung menemukan bus tujuan daerah bibi. Bibi pun langsung mengecup kening Arni dan berjalan menaiki bus. Melihat kasih yang diberi bibi, membuatnya semakin terpukul lagi karena harus ditinggal orang tercintanya lagi. Keadaan demikian lah yang membuat semangatnya membara untuk menghadapi hidup. Ia menahan tangis yang menyesak di dalam dadanya. Setelah kembali ke rumahnya, Arni berkeliling di halaman rumahnya, melihat-lihat apa saja peninggalan bapak. Terakhir ia melihat ada kebun kecil berukuran 3x4 meter yang ditanami lombok, tomat kecil dan kemangi. Hanya ini yang ada. Akan tetapi ia bersyukur, walau tidak ada lauk pauk, sambal pun jadi. Dalam renungannya sesekali ia menarik dan menghembuskan nafasnya perlahan akibat keadaan yang mulai berubah drastis ini. Arni pun kembali ke kamar, memainkan handphone androidnya. lagi-lagi, ia melihat 10 panggilan tak terjawab dari kakaknya Lasmi. Dalam keraguannya, ia memikirkan apa harus ditelepon balik? tanya dalam hatinya. Banyak hal yang ia pikirkan apabila harus menelepon balik, bercerita tentang masalahnya yang juga masalah bagi Lasmi, atau kah diam?. Dalam emosi yang membara, Arni pun memutuskan untuk menceritakan semua pada sang kakak, Lasmi. Dan meneleponnya.

Tiiitttt….tiiitttt…. tiitt…

Bunyi nada panggilan masuk.

"Halo! Assalamualaikum, Arni." Tanggap Lasmi.

Pulang, Kembali pada PangkuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang